Maluku merupakan provinsi keempat yang memiliki bahasa daerah terbanyak setelah Provinsi Papua (326 bahasa), Papua Barat (102 bahasa), dan Nusa Tenggara Timur (72 bahasa). Urutan keempat pemilik bahasa daerah terbanyak ini dikalkulasikan sebelum adanya pemekaran wilayah Provinsi Papua pada tahun 2022. Jumlah bahasa di Provinsi Maluku menurut data dalam buku Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia tahun 2019 adalah 62 bahasa daerah dan telah bertambah menjadi 70 bahasa daerah setelah dimutakhirkan pada tahun 2021. Satu di antara 70 bahasa daerah tersebut adalah bahasa Teon.

Bahasa Teon merupakan bahasa daerah yang saat ini dituturkan di Pulau Seram, Kecamatan Teon Nila Serua (TNS), Kabupaten Maluku Tengah. Bahasa ini awalnya dituturkan di sebuah pulau kecil bernama Pulau Teon yang terletak di tengah Laut Banda. Namun, karena ancaman meletusnya gunung berapi, pada tahun 1978 semua penduduk harus bermigrasi ke Pulau Seram, termasuk penduduk yang bermukim di Pulau Nila dan Pulau Serua. Berdasarkan informasi yang dihimpun di lapangan, bahasa Teon dituturkan di tiga desa, yakni Desa Watludan, Desa Mesa, dan Desa Yafila. Bahasa Teon hanya dituturkan oleh sebagian kecil penutur sehingga bahasa ini tergolong bahasa minoritas. Saat ini, penutur aktif bahasa Teon terbatas di antara usia 50—65 tahun. Dalam sebuah penelitian tahun 1985-an, Collins menjumpai penutur muda yang masih aktif berbahasa Teon. Berdasarkan informasi ini dapat disimpulkan bahwa pada awal para penutur bahasa Teon menempati dataran Pulau Seram, bahasa Teon masih aktif digunakan sebagai alat komunikasi utama dalam kelompok penuturnya.

Eksistensi bahasa Teon kian menurun. Perpindahan penduduk ke dataran Pulau Seram turut memengaruhi eksistensi bahasa ini. Berdasarkan pengakuan tetua adat dan masyarakat di Desa Yafila, Desa Watludan, dan Desa Mesa, banyak kosakata bahasa Teon yang turut hilang atau tidak dituturkan lagi hari ini. Migrasi  tidak hanya berdampak pada berubahnya tempat tinggal tetapi berhubungan dengan perubahan atau transformasi soiokultural masyarakatnya. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa (language shift) yang tertuang dalam buku Sosiolinguistik (Chaer & Agustina, 2007) adalah berkaitan dengan masalah penggunaan bahasa oleh masyarakat penutur yang terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur. Hal ini terbukti dengan hilangnya banyak leksikon pada ranah maritim. Kehidupan sosiokultural yang berubah dari awalnya dominan berbudaya maritim menjadi masyarakat agraris berdampak pada hilangnya upacara atau ritual adat kemaritiman orang Teon. Ritual adat penurunan arumbae yang merupakan ritual adat penurunan perahu ke pantai dan ritual saat musim panen cengkih yang menjadi kebiasaan di wilayah asalnya kini tidak dapat dilakukan lagi. Hal ini secara langsung berdampak pula pada eksistensi bahasa daerah yang turut punah dan hilang seiring pudarnya adat dan budayanya.

 Masalah penurunan eksistensi dengan perubahan kondisi alam ini sejalan dengan yang disebutkan Arka (2017) dalam “Kompleksitas Pemertahanan dan Revitalisasi Bahasa di Indonesia” bahwa keberadaan bahasa tidak terlepas dari keberadaan penuturnya yang dipengaruhi oleh konteks ruang, waktu, alam, dan ekologinya. Hal ini sejalan dengan Supriadi (2020) dalam “Pergeseran, Perubahan, dan Pemertahanan Bahasa” yang menyatakan bahwa pada dasarnya, migrasi yang terjadi pada kelompok minoritas mencakup pilihan mereka untuk tetap mempertahankan bahasa mereka dalam waktu yang lama atau beralih secara cepat ke bahasa mayoritas (Supriadi, 2020). Faktanya, perubahan dan penyesuaian hidup dari waktu ke waktu telah mengakibatkan adanya pergeseran dan peralihan bahasa.

Berdasarkan publikasi Ethnologue, Bahasa Teon merupakan bahasa Austronesia dan termasuk dalam kelompok Melayu Polinesia Tengah Timur, subcabang Timor-Babar. Dalam tulisan Taber Languages of Timor tahun 1993, bahasa Teon serta Nila dan Serua membentuk subcabang tersendiri, turunan dari kelompok Maluku Barat Daya. Penelitian awal pengelompokan bahasa ini cukup jelas memisahkan ketiga kelompok penutur bahasa ini dari kelompok Maluku Tengah Purba, termasuk bahasa Banda yang terletak tidak jauh dari tiga pulau tersebut.

