AMBON, Siwalimanews – Guna mendapatkan keadilan terkait kepemilikan kios, maka para pedagang di pusat perbelanjaan Ambon Plaza yang diwakili tim kuasa hukum, menggugat Pemerintah Kota Ambon di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Ketua tim hukum pedagang Amplaz, Sunardiyanto menjelaskan, seluruh pedagang Amplaz mengantongi sertifikat hak milik atas satuan rumah susun, berupa sertifikat hak guna bangunan, sehingga tak ada alasan bagi pemkot untuk tak memperpanjangan izin para pedagang.

“Memang betul di atas tanah itu adalah hak guna bangunan. Sebagaimana kita buka di dalam akta kepemilikan itu jelas di poin C, hak atas tanah bersama itu, hak guna bangunan ini hak induknya nomor 282,” ucap Sunardiyanto kepada wartawan dalam konfrensi pers yang digelar di lantai II Amplaz, Senin (1/7).

Hanya saja kata Sunardiyanto, persoalannya di poin A itu, bentuk kepemilikan hak milik atas satuan rumah susun, makanya, di setiap kios pada poin paling belakang, di depannya itu 275, nomornya berbeda-beda, ini terkait dengan hak para pemilik kios, kemudian pada bagian belakang itu nomor kios, disitu jelas, bahwa kepemilikan atas seluruh kios milik masing-masing pemilik atau penghuni pedagang Amplaz.

Mengapa dikatakan demikian? Ini sesuai dimana kejelasan SHM itu yang mana dijelaskan dalam UU rumah susun, dimana Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 menjelaskan, bahwa SHM rumah susun itu adalah satuan hak milik, yang terpisah dengan hak guna bangunan dengan hak tanah dan dengan hak benda bersama.

Baca Juga: Hari Pertama Tamarunang Cup, Atlet Kota Ambon Raih 3 Medali

“Sehingga tidak bisa disamakan. Kalau dulu memang betul, ada yang berpikir dengan berakhirnya HGB maka berakhir pula hak milik, namun itu dulu di PP Nomor:4 tahun 1988 karena mengadopsi asas vertikal. Tetapi dengan adanya UU tentang Rusun dan PP Nomor 13, maka sudah tidak diadopsi lagi terkait dengan asas vertikal melainkan asas horizontal,” jelasnya.

Berdasarkan asas horizontal tersebut menurutnya, maka ketika status SHM itu berakhir, statusnya itu melekat selama bangunan itu fungsinya masih sama sebagaimana peraturan nomor 18 tahun 2021.

Jika merujuk pada UU Nomor: 18 itu sendiri, HGB itu bisa diperpanjang, apabila bangunan masih berdiri difungsikan sama, sehingga kalau bangunannya masih difungsikan sama, maka dengan sendirinya SHM itu masih melekat pada pemilik masing-masing.

Ia mengaku, pihaknya kini telah melayangkan gugatan ke PTUN Ambon. Alasan gugatan itu dilayangkan, karena sampai saat ini kepemilikan sertifikat rumah susun belum mendapatkan perpanjangan.

“Kami juga menggugat pemkot yang memiliki aset ini untuk menerbitkan sertifikat dan memberikan rekomendasi kepada seluruh pedagang di Amplas untuk menerbitkan rekomendasi terkait dengan perpanjangan HGB sebagaimana PP Nomor 18 yang menyatakan bahwa, perpanjangan itu 30 ditambah 20 tahun, itu yang sementara kami gugat, “ bebernya

Tim kuasa hukum lainnya Adam Hadiba menjelaskan, rumah susun amplas ini terjadi permasalahan bukan saja berkaitan dengan kenaikan harga sewa, namun juga perintah mengosongkan amplas pada tanggal 6 Juli nanti.

“Masalah Amplaz ini bukan hanya berkaitan dengan harga sewa secara sepihak yang dilakukan oleh pengelola, tetapi ini juga berkaitan dengan warning mengeluarkan pedagang pada tanggal 6 Juli. Kami mau pertegas bahwa pedagang Amplaz tidak akan keluar itu yang harus dicatat, dasar hukumnya apa? Langkah ini kami ambil untuk minta pemkot perpanjang rekomendasi terhadap SHGB yang kemudian menjadi polemik,” tegasnya.

Gugatan ini dilayangkan kata dia, agar pemkot perpanjang rekomendasi yang sudah dijelaskan dalam UU Rumah Susun tadi. Gugatan yang dilayangkan ke PTUN dengan  Nomor perkaranya 20/g tf 2024/PTUN Ambon.

Masalah Amplaz menurutnya, bukan hanya soal harga sewa, tetapi berkaitan juga dengan status hokum, sebab pedagang miliki status sah kepemilikan Amplaz sehingga mereka tak bisa dikeluarkan. Dengan demikian ketika pemkot dan pengelola mau buat apapun harus melibatkan pedagang.

Sementara terkait harga sewa sepihak oleh PT Modern Multi Guna tak sesuai dengan aturan, karena biar bagaimanapun juga harus dikomunikasikan dengan pedagang bukan saja bersama pengelola.

“Tadi sudah saya sampaikan sampai saat ini tindakan yang dilakukan PT Modern Multi Guna yang menyatakan telah melakukan MoU dengan pemkot sampai saat ini akami belum melihat SK itu. Pedagang pernah bersuara ke DPRD minta menunjukkan bukti MoU, tetapi dijawab bahwa itu rahasia, padahal berdasarkan PP Nomor 18 itu wajib diikutsertakan pedagang,” cetusnya.

Selain melayangkan gugatan ke PTUN, pihaknya juga memasukan laporan pengaduan ke Polda Maluku, terkait tindakan pengalihan hak kepemilikan yang diatur dalam UU Rusun, PP Nomor 13 dan 18 dialihkan menjadi sewa menyewa.

“Mungkin hari Rabu kita akan dipanggil terkait tindakan pengalihan hak kepemilikan yang diatur dalam UU rusun, PP 13 dan 18 dialihkan menjadi sewa menyewa. Itu yang sedang kita laporkan,” jelasnya.

PT Modern Multi Guna kata dia, sudah sampaikan bahwa pengelolaan mereka habis di tahun 2023, mengapa tak menunjukkan SK perpanjangan pengelolaan itu, namun buat tagihan, kemudian diubah hak kepemilikan menjadi hak sewa.

Didalam hukum, sertifikat hak milik itu lebih tinggi dari semua sertifikat bagaimana mungkin hak milik diubah menjadi sewa menyewa.

Kuasa hokum lainya, Edinson mengatakan, pembayaran yang dilakukan dari hak milik diubah menjadi sewa menyewa bukan dengan satu lembar kertas, tetapi hanya setengah kertas kemudian menggunakan tulisan tangan, bukan resmi dari PT Modern Multi Guna.

“Saat menagih, disana mereka mengatakan ini harga tokoh kamu sekarang, kalau tak mampu bayar atau tidak mau bayar, maka di tanggal 6 Juli harus kosongkan took,” jelasnya.

Ia juga minta pada 6 Juli nanti, pihak PT Modern Multi Guna tak boleh melakukan pergerakan, sebab pihaknya sementara menempuh jalur hukum.

“Kami minta kepada PT Modern Multi Guna untuk tidak melakukan kegiatan apapun, karena kami akan melakukan tindakan perlawanan, baik pidana maupun perdata, itu sikap kami. Jadi pada prinsipnya kami pedagang melawan untuk tak dikeluarkan,” tegasnya. (S-26)