Meninggikan Perguruan Tinggi
NAMANYA juga perguruan tinggi, normalnya berada pada posisi tinggi. Jika perguruan tinggi tidak (diposisikan) tinggi, berarti ada yang tidak normal. Bukan dalam perspektif eselonisasi atau birokrasi. Apalagi soal remunerasi. Bukan. Hanya semata-mata untuk mengoptimalisasi peran dan fungsi. Agar misi suci lekas dicapai dan kehadiran PT sarat arti. Perguruan tinggi mampu berkinerja tinggi dan berkontribusi signifikan bagi negeri.
Untuk itu, menurut Kaplan dan Norton, pada perspektif learning and growth BSC-nya, diperlukan climate for action: suasana, lingkungan, dan iklim yang sehat dan kondusif untuk beraksi.
Di Indonesia, sudah sejak dahulu kala perguruan tinggi mengemban tidak hanya satu misi suci. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Misi (tujuan) suci tersebut ialah (1) membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila, (2) menyiapkan tenaga yang cakap untuk memangku jabatan yang memerlukan pendidikan tinggi dan yang cakap berdiri sendiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan, dan (3) melakukan penelitian dan usaha kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kehidupan kemasyarakatan.
Misi (dharma) tersebut, dipertegas dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 yang mewajibkan perguruan tinggi menyelenggarakan tridharma, yakni pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Dengan demikian, hanya perguruan tinggi yang melaksanakan ketiga dharma tersebut secara murni dan konsisten, yang disebut sebagai perguruan tinggi yang sesungguhnya, the truly university.
Dalam perkembangannya, seiring dengan perkembangan zaman, salah satunya bergesernya perekonomian dari natural-based economy menjadi knowledge (innovation) based economy dan perubahan iklim, peran perguruan tinggi perlu diperluas. Perguruan tinggi dipandang menjadi faktor kunci dan penentu perkembangan peradaban, pertumbuhan ekonomi, serta daya saing bangsa di kancah global.
Baca Juga: Migrasi dan Eksistensi Bahasa TeonKarena itu, muncul the third mission atau misi ketiga perguruan tinggi. Disebut misi ketiga karena, sampai dengan akhir abad ke-20, perguruan tinggi hanya mempunyai dua misi tradisional mereka, yakni pengajaran (teaching) dan penelitian (reseach).
Pada zaman Aristoteles, ratusan tahun SM, perguruan tinggi (Lyceum) hanya berfokus pada pengajaran dengan memberikan pelatihan pada kelompok elite yang ada saat itu. Bahkan, hingga abad pertengahan, perguruan tinggi hanya mempunyai misi utama untuk mentransfer ilmu pengetahuan melalui pengajaran. Sebagaimana dilakukan di Bologna, 1088, dengan pengajaran Liberal Art-nya. Misi kedua, riset, perguruan tinggi baru muncul pada awal abad ke-19. University of Berlin menginisiasi dengan mengintegrasikan pengajaran dengan riset ilmiah yang secara gradual diikuti hampir semua universitas.
Di Indonesia, sesuai dengan kebutuhan saat itu, dua misi tersebut dilengkapi sehingga menjadi tridharma dengan dharma ketiga, pengabdian pada masyarakat, berbeda dengan misi ketiga di Barat atau third mission.
Readings (1996) mengungkapkan university encompasses a ‘third-mission’ of economic development in addition to research and teaching. Misi perguruan tinggi tidak hanya pengajaran dan penelitian, tetapi juga pengembangan (kehidupan) sosial dan pembangunan ekonomi. Perguruan tinggi, di samping sebagai agent of education dan agent of research, sebagai agent of culture, knowledge, technology transfer; serta agent of economic development. Singkat kata, perguruan tinggi juga mempunyai tanggung jawab untuk berkontribusi signifikan baik pada level lokal, regional, nasional, maupun global.
Dengan peran dan misi yang begitu strategis, perguruan tinggi merupakan faktor kunci kemajuan suatu bangsa. Demikian juga kemajuan suatu wilayah dan kota. Perguruan tinggi merupakan markas para ilmuwan terkemuka melakukan riset dan pengembangan (R&D) serta invensi dan inovasi di samping mendidik calon-calon ilmuwan, periset, inventor, dan inovator serta profesional.
Riset (dan pengembangan) ialah jantung dan sekaligus energi yang berdampak positif serta, paling tidak mengalir dan bermuara ke tiga arah. Pertama, riset berdampak ke pembelajaran. Riset menghasilkan teori (ilmu pengetahuan), konsep, dan sistem yang mempunyai kandungan kebaruan (novelty) tinggi. Jika hasil riset digunakan, sebagai bahan pembelajaran, dapat dipastikan akan meningkatkan relevansi. Pembelajaran akan berlangsung sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan.
