Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing merupakan Trigatra Bangun Bahasa yang dimiliki Badan Pengemba­ngan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Rumusan Trigatra Bangun Bahasa dibuat tak lama setelah terbit Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (Maryanto, 2023).

Gatra yang kedua, lestarikan bahasa daerah, merupakan gatra yang benar-benar harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahun 2021, UNESCO merilis ada sekitar 8.324 bahasa di dunia. Dari 8.324 bahasa itu, sekitar 7.000 bahasa yang masih digunakan. Dari 7.000 bahasa tersebut, ada 2.698 bahasa tidak aman, 2.362 bahasa terancam punah, 1.163 bahasa berpotensi rentan, 463 bahasa sangat terancam punah, 383 bahasa sangat kritis, dan 65 bahasa aman. Kepunahan bahasa merupakan isu global yang tidak dapat dimungkiri. Isi global yang harus disikapi dengan bijak oleh seluruh pihak.

Di dalam Pedoman Revitalisasi Bahasa Daerah, Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2022, ada tiga faktor yang menyebabkan bahasa daerah di Indonesia mengalami penurunan status daya hidupnya. Faktor-faktor itu adalah (1) adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota, baik karena faktor ekonomi, bencana alam, pendidikan, maupun karier; (2) faktor politik yang terfokus ke pusat (atau yang disebut sebagai sentralisasi) menyebabkan wilayah pinggiran atau yang lokasinya jauh dari pusat kota menjadi tertinggal; dan (3) kebijakan pemerintah yang mengharuskan ranah pendidikan wajib menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar atau media untuk berinteraksi. Dengan adanya tiga faktor itu dapat disimpulkan bahwa bahasa daerah akan menghadapi ancaman kepunahan yang sangat serius.

Punahnya bahasa tentu mengakibatkan musnahnya hal-hal yang terkandung di dalamnya. Hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh UNESCO (2021), yaitu bahwa ketika sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan manusia (identitas, sejarah, budaya) dan kehilangan pengetahuan lokal yang terkandung di dalamnya. Kepunahan bahasa merupakan isu global yang sudah menjadi wacana sejak dulu dan perlu disikapi dengan serius dengan mencari solusi yang efektif.

Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, ada enam kategori status vitalitas bahasa daerah. Enam kategori itu adalah

Baca Juga: Lebih Connect dengan Segmen Pemilih Kunci, Kamala Harris Bisa Kalahkan Donald Trump
  1. aman apabila bahasa masih dipakai oleh semua anak dan semua orang dalam etnik itu;
  2. stabil, tetapi terancam punah apabila semua anak-anak dan kaum tua menggunakan bahasa daerah, tetapi jumlah penutur sedikit;
  3. mengalami kemunduran apabila sebagian penutur anak-anak dan kaum tua dan sebagian anak-anak lain tidak menggunakan;
  4. terancam punah apabila semua penutur 20 tahun ke atas dan jumlahnya sedikit, sementara generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri;
  5. kritis apabila penuturnya 40 tahun ke atas dan jumlahnya sangat sedikit;
  6. punah apabila tidak ada lagi penuturnya.

Pada tahun 2022, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa memvalidasi vitalitas 113 bahasa daerah. Hasil validasi vitalitas bahasa daerah tersebut menunjukkan bahwa 5 bahasa dikategorikan punah, 8 bahasa kritis, 26 bahasa terancam punah, 29 bahasa mengalami kemunduran, 27 bahasa dalam kondisi rentan, dan 18 bahasa berstatus aman. Data ini didapat berdasarkan kajian vitalitas bahasa pada 2011—2021. Kondisi tersebut perlu ditindaklanjuti lebih jauh agar tidak menjadi punah.

Sebanyak 113 bahasa daerah yang divalidasi vitalitasnya, ada 18 bahasa daerah yang berstatus aman yang tersebar di 16 provinsi, yakni Provinsi Papua (bahasa Asmat, bahasa Walsa, bahasa                 Biak, bahasa Dajub (Tokuni), bahasa Korowai Karuwage (Korowage), bahasa Sentani, bahasa Serui Laut, bahasa Kombai), Provinsi Nusa Tenggara Barat (bahasa Bima (Mbojo), bahasa Sasak), Provinsi Sulawesi Selatan (bahasa Bugis, bahasa Makassar), Provinsi Sulawesi Tengah (bahasa Bugis), Provinsi Sumatera Utara (bahasa Melayu, bahasa Minangkabau), Provinsi Riau (bahasa Melayu, bahasa Minangkabau), Provinsi Jambi (bahasa Melayu, bahasa Minangkabau), Provinsi Sumatera Selatan (bahasa Melayu), Provinsi Kep. Bangka Belitung (bahasa Melayu), Provinsi Kep. Riau (bahasa Melayu), Provinsi Jawa Timur (bahasa Madura), Provinsi Aceh (bahasa Minangkabau), Provinsi Sumatera Barat (bahasa Minangkabau), Provinsi Bengkulu (bahasa Minangkabau), Provinsi Sulawesi Tenggara (bahasa Muna), dan Provinsi Maluku (bahasa Tagalisa).

