AMBON, Siwalimanews – Proses IMB sudah dilakukan sejak 12 Agustus, namun hingga kini tak ditindaklanjuti, dengan alasan belum ada arahan dari Walikota Ambon.

Walikota Ambon, Richard Louhenapessy mengakui ka­lau dia yang minta agar IMB pro­yek pembangunan ge­dung milik Balai Konser­vasi Sumber Daya Alam (BK­SDA) Maluku dipending, sekalipun permohonan izin sudah di­ajukan sejak 12 Agustus 2021 di Dinas Pena­naman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pin­tu (DPMP­TSP) Kota Ambon.

Perintah lisan walikota itu ditu­ju­kan kepada Kepala DMPTSP, Fer­nan­da Louhenapessy, agar tidak mem­proses IMB milik BKSDA Maluku.

Fernanda mengakui, permohonan IMB milik BKSDA telah dimasukan sejak pertengahan Agustus lalu, namun sementara ditangguhkan prosesnya. Kendati begitu, dia tidak bisa menjelaskan apa alasan pena­ngguhan proses tersebut.

“Sudah masuk pertengahan Agus­tus kemarin, namun dipending dulu. Saya tidak tahu ada masalah apa tetapi kami diminta untuk pending dulu,” jelas Fernanda saat dihubu­ngi Siwalima melalui telepon selu­lernya, Rabu (1/9).

Baca Juga: Tak Punya Solusi, Walikota Nyatakan Harga Angkot Naik

Padahal kata dia, standar pela­yanan dan standar operasional pro­sedur pengurusan IMB paling lama hanya tujuh hari dan tidak perlu menunggu izin dari Walikota, karena sudah ada pelimpahan kewenangan ke DPMPTSP.

“Maksimal sesuai dengan SOP itu pengurusan IMB itu 7 hari dan kalau lama itu tergantung. Kita rekapi­tulasikan baru ditetapkan dengan keputusan walikota,” ujarnya.

Namun khusus untuk kasus ini, ujar Fernanda, dia harus menjalan­kan perintah atasan, sekalipun itu me­lawan mekanisme dan sistim yang sudah dibangun di DMPTSP selama ini.

Akui Hentikan

Terpisah, Walikota Ambon, Richard Louhenapessy mengakui meng­hentikan pembangunan gedung milik BKSDA karena tidak memiliki IMB. “Memang betul,” tandas Lou­he­na­pessy kepada Siwalima, usai memberi piagam penghargaan di RSUP Dr J Leimena Ambon, Rabu (1/9).

Kata walikota, pengajuan surat terkait IMB ini belum dilakukan oleh BKSDA, hingga. izin itu belum juga dikeluarkan oleh DPMPTSP.

“Belum, kita lagi kaji beberapa aspeknya untuk itu. Karena memang dia belum ajukan surat oleh karena itu kita larang. Ini kita baru dapat berita bahwa dia sudah ajukan (IMB). Nanti kita pelajari lagi,” tandas Louhenapessy.

Walikota menegaskan, sekalipun itu proyek pemerintah, tetap harus dilengkapi dengan IMB. Oh IMB wajib,” tegasnya.

Ditambahkan, meski memiliki izin diwajibkan namun kelonggarannya ada pada pembayaran.”Itu kan cuman Rp60.000 ajah, cuman harus dipertimbangkan dari aspek kiri-kanan,” pungkasnya.

Sudah Diajukan

Kepala BKSDA Danny Pattipei­lohy mengungkapkan, pihaknya telah mengajukan permohonan IMB kepada Pemerintah Kota Ambon melalui DPMPTSP pada 12 Agustus kemarin.

“Kita sudah ajukan permohonan tanggal 12 Agustus,” jelas Pattipei­lohy kepada Siwalima melalui tele­pon selulernya, Rabu (1/9).

Kendati begitu lanjutnya, sampai dengan saat ini Pemkot belum juga menerbitkan IMB untuk proyek bangunan konservasi satwa liar itu. “IMB-nya belum keluarkan,” kata­nya singkat.

Awalnya, proyek bangunan konservasi satwa liar di kompleks BKSDA, Kebun Cengkeh ini sudah digarap oleh kontraktor satu bulan lebih, namun tiba-tiba dihentikan. “Anggota Satpol PP dan petugas dari Pemkot datang ke proyek dan melarang pembangunan,” ujar Da­yat, salah satu tukang yang ikut me­ngerjakan proyek tersebut, kepada Siwalima, Senin (30/8) siang.

