KEKERASAN dan konflik vertikal serta horizontal yang melibatkan sejumlah pihak di Tanah Papua masih terus terjadi. Akan tetapi, kasus kekerasan dan konflik tersebut lebih banyak didominasi oleh kekerasan dan konflik vertikal yang terjadi antara TNI-Polri dengan Organisasi Papua Merdeka-Tentara Nasional Papua Barat (OPM-TNPB).
Sepanjang 2020 hingga pertengahan 2021 saja setidaknya sudah lebih dari 100 kasus yang melibatkan TNI-Polri dan OPM-TNPB, dan telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari masing-masing pihak, termasuk juga warga sipil yang tidak bersalah.
Terbaru, penyerangan terhadap markas Pos Ramil Kisor, Distrik Aifat Selatan Papua Barat, Kamis (2/9/2021) yang dilakukan oleh OPM-TNPB telah menyebabkan 4 anggota TNI Angkatan Darat meninggal dunia. Banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di tanah Papua ini menjadi realitas bahwa persoalan Papua masih menjadi pekerjaan rumah yang panjang dan harus terus mendapatkan perhatian yang serius untuk segera dicari penyelesaiannya.
Perlindungan HAM
Tidak dapat dipungkiri bahwa kekerasan yang terjadi antara dua pihak itu dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor yang sangat kompleks dan saling bertautan satu dengan lainnya. Sejarah integrasi dan sejumlah persoalan sosial setidaknya menjadi dua faktor utama.Dua faktor tersebut terus mengundang terjadinya konflik dan kekerasan dari waktu ke waktu, dan tentu saja dibutuhkan formula terbaik untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut.
Dalam upaya menyelesaikan persoalan tersebut, pemerintah pasca-Orde Baru menggunakan pendekatan politik dalam kerangka dan bingkai otonomi khusus (otsus) melalui Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001. Akan tetapi, instrumen tersebut tidak mampu secara optimal menyelesaikan sejumlah persoalan sosial yang diwariskan oleh rezim Orde Baru tersebut, termasuk untuk menghentikan kekerasan di tanah Papua.Tentu menjadi pertanyaan besar, kenapa otonomi khusus yang telah dijalankan selama dua dekade (2001-2021) tersebut nyatanya belum mampu membawa perubahan yang signifikan terhadap kondisi dan situasi di tanah Papua?
Jawaban sederhananya adalah karena otsus tersebut tidak dirancang melalui satu proses pembahasan dan perumusan yang matang. Termasuk tidak adanya pedoman bagaimana otsus tersebut harus dilaksanakan. Sehingga, keberadaan otsus yang merupakan ide atau gagasan yang baik tersebut justru berseberangan dengan implementasinya.
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa “hadirnya” negara dalam konteks memberikan otsus kepada Papua tentu merupakan satu terobosan atau langkah yang penting. Sehingga otsus ini perlu untuk terus dilanjutkan meskipun dengan banyak catatan.Dengan kata lain, revisi terhadap UU Otsus perlu untuk dilakukan dengan harapan bahwa pembaharuan, perbaikan dan pematangan Otsus tersebut akan mampu menjawab permasalahan yang ada dengan lebih nyata.
Secara kontras publik bisa melihat bahwa orientasi pelaksanaan otsus periode pertama (2001-2021) hanya berfokus pada pembangunan fisik, dengan tidak secara signifikan mampu membawa perubahan pada bidang lainnya yang semuanya itu bermuara kepada kesejahteraan masyarakat Papua. Di waktu bersamaan, isu perlindungan terhadap HAM juga tidak tampak menjadi prioritas dan malah dikesampingkan. Padahal isu tersebut sifatnya juga sangat substansial.
Sehingga, otsus periode kedua yang telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 19 Juli 2021 ini harus mampu menempatkan persoalan-persoalan yang selama ini terabaikan menjadi bagian dari prioritas.
Misalnya terhadap sejumlah persoalan hukum dan pelanggaran HAM. Secara objektif, publik juga belum melihat komitmen tersebut pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua yang mandek atau berhenti di Kejaksaan Agung dan urung untuk diselesaikan. Hal ini secara tidak langsung menunjukan bahwa negara yang memiliki segala instrumen hukumnya gagal memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum. Jangan sampai apa yang disebutkan bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum hanya menjadi retorika semu semata.Padahal hal tersebut menjadi variabel utama untuk mencapai filosofi sebagai negara hukum berdasarkan pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Apalagi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan atas HAM merupakan kewajiban negara yang telah diamanatkan oleh UU dan UUD 1945.
