SERTIFIKASI halal diharapkan menjadi salah satu program prioritas oleh pemerintahan Kabinet Merah Putih. Hal ini mengingat halal selain memiliki dimensi agama juga memiliki nilai ekonomis.

Dalam konteks agama, sebagai negara dengan penduduk yang mayoritas muslim, sertifikasi produk halal adalah sebuah keniscayaan. Dalam perspektif ekonomi, halal telah menjelma menjadi industri bisnis global yang bernilai ekonomi besar. Indonesia memiliki potensi dan peluang besar jika dikelola dengan baik karena dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam (87,08% atau sekitar 246 juta jiwa), tentu Indonesia memiliki potensi dan berpeluang menjadi pemain utama dalam industri halal global jika digarap dengan serius.

Penyelesaian berbagai persoalan menjadi hal urgen yang harus dilakukan secara terintegrasi, seperti menciptakan ekosistem industri halal khususnya dalam proses sertifikasi halal, meningkatkan kesadaran pengusaha terutama bagi UMKM dan pemenuhan sumber daya yang berkualitas sebagai penunjang utama.

Ajaran melakukan gaya hidup halal dan thayyib memang identik dengan umat muslim karena tertuang jelas dalam syariat. Namun, dewasa ini, kesadaran tersebut juga menjadi atensi bagi umat beragama lainnya.

Baca Juga: Organisasi Masyarakat dan Tuberkulosis

Hal itu menunjukkan bahwa halal dan thayyib memiliki dimensi nilai universal, sehingga sudah sewajarnya bagi pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat khususnya umat muslim terhadap kebutuhan, perlindungan dan kepastian hukum atas konsumsi produk dan barang jasa.

Data dari State of Global Islamic Report (SGIER) menunjukkan, dalam kurun waktu 2023/2024, jumlah konsumsi produk halal dunia mencapai US$2,4 triliun. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan 2022 yang sebesar US$2,29 triliun.

Fakta ini menunjukkan adanya lonjakan permintaan global terhadap produk halal. Peluang ini diperkuat dengan adanya proyeksi dari PEW Research Center yang menyatakan bahwa populasi muslim dunia pada 2030 akan mencapai 2,2 miliar jiwa (26,5% dari total populasi dunia) dengan proyeksi konsumsi produk halal akan mencapai US$4,96 triliun.

Di Indonesia, perkembangan industri halal terus menunjukan tren positif. Berdasarkan Global Islamic Economy Indicator dalam SGIER 2023/2024, Indonesia menempati posisi ketiga lebih unggul dari UEA dan Bahrain.

Pada triwulan I 2024 dua sektor utama industri halal Indonesia yaitu industri makanan dan minuman mengalami kenaikan yang cukup signifikan sebesar 5,87% dan modest fashion sebesar 3,81%.

Selain itu sektor unggulan halal value chain (HVC) juga mengalami perkembangan sebesar 1,94%.

Besarnya potensi ini, diyakini dapat menjadi instrumen pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Berdasarkan Indonesia Halal Market Report 2021/2022 industri halal dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$5,1 miliar (sekitar Rp72,9 triliun) per tahun melalui peluang ekspor dan investasi.

Masih berdasarkan Global Islamic Economy Indicator dalam SGIER 2023/2024, posisi pertama masih dipegang Malaysia disusul Arab Saudi pada peringkat kedua.

Pada 2023, ekspor halal Malaysia mencapai RM5,5 miliar (US$12,5 miliar) dengan menjadikan UEA sebagai tujuan utama di antara negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC).

Beberapa komoditi yang mendongkrak nilai ekspor dipengaruhi tingginya permintaan perhiasan, produk minyak bumi, makanan olahan, serta minyak sawit dan produk pertanian berbasis minyak

Demikian halnya dengan Arab Saudi, keseriusan mereka dalam mengambil peluang bisnis industri halal dilakukan dengan menyusun strategi yang signifikan dalam mengembangkan industri halalnya.

Setidaknya hal ini dapat dilihat dari visinya pada 2030 yang akan menjadikan Arab Saudi sebagai pusat produk halal global dengan mengintegrasikan sektor publik dan swasta dalam.

Pemerintah Arab Saudi juga telah mendukung berbagai inisiatif untuk memperkuat dan melokalisasi industri produk halal secara lokal, serta menyediakan investasi berkualitas.

Penyelenggaraan forum internasional seperti Makkah Halal Forum juga dimaksudkan untuk memperluas jangkauan dan memperkuat hubungan internasional dalam industri halal.

Pada 2025, konsumsi produk halal global diproyeksikan mencapai sebesar US$281,6 miliar. Tingginya peningkatan dan permintaan produk halal global tersebut membuat sejumlah negara yang mayoritas penduduknya non muslim seperti Thailand dan Hongkong muslim juga mulai mengambil peluang bisnis.

Pemerintah Thailand misalnya memberikan dukungan terhadap industri halal dengan mendirikan Central Islamic Council of Thailand (CICOT) dan Halal Science Center Chulalongkorn University.

Di Hong Kong, pemerintahnya membuat satu terobosan dengan menawarkan layanan pariwisata ramah muslim yang sudah dimulai sejak dua tahun dengan memperluas pilihan tempat makan halal dan meningkatkan ketersediaan fasilitas tempat ibadah di seluruh kota.