Awalnya, pembangunan proyek tersebut, berjalan seperti biasa dan tidak ada tanda-tanda bakal dihentikan, sampai kemudian datang Satpol PP dan petugas dari Pemkot.

Anggota Satpol PP beralasan, proyek tersebut dilaksanakan tanpa ada IMB dari Pemkot. Kesepakatan antara BKSDA dan petugas Pemkot lalu dibikin. Proyek dihentikan sampai dengan terbitnya IMB.

IMB kemudian dimasukan ke Pemkot untuk mendapat persetu­juan. Lazimnya, proyek pemerintah itu IMB-nya lebih cepat. Namun berbeda untuk kasus ini.

Langgar Aturan

Sementara itu, pengamat kebijakan publik, Natanel Elake menilai walikota telah melanggar aturan standar pela­yanan publik sesuai dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2014 ten­tang Pelayanan Publik.

Kata dia, standar pelayanan yang ditetapkan sesuai perda, standar pe­layan publik pada tiap-tiap OPD sudah dibuat, didalam prinsip pelayanan publik, standar pelayanan publik ha­rus dipatuhi oleh aparat pemerintah yang melaksanakan peyanan publik.

“Ini prinsip-prinsip pelayanan. Jika lewat dari 7 hari dan IMB tidak dike­lu­arkan maka ini kesalahan besar yang di­lakukan aparat birokrasi. Jika stan­dar pelayanan (SP) dan SOP sudah di­­tetapkan, maka masyarakat punya hak untuk mendapatkan IMB,” kata­nya

Masyarakat, tambah Elake, bisa saja mengajukan komplein bila me­rasa sistim dan mekanisme baku yang diatur dalam Undang Undang itu tidak dijalankan oleh petugas birokrasi yang ada. “Jika lewat dari 7 hari masyarakat bisa komplein dan bisa juga proses pejabat yang tidak melaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang sudah ditetapkan,” katanya.

Dalam perspektif ini kata Elake, walikota salah jika mempending IMB milik BKSDA, karena SOP yang sudah ditetapkan dan walikota sebagai pelaksana undang-undang harus menjalankan.

“Namanya saja pelayanan terpadu satu pintu, sehingga tidak boleh ada pintu-pintu yang lain, dan sebelum 7 hari DPMPTSP harus memberikan informasi kepada pemohon terkait dengan IMB tersebut. Mereka harus memberitahukan kepada pemohon, alasan apa sebelum 7 hari dan tidak bisa didiamkan. Jangan bikin lagi puntu-pintu lain,” ujarnya.

Harus Bijaksana

Anggota Komisi I DPRD Provinsi Maluku, Edison Sarimanela meminta Walikota Ambon untuk lebih bijak­sana dan jernih dalam melihat proyek pembangunan gedung BKSDA Maluku, dihentikan pengerjaannya, lantaran dianggap tidak memiliki IMB.

Kepada Siwalima, Rabu (1/9) Sarimanela menjelaskan lazimnya persoalan IMB terjadi akibat be­berapa faktor salah satunya status tanah yang nantinya bangunan tersebut didirikan.

Menurutnya, ketika suatu IMB tidak diterbitkan oleh pemerintah Kota Ambon maka ada persyaratan tertentu yang belum dilengkapi oleh pemohon yang mengajukan IMB.

Artinya, jika status tanah tersebut telah jelas dan semua persyaratan telah terpenuhi maka Walikota Ambon harus bersikap bijaksana dalam menyikapi persoalan ini. “Kalau sudah ada persetujuan maka, pemerintah kota dalam hal ini walikota tidak dapat melakukan pembatalan pengerjaan itu,” ujar Sarimanela.

Apalagi, untuk kepentingan per­kan­toran pemerintah dengan tujuan pelayanan publik maka IMB tersebut wajib diselesaikan secepatnya oleh pemerintah Kota Ambon. “Apabila semua telah terpenuhi maka wajib hukumnya, Walikota terbitkan IMB,” tegasnya.

Dijelaskan, infrastruktur untuk pelayanan publik itu penting saat ini, lagipula keberadaan BKSDA ini penting bagi masyarakat dalam memastikan ekologi tetap terjaga, sehingga perlu dilihat secara serius oleh Walikota Ambon.

Politisi Hanura ini meminta, Wali­kota tidak menggantungkan proses IMB tersbut, karena menyangkut ang­garan negara yang mesti diperta­nggungjawabkan di akhir tahun anggaran nantinya. “Banyak faktor yang mesti dilihat jangan sampai merugikan yang lain,” cetusnya.

