AMBON, Siwalimanews – Pemimpin Redaksi porostimur.com Dino Umahuk menyayangkan pemanggilan wartawan oleh pihak Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Maluku untuk dimintai keterangan sebagai saksi terkait pemberitaan dana hibah Kwarda Pramuka Maluku yang dipublis beberapa hari lalu.

“Wartawan tidak diperkenankan menjadi saksi di kantor kepolisian atas suatu pemberitaan. Kesaksiannya itu bisa direpresentasikan dalam produk berita,” ujar Umahuk dalam rilisnya yang diterima redaksi Siwalimanews, Rabu (26/7).

Umahuk yang Ketua Bidang Organisasi Pengurus Pusat Jaringan Media Siber Indonesis (JMSI) ini menyarankan pihak kepolisian untuk mengutip hasil produk berita wartawan tersebut yang telah dipublis melalui media massa. Sebab keterangan wartawan yang nantinya akan dimintai keterangan juga tidak jauh beda dengan apa yang ditulisnya di media massa.

Berdasarkan UU Nomor: 40 tahun 1999 tentang Pers, jurnalis memiliki hak tolak, dimana pada pasal 1 butir 10 UU tersebut, hak tolak adalah hak yang dimiliki wartawan karena profesinya untuk mengungkap keterangan atau identitas narasumber yang dirahasiakan.

“Sedangkan menurut pasal 4 ayat (4), hak tolak digunakan dalam hal jurnalis dimintai pertanggungjawaban hukum atas karya jurnalistiknya,” jelas Umahuk.

Baca Juga: Desa Waeketan Baru Ditetapkan Sebagai Kampung Moderasi Beragama di SBT

Penjelasan pasal 4 ayat (4) jelas Umahuk disitu menegaskan, hak tolak diberikan wartawan untuk melindungi sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan apabila, jurnalis dimintai keterangan pejabat penyidik atau menjadi saksi di pengadilan. Hak Tolak hanya dapat dicabut oleh pengadilan dengan alasan demi ketertiban umum dan demi keselamatan negara.

Untuk itu, Umahuk mengingatkan, agar penyidik di Ditkrimsus Polda Maluku menghormati hak tolak jurnalis  yang menyiarkan  berita tersebut. Hal ini agar jurnalis tetap dapat bekerja secara independen dan imparsial. Pasalnya, hak tolak ini penting, agar wartawan tidak diperalat untuk menjerat seseorang.

Pejabat penyidik maupun polisi tidak boleh meminta keterangan, selain hal-hal yang sudah disiarkan. Jika jurnalis memberikan keterangan yang dapat digunakan untuk menjerat narasumber, hal ini akan merusak kepercayaan narsumber terhadap jurnalis. Agar kehadiran jurnalis tetap dapat diterima oleh siapapun, maka jurnalis tak boleh memberi keterangan untuk menjerat pihak-pihak lain.

Umahuk menjelaskan, keterangan wartawan sebagai saksi cukup diwakili lewat karya jurnalistik yang telah dibuatnya. Karya tersebut dapat berupa laporan pemberitaan maupun foto jurnalistik yang terkait perkara tertentu.

“Karya jurnalistik dapat menjadi kesaksian tanpa wartawan itu hadir dalam persidangan,” ucap Umahuk.

Umahuk menambahkan, karya jurnalistik yang dibuat oleh seorang wartawan dapat dijadikan bukti dalam sebuah persidangan. Tulisan atau pun foto itulah yang kemudian menjadi saksi dan ‘berbicara’ untuk pembuktian seorang terdakwa.

“Biar masyarakat yang menilai apakah benar atau tidak berita itu,” tandas Umahuk.

Untuk diketahui, penyidik Ditkrimsus Polda Maluku melayangkan undangan kepada wartawan poros timur.com untuk dimintai keterangannya sebagai saksi, pada Rabu (16/7), terkait pemberitaan dana hibah Pemerintah Provinsi Maluku yang belakangan ramai diberitakan sejumlah media massa.

Undangan tersebut diantarkan oleh seorang petugas polisi bernama Hans ke Kantor DPRD Maluku di Kawasan Karang Panjang, dimana sang wartawan melakukan tugas peliputan. Namun sang wartawan menolak undangan tersebut dan meminta petugas agar mempelajari kembali UU Pers sebelum melakukan pemanggilan terhadapnya untuk dijadikan sebagai saksi.

Lantaran sang wartawan tidak bersedia menerima undangan tersebut, mak petugas polisi itu, memilih pergi dan membawa kembali undangan dimaksud.

“Jadi tadi ada petugas polisi yang telepon jurnalis kami yang bertugas di DPRD Maluku, katanya ada undangan jadi saksi dari Ditkrimsus, sekitar 15 menit kemudian petugas polisi bernama Hans datang ke kantor DPRD dan membawa undangan pemeriksaan itu, namun ditolak oleh jurnalis kami sambil menjelaskan soal keberadaan UU Pers dan hak wartawan untuk menolak panggilan polisi,” jelas Umahuk.

Ini tentu menjadi preseden yang kurang baik bagi kebebasan pers di daerah ini. Pihaknya berharap agar aparat penegak hukum lebih jeli dalam mengambil langkah, terutama karena ada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang melindungi kerja jurnalis.

“Selain itu ada MoU antara Dewan Pers dengan Kapolri yang saya kira perlu sama-sama kita kedepankan,” pungkas Umahuk. (S-06)