Pajak dan Mimpi Negara Kesejahteraan
JIKA tidak ada aral melintang, tepat tanggal 1 Januari 2025, pemerintah akan memberlakukan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang baru, meningkat dari 11% menjadi sebesar 12%, untuk setiap barang dan jasa. Kecuali, untuk barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat dibebaskan dari pengenaan PPN.
Kebijakan penaikan PPN diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Adapun barang dan jasa yang tidak dikenai PPN diatur pada Pasal 4A dan 16B serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK/010/2017. Bagi pemerintah sendiri, penaikan tarif PPN bertujuan menjaga ruang fiskal anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang semakin sempit.
Sekilas kebijakan tarif PPN sangat baik dan pro terhadap masyarakat, karena dana dari penaikan PPN akan dikembalikan kepada masyarakat melalui berbagai program bantuan, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), subsidi elpiji 3 kg, dan subsidi BBM. Program pendidikan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah juga akan didukung.
Pada saat yang sama, pemerintah turut memperluas lapisan pendapatan yang dikenai pajak penghasilan (PPh) tarif 5%, dari sebelumnya Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Selain itu, pelaku UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta per tahun dibebaskan dari PPh. Tentunya kebijakan ini diharapkan dapat mendorong sektor UMKM untuk dapat tumbuh dan berkembang.
Perkembangan penerimaan PPN dan PPnBM mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2023, penerimaan pajak mencapai Rp1.867.867,2 miliar atau berkontribusi 59,9% terhadap belanja negara. Adapun penerimaan PPN dan PPnBM mencapai angka Rp763,6 triliun atau berkontribusi sekitar 40% dari total penerimaan pajak secara keseluruhan.
Baca Juga: Robohnya Mahkamah KamiPertumbuhan PPN dan PPnBM pada 2021 sebesar 22,6%. Pada 2022 pertumbuhan PPN dan PPnBM lebih tinggi yakni 24,6%, yang didorong oleh peningkatan aktivitas ekonomi pascapandemi covid-19. Pada 2023, PPN dan PPnBM tumbuh lebih rendah, sekitar 11,1%. Kondisi itu tidak bisa dilepaskan dari dampak lesunya perekonomian nasional. Hal tersebut tergambar dari pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05%.
Posisi tarif PPN Indonesia sudah tergolong tinggi saat ini, jika dibandingkan dengan 10 negara ASEAN. Indonesia hanya berada di bawah Filipina yang menetapkan PPN-nya sebesar 12%. Jika tahun depan PPN Indonesia meningkat menjadi 12%, Indonesia dan Filipina merupakan negara dengan tingkat PPN paling tinggi di ASEAN.
Tarif PPN Indonesia berada di posisi di tengah jika dibandingkan dengan value added tax (VAT) atau good and services tax (GST) yang diterapkan di beberapa negara Asia. Dari 61 negara Asia yang menerapkan PPN atau VAT/GAT, tarif tertinggi diterapkan oleh Turki dan Armenia sebesar 20%. Adapun Taiwan, Yaman, UEA, dan Oman menerapkan tarif VAT/GST terendah yakni sekitar 5%.
Akan tetapi, jika dibandingkan dengan negara-negara kesejahteraan (welfare state) yang terdapat di kawasan Skandinavia atau Nordik seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia, tarif PPN Indonesia jauh tertinggal. Denmark dan Swedia, misalnya, menetapkan tarif PPN sebesar 25%. Tingginya tarif PPN negara-negara Nordic sejalan dengan fasilitas dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
Pajak dan kualitas hidup masyarakat
Pajak pada hakikatnya menjadi salah satu sumber pendanaan untuk membiayai kegiatan pemerintah, baik yang berupa belanja rutin maupun pembangunan yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pajak yang dipungut harus memiliki asas manfaat dan kesejahteraan. Hasil pungutan pajak tersebut harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kepentingan umum dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (WJ de Langen).
Role model yang banyak menjadi contoh kemampuan sebuah negara dalam mengoptimalkan peran pajak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya ialah negara-negara di kawasan Skandinavia. Welfare state
di kawasan Skandinavia dianggap sebagai model sistem kesejahteraan sosial modern yang dicirikan dengan peran sosial negara yang besar serta bekerja di atas prinsip-prinsip solidaritas, kesetaraan, kepedulian, dan universalisme. Dengan begitu, mereka mampu menyediakan asuransi kesehatan, juga jaminan hari tua yang memadai bagi warga negara.
Negara memiliki peran dan tanggung jawab yang besar untuk menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, serta mendistribusikan ulang sumber daya ekonomi kepada warga negara tanpa mengecualikan status ekonomi dan sosial mereka. Negara berkewajiban untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas dari semua jenjang dan layanan kesehatan terbaik secara gratis bagi masyarakatnya. Model ini sangat bergantung pada peran besar dan kemampuan negara untuk mengelola ekonomi nasional.
Indonesia sebenarnya sudah memulai menuju negara welfare state, walaupun masih bersifat terbatas. Secara konstitusi, dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat sangat jelas tergambar, ‘… memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa’. Diperkuat dengan Pasal 27, 28, 31, 33, dan Pasal 34 UUD 1945. Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menjadi landasan yang kuat secara konstitusi.
Alokasi anggaran yang digunakan untuk pembangunan sosial sudah tergolong besar. Pada APBN tahun anggaran 2024, fungsi perlindungan sosial dialokasikan sebesar Rp270,15 triliun. Jika dimasukkan, alokasi anggaran pendidikan sebesar Rp665,02 triliun atau 20% dari belanja negara.
Begitu pula dengan alokasi anggaran kesehatan yang sebesar Rp187.534,4 miliar atau 5,6% dari belanja negara tahun 2024. Program jaminan sosial dan kesejahteraan perlu ditata dan dikelola lebih baik lagi ke depannya. Persoalan mendasar seperti database masyarakat penerima manfaat masih harus dibenahi, berbasis teknologi informasi, sehingga bisa mengurangi inclusion dan exclusion error. Kebijakan pemberian bantuan sosial tidak boleh lagi dikaitkan dengan kepentingan politik tertentu, tetapi benar-benar terencana dengan baik.
Masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah saat ini. Menaikkan PPN pada 2025 memiliki dilema tersendiri di saat kondisi ekonomi masyarakat berada pada level yang sulit. Indonesia mengalami deflasi dalam lima bulan berturut-turut. Pertumbuhan ekonomi triwulan III 2024 hanya berkisar 4,95%. Kondisi lapangan memperkuat data tersebut, banyak pabrik yang terpaksa tutup. Transaksi di pasar-pasar besar seperti Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Tenabang, juga sepi pengunjung.
Oleh sebab itu, jika memang kebijakan penyesuaian tarif PPN yang akan segera dijalankan oleh pemerintah berjalan, dipastikan manfaatnya harus kembali kepada masyarakat dalam berbagai bentuk program bansos dan subsidi, antara lain Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, subsidi listrik, subsidi elpiji 3 kg, subsidi BBM, dan subsidi pupuk. Oleh: Handi Risza (Wakil Rektor Universitas Paramadina)
Tinggalkan Balasan