Pada tahun 2019, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melakukan validasi vitalitas sebanyak 98 bahasa daerah. Ada 36 bahasa daerah yang berstatus aman yang tersebar di 18 provinsi. Data tersebutlah yang kemudian digunakan oleh Anindyatri dan Mufidah pada tahun 2020 dalam penelitiannya. Dari data tersebut, Anindyatri dan Mufidah (2020) meneliti hubungan antara jumlah sekolah penyelenggara muatan lokal bahasa daerah per provinsi dengan vitalitas bahasa daerah (khususnya bahasa daerah yang berstatus aman). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan evaluasi berdasarkan histori berupa data persebaran bahasa daerah tiap provinsi, data vitalitas bahasa daerah tahun 2018—2019, dan data sekolah penyelenggara muatan lokal bahasa daerah. Analisis yang dipakai adalah analisis deskriptif dan inferensial. Adapun hasil penelitiannya adalah terdapat hubungan antara jumlah sekolah penyelenggara muatan lokal per provinsi dengan jumlah bahasa daerah yang berstatus aman, yang artinya makin banyak sekolah yang menyelenggarakan muatan lokal bahasa daerah maka makin banyak pula di bagian wilayah tersebut yang memiliki bahasa daerah dengan tingkat vitalitas (status) aman.

Provinsi Maluku memiliki 62 bahasa daerah (https://peta­ba­hasa.kemdikbud.go.id/ Diakses pada 16 Juli 2024 Pukul 17.08 WIT). Kondisi bahasa daerah di Maluku ada yang stabil, tetapi terancam punah, ada yang me­-ng­alami kemunduran, terancam punah, kritis, bahkan ada yang berstatus punah (Anindyatri dan Mufidah, 2020). Kondisi itu tentu­nya perlu disikapi dengan serius oleh pemerintah daerah di Maluku. Sejumlah 18 provinsi yang bahasa daerahnya berstatus aman itu telah menjadikan bahasa daerah sebagai muatan lokal. Ada total 15.569 sekolah yang tersebar di 18 provinsi tersebut yang telah menjadikan bahasa daerah sebagai muatan lokal. Provinsi Maluku perlu menerbitkan pera­turan yang mengatur adanya muatan lokal berbahasa daerah di sekolah-sekolah, seperti yang telah dilakukan 18 provinsi di atas agar status bahasanya aman. Hal itu telah dibuktikan oleh Provinsi Papua. Provinsi Papua telah menjadikan bahasa daerah sebagai muatan lokal di 3.530 sekolah. Provinsi Papua memiliki karakteristik yang tidak jauh beda dengan Provinsi Maluku, yakni memiliki banyak bahasa daerah, tetapi jumlah penutur sedikit dan dengan sebaran terbatas. Keberhasilan Provinsi Papua perlu menjadi acuan dan pertimbangan Pemerintah Daerah Provinsi Maluku dalam menerbitkan peraturan mengenai adanya muatan lokal berbahasa daerah di sekolah-sekolah.

Provinsi Maluku memiliki sebelas kabupaten/kota. Salah satu kabupaten di Maluku adalah Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Pada tahun ini, tepatnya tanggal 13 Februari 2024 Kabupaten Kepulauan Tanimbar menerbit­­kan Keputusan Bupati Kepulauan Tanimbar Nomor 400.3.2-616 Tahun 2024 tentang Kurikulum Muatan Lokal bagi Satuan Pendidikan Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Mene­ngah di Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun 2024. Ini adalah bukti konkret kepedulian peme­rintah daerah dalam merespons isu global kepunahan bahasa yang sedang terjadi di dunia. Kabupaten Kepulauan Tanimbar memiliki lima bahasa daerah, yakni bahasa Yamdena, bahasa Makatian, bahasa Fordata, bahasa Seluwarsa, dan bahasa Selaru. Dengan adanya keputusan ini, tentunya lima bahasa daerah tersebut akan terlindungi. Jika dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anindyatri dan Mufidah pada tahun 2020, ada harapan bahwa lima bahasa daerah di Kabupaten Kepulauan Tanimbar dapat berstatus aman.

Muatan lokal merupakan salah satu langkah yang efektif dalam pelindungan bahasa daerah. Dalam menghadirkan muatan lokal berupa pengajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah tentunya dibutuhkan langkah-langkah persiapan, di antaranya adanya peraturan pemerintah daerah dalam mendukung keberadaan muatan lokal dan penyediaan bahan ajar. Adanya Keputusan Bupati Kepulauan Tanimbar tentang Kurikulum Muatan Lokal bagi Satuan Pendidikan Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah di Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun 2024 merupakan salah satu bentuk kepedulian pemerintah daerah dalam melestarikan bahasa daerahnya. Oleh karena itu, diharapkan para pemimpin daerah lainnya di Provinsi Maluku dapat mengikuti langkah tersebut agar pelestarian bahasa daerah di Provinsi Maluku dapat terlaksana dengan baik. Oleh: David Rici Ricardo, S.S.Widyabasa Ahli Pertama, Kantor Bahasa Provinsi Maluku.(*)