AMBON, Siwalimanews – Ketua Tim PKM UKIM, Pendeta Eklefina Pattinama mengatakan, sampai saat ini diskriminasi terhadap perempuan masih terus terjadi, karena kuatnya budaya patriakhi.

Berbagai bentuk tidak tepat terus diulang, didengungkan, dari generasi ke generasi. Dengan anggapan bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki karakteristik berbeda yang terbentuk sebelum lahir.

Stereotip yang ada di atas kuat dalam masyarakat dan selanjutnya mempengaruhi kondisi hingga masuk sampai pada lingkup pengasuh  pada bahan ajar pendidikan formal gereja.

Hal itu diungkapkan Pattinama kepada wartawan, di Ambon, kemarin bersama dua temannya, Grace Wurwuy dan Yonas Tuhumury. Mereka menemukan tidak berjalannya gender, saat UKIM  belum lama ini melakukan pelatihan bahan ajar kurikulum gereja menuju pemenuhan HAM reponsif gender bagi para penga­suh sekolah minggu jemaat GPM Alang Asaude Klasis Seram Barat.

Hal ini terlihat seperti pendidikan SM/TPI dan Pendidikan di katekisasi hal itu terungkap dari wawancara  bahwa pengajaran Agama Kristen yang dilakukan di sekolah minggu.

Baca Juga: Dewan Didorong Segera Serahkan Rekomendasi Pasar Mardika

Para pengasuh/guru agama  sesungguhnya menempatkan perempuan dan laki-laki sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia.

“Dengan kewajiban-kewajiban yang sifat dogmatis Kristen, bahan ajar yang digunakan dalam pendidikan gereja pada sekolah minggu seperti buku teks pelajaran agama kristen, buku pengayaan, buku bacaan, pengajaran masih memuat stereotip gender. Padahal prinsipnya pendidikan gereja seharusnya mengantarkan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai teologi menjadi kekuatan mengatasi berbagai ketidaksetaraan gender,” ujarnya.

Kata Pattinama, masalah rendahnya pengetahuan pengasuh/guru Sekolah Minggu Jemaat GPM Alang Asaude tentang konsep gender masih sangat rendah.

“Kesetaraan dan ketidakadilan gender,  bagi gereja terutama dalam pendidikan rendahnya pengetahuan pengasuh tentang HAM serta rendahnya pengetahuan pengasuh tentang teks Alkitab responsif gender,” bebernya.

Dijelaskan, rendahnya ketrampilan pengasuh dalam pengembangan bahan terbuka sesuai teks Alkitab  wajib disosialisasi responsif gender dan latihan menentukan HAM Responsif gender.

Pattinama juga menjelaskan, pelaksanaan kegiatan pelatihan ini dilakukan pada  15 – 17 Juni 2023 lalu.  Ketua Tim PKM menyampaikan beberapa hal yang berhubungan dengan kegiatan pelatihan PKM pengembangan bahan ajar yang berguna bagi para pengasuh.

“Mengembangkan pembelajaran gereja yang responsif gender dengan membawakan materi kesetaraan gender dalam pelayanan gereja terjadi dalam Masyarakat, karena perempuan dikaitkan  urusan rumah tangga yakni masak, cuci, sapu, mengurus anak, sedangkan  laki-laki yang dianggap kuat,  identik dengan urusan domestik,  tidak miliki kegiatan rumah tangga seperti menyapu, mencuci, mengurus anak, dan lainnya,” terangnya.

Lanjut Pattinama, ketidaksetaraan gender tidak hanya terjadi dalam masyarakat tetapi juga dalam pelayanan gereja.

“Walaupun dalam ajaran Gereja Protestan di Maluku telah ditetapkan konsep teologi tentang kesetaraan gender namun masih terdapat tafsiran Alkitab yang bias gender. Ada teks Alkitab yang ditafsiran memperkuat posisi laki-laki sebagai pemimpin, kepala dan sebagai penguasa atas perempuan. Hal ini turut mempengaruhi tindakan diskriminasi, ketidakadilan terhadap perempuan,”  katanya.

Padahal, tambah Pattinama, gereja terpanggil untuk memperjuangkan keadilan gender.

“Gereja berpihak pada memper­juangkan hak hidup manusia. Oleh karena itu diperlukan penafsiran Alkitab yang responsif gender dalam pendidikan gereja.  Gereja terpanggil untuk mengembangkan makna keseteraaan gender dalam dunia pendidikan gereja sesuai kurikulum pendidikan gereja kepada anak SM/TPI bagaimana identitas anak laki-laki dan perempuan setara sebagai manusia,” tandasnya. (S-08)