Laporan dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga menunjukan bahwa pelanggaran HAM sepanjang 2020 hingga pertengahan 2021 ini saja sudah ada 40 peristiwa kekerasan berupa penembakan, penganiayaan dan penegakan sewenang- wenang oleh aparat.Sehingga, komitmen pemerintah untuk menyelesaikan masalah Papua seharusnya juga dimulai dari hal tersebut dengan juga segera menyusun langkah-langkah untuk mendirikan pengadilan HAM di Papua.
“Memoria Passionis”
Selain melalui otsus, pemerintah juga mempraktikkan pendekatan lain untuk menyelesaikan masalah Papua terutama pada masalah yang berkaitan dengan keamanan. Yaitu melalui pendekatan yang lebih keras(hard approach)dengan melakukan operasi militer karena melihat dinamika yang terjadi di Papua semata-mata sebagai sebuah ancaman.Padahal pendekatan seperti ini justru menjadi faktor yang turut melanggengkan kekerasan dari waktu ke waktu dan telah menciptakan pengalaman pahit (memoria passionis) yang memilukan hati orang Papua.
Pintu dialog yang diharapkan akan terjadi juga semakin tertutup sejak ditetapkannya OPM-TNPB sebagai kelompok teroris. Dan, hal tersebut juga menjadi tanda bahwa pemerintah semakin kaku dalam melihat dan mengidentifikasi masalah utama di Papua.Pendekatan militeristik ini hanya akan mengatasi “efek sampingnya” tanpa sama sekali menyentuh akar masalah. Dan, justru dapat menambah risiko instabilitas domestik di tanah Papua. Di sisi lain, penetapan OPM-TNPB sebagai organisasi teroris tersebut semakin menyulitkan untuk tercapainya perdamaian di sana.
Selanjutnya, dalam perspektif otsus, pendekatan militeristik yang keras seperti ini nyatanya berseberangan dengan nilai yang terkandung dalam otsus sebagai sebuah produk politik yang di dalamnya terdapat kompromi, negosiasi, rekonsiliasi dan komitmen bersama, antara pemerintah pusat dan Papua.
Sehingga, penyelesaian secara dialogis melalui komunikasi dan negosiasi tampaknya masih merupakan cara yang paling elegan dan demokratis untuk menyelesaikan persoalan di Papua secara komprehensif. Dan, bukan dengan cara mengirimkan pasukan sebanyak-banyaknya yang justru kontraproduktif dengan tujuan untuk mengakhiri berbagai kekerasan di sana.
Tujuan Akhir
Permasalahan Papua yang begitu kompleks tidak bisa diselesaikan hanya dengan melakukan perubahan terhadap otsus semata. Termasuk juga jangan sampai pemerintah berlarut larut terjebak dengan pemahaman bahwa persoalan Papua dan juga konflik yang ada di sana hanya bisa dan harus diselesaikan dengan pendekatan militeristik. Apalagi kalau pendekatan tersebut dijadikanjalan untuk mengkonstruksikan rasa nasionalisme masyarakat Papua terhadap Indonesia.Pendekatan militeristik ini justru menjadi hambatan untuk menginternalisasikan nilai-nilai nasionalisme di dalam realitas kehidupan masyarakat Papua.Nasionalisme tersebut haruslah menjadi kehendak sendiri dan bukan dipaksakan melalui indoktrinisasi yang berlebihan dan dengan cara dan mekanisme yang keras melalui operasi militer. Karena hal tersebut tentu tidak akan efektif dan justru kontraproduktif bagi pemasyarakatan nilai-nilai kebangsaan di tanah Papua.
Pemerintah perlu memahami masalah secara keseluruhan melalui proses pembentukan solusi yang melibatkan seluruh elemen masyrakat, pemuka agama dan orang asli Papua. Sehingga harapan dan keinginan murni dari orang asli Papua akan adanya perlindungan hak-hak dan pemberdayan terhadap mereka dapat diakomodasi dengan baik. Di mana tujuan akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan, keadilan dan perdamaian di tanah Papua.
Tentu pertanyaan menariknya adalah mampukah Presiden Joko Widodo memberikan stabilitas di Papua sebagai warisan setelah dua periode kepemimpinannya nanti? Mampukah ia menjadikan Papua benar-benar merdeka dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? (Ogiandhafiz Juanda Advokat, Dosen dan Pengamat Hukum dan Politik Universitas Nasional (UNAS), Direktur Treas Constituendum Institute)