Kedua, hasil riset yang didiseminasi (dipublikasikan) secara luas akan menambah khazanah ilmu pengetahuan dan sekaligus pilihan solusi bagi setiap persoalan. Dengan demikian, riset juga berkontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan cukup banyak alternatif solusi atas berbagai persoalan yang terjadi, baik saat ini maupun yang akan datang. Tentu ada syaratnya: masyarakat harus ditingkatkan hobi membacanya.
Ketiga, riset yang ada ialah referensi dan bahan yang sangat penting untuk penelitian lanjutan hingga ke TRL 9. Industrialisasi tidak mungkin terjadi tanpa riset berkelanjutan. Tidak mungkin ada produk yang siap masuk dan bersaing di pasar tanpa ada prototipenya (TRL 7-8) terlebih dahulu.
Demikian juga, tidak mungkin ada prototipe tanpa ada riset-riset terdahulu di level lebih rendah. Jadi, riset-riset ‘murni’ dan aplikasi di perguruan tinggi merupakan sumber dan sekaligus penentu serta dapat dilanjutkan menuju hilir atau pasar. Istilahnya: hilirisasi atau industrialisasi. Demikian juga dengan entrepreneurship. Apalagi knowledge-based entrepreneurship.
Agar perguruan tinggi dapat menjalankan tiga misi mereka secara murni dan konsekuen serta berperan dan berkontribusi optimal, diperlukan beberapa prasyarat atau pemungkin. Di antaranya ialah iklim yang kondusif untuk beraksi serta kecukupan sumber daya. Berkaitan dengan iklim yang kondusif untuk beraksi dan berkontribusi, paling tidak diperlukan dua hal. Pertama, sesuai dengan namanya, universitas ialah kumpulan dari faculty, schoolar atau ilmuwan. Para ilmuwan umumnya ialah orang-orang yang independen sekaligus petualang, khususnya dalam pengembangan iptek. Mereka tidak mau diikat dan diatur. Bahkan hanya sekadar mengisi borang administrasi. Mereka perlu otonomi dan kebebasan akademik.
Kedua, reorganisasi tampaknya menjadi keniscayaan. Belajar dari lima tahun terakhir, penggabungan manajemen (kementerian) perguruan tinggi dengan sekolah menengah dan SD tampaknya tidak cukup efektif. Terlalu besar ukuran dan terlalu banyak urusan sehingga perguruan tinggi agak terlupakan dan kurang perhatian. Bahkan, dalam beberapa kasus, perguruan tinggi harus ‘mengikuti’ sekolah di bawah mereka. Paling tidak pada saat seleksi mahasiswa baru. Penggabungan perguruan tinggi dengan riset dipandang lebih efektif karena dunia dan misi mereka kurang lebih sama. Ingat, riset ialah jantung perguruan tinggi. Hanya dengan risetnya. Bukan dengan bisnisnya.
Prasyarat kedua ialah kecukupan sumber daya. Periset umumnya mempunyai pendidikan tinggi. Paling tidak S-2 meskipun tidak semua S-2 ialah periset dan/atau ilmuwan. Pada 2022, jumlah lulusan S-2 dan S-3 sebanyak 122.799 orang atau hanya 0,04% dengan pertumbuhan 2,6% per tahun, sangat jauh dari Vietnam (0,12%) serta Malaysia (0,08%).
Jika pertumbuhan reguler tersebut dipertahankan, diperkirakan lulusan S-2 dan S-3 hanya 0,05%. Sangat jauh dari harapan.
Jumlah dosen juga demikian. Rasio dosen mahasiswa mengalami penurunan pada 10 tahun terakhir dan menjadi 1:27. Dalam situasi seperti itu, tentu dosen hanya sibuk dengan mengajar dan urusan administratif kepegawaian. Idealnya, rasio dosen mahasiswa ialah 1:15. Jumlah peneliti murni juga setali tiga uang alias sami mawon alis jauh dari harapan.
Kondisi tersebut masih diperparah lagi dengan minimnya dana riset yang baru mencapai 0,28% dari PDB. Idealnya, belanja R&D mencapai 2,4% PDB. Dalam kondisi serbaterbatas, tentu tidak mudah bagi perguruan tinggi untuk berperan dan berkontribusi signifikan. Diperlukan pemuliaan atau meninggikan perguruan tinggi.
Salah satunya, dengan mendorong dan mendukung sepenuh jiwa, spiritual, dan finansial agar semua perguruan tinggi menjadi center of excellence serta menjadi research (intensive) university. Riset ialah jantung-hati perguruan tinggi yang menjadi penentu kualitas dan relevansi pembelajaran, peran serta bagi pemuliaan kehidupan, dan kontribusi dalam pembangunan ekonomi. Khususnya, dalam industrialisasi dan transformasi struktur ekonomi dari primer menjadi sekunder, dan selanjutnya tersier.
Jangan menuntut dan berharap terlalu tinggi pada perguruan tinggi kalau posisi dan status mereka direduksi. Allahu a’lam. Oleh: Mohammad Nasih Rektor Universitas Airlangga dan Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia. (*)
Tinggalkan Balasan