PEMERINTAH berencana mengeluarkan program pensiun tambahan yang bersifat wajib. Program baru itu diatur dalam UU No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), khususnya pada Pasal 189.

Program baru tersebut mendapat penolakan dari beberapa kalangan. Alasan utama penolakan terkait dengan beban yang harus ditanggung pekerja dan perusahaan sebagai pemberi kerja. Iuran program pensiun tambahan wajib itu tentu saja akan menambah potongan gaji bagi pekerja dan beban tambahan bagi perusahaan.

Di samping beban peserta dan perusahaan, munculnya program baru itu berpotensi menimbulkan tumpang tindih program. Tumpang tindih tersebut justru berdampak pada disharmoni dalam penyelenggaraan program.

Tumpang tindih

Tumpang tindih program bisa dilihat dari sisi regulasi dan kelembagaan. Lahirnya program baru itu membuat Indonesia memiliki program pensiun wajib bagi pekerja yang diatur dalam dua UU yang berbeda. UU PPSK mengatur program pensiun tambahan yang bersifat wajib. Sementara itu, UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengatur program jaminan pensiun.

Baca Juga: Pentingnya Penggunaan Bahasa Daerah sebagai Bahasa Pengantar di Sekolah Dasar Sederajat

Kedua UU itu memiliki tujuan yang berbeda. UU PPSK, sesuai namanya, bertujuan mengembangkan dan menguatkan sektor keuangan. Sementara itu, UU SJSN bertujuan memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarga mereka.

Karena itu, kedua UU itu menggunakan terminologi yang tidak sama. UU PPSK menggunakan terminologi program pensiun yang agak berbeda dengan UU SJSN. Perbedaan terminologi seperti itu bisa menimbulkan kebingungan dalam masyarakat.

Batasan program pensiun yang dimaksud dalam UU PPSK ialah mencakup program jaminan hari tua (JHT) dan program jaminan pensiun (JP) yang diatur dalam UU SJSN. JHT dan JP dalam perspektif UU SJSN merupakan dua program dengan ketentuan iuran dan manfaat yang berbeda.

Akibatnya, terdapat kekeliruan pemahaman dalam masyarakat. Program pensiun tambahan bersifat wajib yang diatur dalam UU PPSK cenderung diasosiasikan dengan program JP dalam UU SJSN. Padahal, yang dimaksud bukan hanya JP, melainkan juga JHT. Artinya, program pensiun tambahan wajib mencakup tambahan untuk JHT dan JP.

Kalau dilihat lebih jauh, sebetulnya regulasi program pensiun dalam UU PPSK itu mengganti UU No 11/1992 tentang Dana Pensiun. Pencabutan UU Dana Pensiun itu dinyatakan dalam Pasal 330 UU PPSK. UU 11/1992 sendiri sebetulnya mengatur program pensiun yang diselenggarakan secara komersial dan bersifat sukarela.

Dengan demikian, UU PPSK tampak mencampurkan program pensiun yang bersifat sukarela dan yang bersifat wajib. Juga, ada pencampuran antara program pensiun yang komersial dan nonkomersial yang diselenggarakan dalam rangka jaminan sosial.

Dari sisi kelembagaan, program pensiun tambahan wajib dalam UU PPSK akan diselenggarakan lembaga di luar BPJS Ketenagakerjaan. Jadi, ada dua program yang sama-sama wajib dengan target segmen pekerja, tetapi diselenggarakan oleh lembaga berbeda. Pengelolaan seperti itu akan menimbulkan ketidakefisienan dalam operasional program.

Urgensi

Program baru itu juga perlu dilihat dari sisi urgensinya. Apa urgensinya penyelenggaraan tambahan yang bersifat wajib itu. Untuk melihat urgensinya, kita perlu melihat penyelenggaraan program JHT dan JP yang diselenggarakan secara wajib. Kedua program itu diselenggarakan sejak 2015, kini sudah memasuki tahun ke-10.

Dari sisi kepesertaan, mengacu pada laporan BPJS Ketenagakerjaan pada 2023, jumlah peserta JHT baru mencapai 18.276.138 pekerja. Jumlah itu meningkat sebesar 38,93% dari 2015 dengan jumlah peserta sebanyak 13.154.786 peserta. Sebagian besar pesertanya berasal dari pekerja penerima upah, hanya 3,46% peserta mandiri.

Jumlah peserta JP pada 2015 tercatat sebanyak 6.481.983 peserta dan meningkat menjadi 14.419.675 peserta pada 2023. Dengan demikian, jumlah peserta JP meningkat sebesar 122,46%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan jumlah peserta JHT. Semua peserta JP ialah pekerja penerima upah.

Jumlah peserta JHT mencapai 43,97% dari total peserta BPJS Ketenagakerjaan sebanyak 41.560.938 peserta. Sementara itu, porsi jumlah peserta JP lebih kecil lagi, mencapai 34,70%. Tidak semua peserta BPJS Ketenagakerjaan mengikuti program JHT dan JP.

Realitas kurang menggembirakan kalau kita sandingkan dengan total jumlah pekerja secara nasional. Menurut data BPS per Agustus 2023, jumlah pekerja nasional mencapai 139.852.377 orang dan 57.185.515 orang di antaranya merupakan pekerja formal.

Dengan demikian, jumlah peserta JHT baru mencapai 13,07% dari total pekerja nasional dan 31,96% dari pekerja formal. Sementara itu, peserta program JP baru mencapai 10,31% dari total pekerja dan 25,22% dari pekerja formal.

Data itu menunjukkan cakupan peserta program JHT dan JP saat ini masih relatif rendah. Belum semua pekerja kita menjadi peserta JHT dan JP. Bahkan, untuk segmen pekerja formal saja, cakupan JHT dan JP masih rendah.

Artinya, program yang ada saat ini saja belum optimal. Penambahan program pensiun tambahan wajib belum ada urgensinya. Kalau kita ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat ketika memasuki usia pensiun, pekerjaan rumah yang mendesak saat ini ialah meningkatkan cakupan peserta JHT dan JP.

Presiden sudah mengeluarkan Inpres No 2/2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Diharapkan pelaksanaannya tidak hanya fokus pada program JKK, JKM dan JKP, tetapi juga JHT dan JP.

Dari apa yang disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa program pensiun tambahan wajib menimbulkan tumpang tindih dalam penyelenggaraannya dan belum ada urgensinya. Karena itu, program baru itu sebaiknya tidak perlu dipaksakan untuk diberlakukan secara wajib. Program baru tersebut sebaiknya diberlakukan secara sukarela.

Diakui, perhatian pada peningkatan pendapatan seseorang setelah pensiun merupakan sesuatu yang baik. Namun, menambah program baru sejenis bukanlah jalan terbaik. Jalan yang bisa dilakukan ialah dengan melakukan pengembangan pada program yang sudah ada.

Lebih dari itu, tugas utama negara ialah menjamin semua warganya tetap memenuhi kebutuhan hidup mereka ketika memasuki masa pensiun. Negara tidak boleh hanya memperhatikan masa depan kelompok masyarakat tertentu. Juga, tidaklah elok kalau negara lebih fokus pada kehidupan setelah pensiun, sementara kehidupan saat ini terabaikan. Oleh: Ferdinandus S Nggao Peneliti senior Lembaga Management FEB UI. (*)