Dihentikan

Diberitakan sebelumnya, proyek pembangunan gedung konservasi satwa liar di kompleks BKSDA Maluku, dihentikan pengerja­annya lantaran dianggap tidak memiliki IMB.

Awalnya, proyek di kompleks BK­SDA, Kebun Cengkeh ini sudah di­garap oleh kontraktor satu bulan lebih, namun tiba-tiba dihentikan.

Anggota Satpol PP yang datang ke lokasi proyek beralasan, proyek tersebut dilaksanakan tanpa ada IMB dari Pemkot. Kesepakatan antara BKSDA dan petugas Pemkot lalu dibikin. Proyek dihentikan sampai dengan terbitnya IMB.

Kepala DPMPTSP Kota Ambon, Fernanda Louhenapessy mengaku, permohonan IMB milik BKSDA telah dimasukan sejak pertengahan Agus­tus lalu, namun sementara ditang­guh­kan prosesnya. Kendati begitu, dia tidak bisa menjelaskan apa ala­san penangguhan proses tersebut.

Padahal kata dia, standar pelaya­nan dan standar operasional prose­dur pengurusan IMB paling lama hanya tujuh hari dan tidak perlu menunggu izin dari Walikota, karena sudah ada pelimpahan kewenangan ke DPMPTSP.

Belakangan beredar informasi kalau pengerjaan proyek tersebut itu dihentikan atas permintaan Gubernur Maluku Murad Ismail kepada Walikota Ambon.

“Murad marah karena Cendra­wasih miliknya yang dikirim dari Dobo, ditahan oleh petugas BKS­DA,” kata sumber Siwalima lain di Pem­prov Maluku, Senin (30/8) siang.

Konfik BKSDA dan Gubernur ini hanyalah sepenggal ceritera dari drama panjang ribut-ribut antara BKSDA versus Sadli Ie, pelaksana harian Sekda Maluku.

Jauh sebelum penahanan Cendra­wasih Gubernur, BKSDA memang sudah terlibat perdebatan panjang dengan Sadli.

BKSDA mengklaim Sadli telah menyerobot lahan milik mereka. Awal­nya BKSDA lebih dahulu menyurati Sadli terkait dengan bangunan gu­dang milikinya diatas tanah negara.

Dalam surat tersebut, diketahui bahwa lahan yang diserobot berada di kawasan Kebun Cengkeh, Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, seluas 12,5 M2, yang diatasnya telah dibangun bangunan semi permanen milik Sadlie Ie.

Aset seluas 2.109 M2 ini, sesual Sertifikat Hak Pakai No. 25 tahun 1996, telah  tercatat pada SIMAK BMN Balai KSDA Maluku.

Surat BKSDA ini, merujuk pada surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dirjen  Konser­vasi Sumber Daya Alam dan Eko­sistem,  Nomor S.519/KSDAE/SET.3/KAP 2/6/2021, perihal Penambahan Bangunan Milik Masyarakat  Di Atas Tanah Negara Pemerintah RI, yang ditandatangani Ir Wiratno, MSc.

Surat yang ditujukan kepada Kepala Balai KSDA Maluku ini juga diterima redaksi, Minggu (29/8). Surat tersebut  ternyata sebagai bentuk tanggapan atas surat yang dikirimkan BKSDA Maluku bernomor  s.649/K. 19/TUKAP/6/2021 tanggal 24 Juni lalu.

Dalam surat yang dikirimkan Kementerian disebutkan: 1. Bahwa tanah negara yang berada di Jl. Kebun Cengkeh seluas 2.109 M2 dengan Sertifikat Hak Pakai No. 25 tahun 1996 merupakan Tanah Negara cq Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tercatat pada SiMAK BMN BKSDA Maluku.

2. Pada tanah tersebut berdiri bangunan semi permanen yang dibangun oleh Sdr. Sadli Ie seluas 12,5 m2 tanpa seijin BKSDA Maluku selaku Kuasa Pengguna Barang.

3. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-l/2008 tetang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Pengha­pusan, dan Pemindahtanganan ba­rang Miik Negara Lingkup Depar­temen Kehutanan Bab l1, Penggu­naan Barang Milik Negara Pasal 4 point (1) bahwa penggunaan Barang Milik Negara untuk menjalankan tugas pokok dan Fungsi Depar­temen Kehutanan.

4, Berkenaan dengan hal tersebut diatas, agar Saudara :a) Memerin­tahkan Sdr. Sadli Ie untuk melakukan pembongkaran atas bangunan semi permanen dimaksud,  karena tidak sesual dengan ketentuan aturan yang berlaku, dalam waktu 2 bulan sejak diterimanya surat ini. b) Me­lakukan pengamanan, penertiban dan pena­taan aset negara sebagai­mana tercatat dalam SIMAK BMN BKSDA Maluku. c). Berkoordinasi dengan pihak Pemerintah Desa setempat.