Tercatat, jumlah restoran bersertifikat halal mengalami kenaikan dari 63 pada 2022 menjadi 142 dan menargetkan menjadi 500 pada akhir 2025.

Sejak Juli 2024, Badan Pariwisata Hong Kong (Hong Kong Tourism Board) telah menjalin kerja sama dengan Board of Trustees dan Crescent Rating untuk mengadopsi seperangkat klasifikasi, standar, dan kriteria penilaian untuk sertifikasi halal yang memenuhi standar internasional sesuai dengan situasi aktual Hong Kong yang mencakup restoran, hotel, atraksi, pusat perbelanjaan, dan MICE Venues.

Fenomena ini menunjukkan adanya pengakuan global terhadap besarnya potensi bisnis industri halal yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran halal global, penting untuk menciptakan ekosistem yang berkelanjutan dengan mengedepankan nilai halal untuk mendukung gaya hidup sehat dan etis yang dihargai oleh semua orang.

Selain itu, kolaborasi antar negara dalam pengembangan industri halal juga membuka pintu bagi pertukaran budaya dan inovasi. Produk halal dari satu negara dapat diterima di pasar internasional, menciptakan peluang ekonomi baru dan meningkatkan pemahaman antarbudaya.

Hal itu berarti bahwa respon positif terhadap kebutuhan industri halal yang melampaui batasan agama dan negara merupakan langkah maju yang signifikan menuju dunia yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Indonesia dapat mengambil peran strategis untuk menunjukan kontribusi nyata dalam mengembangan industri halal secara global.

Keseriusan dan komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan industri halal, ditunjukkan dengan penerbitan UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang bertujuan untuk memberikan jaminan kehalalan bagi produk yang beredar di Indonesia melalui proses sertifikasi yang ketat.

Regulasi ini menjadi penting untuk memberikan perlindungan kepada konsumen muslim dan meningkatkan kesadaran serta pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya konsumsi produk yang halal. Sebagai tindak lanjut dari komitmen tersebut pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Namun demikian, pengembangan industri halal di indonesia masih menyisakan sejumlah persolan dan tantangan yang harus diselesaikan. Diantaranya, masih terfragmentasinya tata kelola industri halal nasional, termasuk aspek kelembagaan dan aspek standardisasi sertifikasi halal yang relatif belum kuat.

Faktor lainnya yaitu adanya keterbatasan kapasitas sumber daya manusia dalam penerapan proses produksi produk halal. Selain itu faktor terbatasnya pembiayaan atau pendanaan produk halal juga masih menjadi kendala dalam mengambangkan ekosistem industri halal nasional.

Menjawab persoalan tersebut, pemerintah melakukan upaya dengan melibatkan kementerian terkait untuk ikut terlibat aktif dalam pengembangan industri halal, utamanya bagaimana implementasi  proses sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman.

Salah satu kementerian yang terlibat aktif adalah Kementerian Perindustrian yang menyusun kebijakan industri halal, penguatan infrastruktur industri halal, penerapan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) dan pemberian insentif fiskal dan non-fiskal bagi industri halal.

Demikian halnya dengan BPJPH melalui program Sertifikasi Halal Gratis (Sehati) yang dimaksudkan untuk membantu pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mendapatkan sertifikat halal tanpa biaya. Strategi ini diperkuat dengan penguatan infrastruktur sertifikasi melalui pengembangan sistem digitalisasi proses pengajuan sertifikasi untuk memudahkan pelaku usaha.

Strategi selanjutnya ialah menjalin kerja sama dengan berbagai pihak seperti LPPOM MUI untuk memastikan produk yang beredar di pasar telah memenuhi standar halal. Terakhir adalah penguatan kerja sama internasional salah satunya dengan penandatangan Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan Lembaga Halal Luar Negeri (LHLN) pada kegiatan H20-Halal World 2023.

Sebagai negara dengan populasi muslim kedua terbesar di dunia, Indonesia memiliki peran yang sangat strategis dalam pengembangan industri halal global. Sebagai produsen dan konsumen utama produk halal, Indonesia dapat menjadi pemimpin dalam menetapkan standar sertifikasi halal yang diakui secara internasional.

Pemerintah Indonesia dapat memperkuat kolaborasi dengan negara-negara lain melalui perjanjian pengakuan bersama sertifikasi halal, memperluas akses pasar produk halal Indonesia ke berbagai belahan dunia.

Pemanfaatan dengan baik di sektor industri halal ini, juga memberikan keuntungan bagi Indonesia di sektor pariwisata melalui penawaran program yang dapat menarik wisatawan mancanegara dari seluruh dunia dengan menawarkan destinasi yang dapat memenuhi kebutuhan dan kenyamanan mereka.

Penguatan dan perluasan pasar modest fashion dan kosmetik halal juga tidak kalah penting karena dapat mencip­takan peluang ekonomi baru dan meningkatkan daya saing global. Dukungan kebijakan yang tepat, pengembangan infrastruktur, dan promosi produk halal Indonesia di pasar internasional akan menguatkan posisi Indonesia sebagai pemain kunci dan dapat meningkatkan daya saing di kancah internasional untuk menjadi pusat industri halal dunia. (*) oleh: Dewi Novita Sari, (Manajer Keuangan Kantor Pusat MES)