Baca Juga: Ketahanan Pangan, Petani Guram, dan Kemiskinan

Berdasarkan bukti pengelompokan bahasa Teon dan kekerabatannya dengan bahasa-bahasa di bagian tenggara Provinsi Maluku, dapat dipastikan bahwa kelompok penutur bahasa Teon, Nila, dan Serua memiliki hubungan kekerabatan bahasa. Kemiripan budaya dan adat istiadat menjadikan ketiga kelompok penutur bahasa yang tergabung dalam rumpun etnik TNS ini memiliki kekerabatan yang harmonis.  Bahkan, Remiasa (2017) dalam artikel ilmiah “Makna Moritari bagi Integrasi Sosial Masyarakat TNS” menuliskan kuatnya budaya moritari dalam kehidupan orang TNS. Moritari yang merupakan budaya hidup bersama dengan rukun dalam bingkai kekeluargaan. Relasi kekerabatan dari aspek kebahasaan orang Teon dengan Nila dan Serua tidak serta-merta mengaburkan kekhasan dalam aspek linguistiknya. Hal ini didasarkan pada pendokumentasian dilakukan pada tahun 2019 sebagai wujud nyata upaya penyelamatan bahasa Teon oleh Kantor  Bahasa Provinsi Maluku.

Berdasarkan pengamatan awal, bahasa Teon memiliki karakteristik pada beberapa aspek lingusitis. Dari segi fonologis, bahasa Teon memiliki lima fonem vokal /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/ dan 14 fonem konsonan, yaitu /p/, /t/, /k/, /?/, /s/, /f/,/s/, /h/, /l/, /m/, /n/, /w/, /r/, dan /y/. Bahasa Teon juga mengenal beberapa bentuk kluster, misalnya fnetna ‘kebun’, tnorna ‘bintang’, mpali ‘hantam’, klewa ‘para-para’, dan frofa ‘setia. Selain itu, pada pengelompokan kelas kata, bahasa Teon memiliki keunikan, khususnya pada kelas kata adjektiva. Keunikan tersebut terletak pada bentuk adjektiva (kata sifat) yang diungkapkan dengan beberapa cara, di antaranya dengan menggunakan bentuk negasi. Penggunaan bentuk negasi untuk mengungkapkan beberapa adjektiva, misalnya kata jelek dalam bahasa Indonesia adalah et melmeli ‘tidak cantik’ dalam bahasa Teon dan kata hambar dalam bahasa Indonesia adalah et msni ‘tidak asin’ dalam bahasa Teon. Selain itu, pengungkapan adjektiva ini juga terbatas dengan menggunakan satu kata saja, misalnya kata melmeli dapat berarti ‘cantik, pintar, bagus, baik, wangi, indah, dan bijaksana’.

Selain itu, dalam bahasa Teon juga ditemukan beberapa istilah yang merujuk pada makna besar dengan ketentuan yang lebih spesifik, misalnya: ninura ‘besar’, namun dikhususkan pada ukuran galian tanah ketika hendak bercocok tanam. Selain itu ditemukan kata klektu ‘besar’, ‘berat’ yang dikhususkan pada ukuran buah/tumbuhan. Keragaman pada beberapa kata dalam kelompok adjektiva ini merujuk pada budaya dan alam yang tidak terlepas dari hidup dan kehidupan orang Teon sebelum bermigrasi ke Pulau Seram.

Dalam pembentukan kata, bahasa Teon mengenal beberapa bentuk morfem terikat atau morfem yang tidak bisa berdiri sendiri, misalnya morfem –ra, –ru, –tun, dan –ol. Morfem-morfem ini berfungsi sebagai penanda kala dan penanda jamak. Jika data yang terdokumentasi lebih banyak, bentuk lainnya juga memungkinkan akan ditemukan. Begitu juga dengan aspek sintaksis yang belum termuat dalam pembahasan ini. Pengenalan bahasa Teon masih dapat digali atau dikembangkan dari banyak aspek lainnya. Kekhasan unsur-unsur linguistik ini penting didokumentasikan sebagai pangkalan data yang nantinya dapat dipelajari dan digunakan oleh generasi pewaris atau penerus. Mengingat bahwa, pendokumentasian bahasa menjadi bagian tidak terpisahkan dari upaya menjaga eksistensi bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, upaya penyelamatan bahasa Teon yang kian menurun daya hidup dan eksistensinya hari ini wajib disertai dengan pendokumentasian bahasanya, baik dalam bentuk pencatatan atau perekaman audiovisual. Oleh: Faradika Darman Penelaah Teknis Kebijakan Kantor Bahasa Provinsi Maluku. (*)