Berdasarkan Surat tersebut, Kepala BKSDA Maluku, Danny Pattipelohy lalu melayangkan surat bernomor S.800/K.19/TU/Um/7/2021 tanggal 22 Juli 2021, ditujukan kepada Sadlie Ie untuk segera mengosongkan lahan tersebut, dan melakukan pembong­karan atas bangunan hingga 22 September 2021 mendatang karena tidak sesuai peraturan yang berlaku.

Lapor Balik

Sementara itu, selaku koordinator Kehutanan di Maluku, Sadli Ie ke­mudian melayangkan surat yang ditanda tangani oleh Gubernur Murad Ismail kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk memperta­nyakan status tanah tersebut.

Sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2001 tentang tata cara penyerahan aset belum terjadi di lahan eks Departemen Kehutanan dengan Pemerintah Provinsi Maluku, sehingga tanah tersebut masih berstatus sengketa hingga kini.

Namun begitu surat yang dikirim tanah tersebut belum mendapat tanggapan dari Kementerian Keuangan maupun dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kepada Siwalima di Kantor Dinas Kehutanan, Selasa (31/8), Sadli membenarkan membangun gudang milikinya di tanah tersebut. Namun sebelum membangun, dia telah meminta izin penggunaan kepada pihak balai.

“Jadi sebelum mambangun saya sudah minta izin untuk membangun gudang dan sewaktu-waktu bisa dibongkar. Tidak ada penyerobotan, saya sudah minta izin dan dikasih,” ujar Kadis Kehutanan Maluku ini.

Sadli berharap BKSDA juga bertindak adil, dengan melarang juga bangunan milik warga diatas tanah yang juga bersengketa, karena banyak bangunan milik masyarakat di lokasi tersebut, kenapa hanya dirinya yang disurati.

“Saya tidak masalah, mereka mau suru bongkar silakan, tapi kenapa hanya bangunan saya yang diusik, sedangkan banyak bangunan masyarakat diatasnya,” kesalnya.

Dia mengaku justru bangunan konservasi satwa liar yang sedang diba­ngun tidak memiliki IMB dari pemerintah namun tidak dipublis media. “Itu bangunan konservasi satwa liar di dalam kawasan penduduk, tidak ada izinnya, dan keberadaanya sa­ngat membahayakan warga sekitar,” kilah dia.

Ditanya apakah perseteruan ini dikarenakan penahanan burung Cendrawasih milik Murad, Sadli membantahnya.

“Yang ditahan itu adalah pakian adat dari Dobo, bukan burung Cendrawasih. Di kepala pakian adat itu ada Burung Cendrawasi, bukan burung,” tegasnya.

Sementara untuk status tanah nanti akan dijelaskan oleh Kepala Seksi Penegakan Hukum Dinas Kehutanan biar jelas. Nanti ke lokasi baru lihat sendiri gudang yang saya bangun dan lihat bangunan warga lain yang tidak disorot, kan aneh,” ungkapnya.

Sejumlah media kemudian diajak untuk meninjau lokasi pembangunan gudang milik Sadli di RT 006/09 jalan Raya Kebung Cengkeh

Pantauan Siwalima, di lokasi tanah sengketa tersebut bukan hanya milik Sadli sendiri tapi banyak bangunan rumah serta kandang ternak warga. Dan gudang milik Sadli Ie lebarnya depan 1,5 meter, panjang 6 meter dan belakang lebar 3 meter. Sedangkan bangunan warga semuanya permanen dan ada juga sejumlah kandang ternak hewan dan lapangan tenis.

Kepala Seksi Penegakan Hukum Dinas Kehutanan Maluku Jerrold Leasa, kepada wartawan usai peninjauan lokasi mengaku kalau pihaknya sedang memproses tanah tersebut dengan Kementarian Keuangan dan KLHK.

Sesuai dengan aturan otonomi daerah, aset pemerintah pusat sudah harus diserahkan ke pemerintah daerah, namun dulu tim pencatatan aset yang dibentuk tahun 1999 itu tidak sampai ke Maluku hanya di 25 provinsi, tidak untuk Maluku. “Jadi kita sementara mengurus lahan terse­but, kalau sesuai aturan lahan itu sudah harus diserahkan ke Pemerintah Pro­vinsi dan BKSDA harusnya meminta izin ke kita sebelum membangun,” tandas Leasa. (S-52/S-19/S-50)