Terbukanya perbedaan pendapat di kalangan warga jam’iyah terhadap masalah kepemimpinan di lingkungan NU Besar memang tidak dapat dihindari akibat berbagai ragam informasi yang masuk dan diserap oleh warga organisasi ini

Nahdlatul Ulama (NU) pada lima tahun mendatang akan genap memasuki satu abad. Dalam pada itu, berbagai perubahan akan dihadapi Nahdlatul Ulama. Semestinya, kata perubahan bukanlah sesuatu yang asing bagi NU karena sesuai dengan namanya, Nahdlatul Ulama yaitu kebangkitan ulama, maka komunitas NU adalah kelompok organisasi keagamaan yang memiliki tradisi berpikir dinamis, kreatif dan inovatif.

Lajnah Bahtsul Masail adalah lembaga pembahasan sebagai tempat berkembangnya dinamika pemikiran keagamaan. Pada sisi lain, NU juga menyatakan dirinya sebagai lembaga yang menghidupkan warisan ulama salaf (ihya atsar al salaf).

Dalam posisi itulah NU melakukan pekerjaan besar yaitu mengayuh bahtera organisasi keagamaan melewati dua gugusan batu karang yaitu memelihara kesinambungan serta mengawal perubahan. Semboyan ini menjadi pedoman warga NU memelihara tradisi lama yang baik dan menggali pemikiran baru yang lebih baik (al muhafazat ‘ala al qadim al shalih wa al akhdz bi al jadid al ashlah).

Keragaman Dalam NU

Baca Juga: Yang Muda Yang Korupsi

Dari laporan media massa, persoalan paling menonjol menjelang pelaksanaan Muktamar di Lampung dua bulan ke depan adalah berkenaan dengan proses peralihan kepemimpinan NU yang akan menjadi pengendali NU di masa depan. NU memiliki keunikan tersendiri dibanding organisasi-organisasi lainnya.

Secara kultural, NU memiliki dua wajah yaitu NU Besar yang berhimpun dalam lembaga Pengurus Besar dan secara struktural berjenjang ke bawah mulai dari unsur utama yang terdiri dari Pengurus Besar juga Badan Otonom dan Lembaga.

Sebagai struktur kepengurusan yang menjalankan roda keorganisasian mereka dibebani tanggung jawab untuk menjalankan organisasi sesuai visi dan misi NU. Selanjutnya, selain NU besar yaitu NU secara keorganisasian, pada masing-masing daerah berdiri ribuan pondok pesantren yang tersebar di seantero nusantara dan pada umumnya dominan di Jawa, Kalimantan, Sumatera dan Nusa Tenggara Barat.

Dan dalam sejarah organisasi, keberadaan pondok pesantren jauh lebih dahulu ada sebelum NU Besar karena pesantren adalah cikal bakal terbentuknya NU Besar. Komunitas pesantren secara organisasi tidak memiliki hubungan struktural dengan NU tetapi, pesantren merupakan akar keagamaan, kepemimpinan dan kebudayaan dari NU.

Karena itu, komunitas pesantren adalah merupakan miniatur dari NU pada level massa sehingga pesantren dapat disebut sebagai NU Kecil. Namun dalam perjalanan organisasi, yang lebih menonjol adalah NU Besar sementara NU Kecil sering tertinggal di belakang.

Bahkan tidak jarang, bisa terjadi kerenggangan hubungan antara NU Besar dengan NU Kecil. Pondok pesantren sebagai ibarat kerajaan-kerajaan kecil, mereka memiliki otonomi sendiri dalam membangun opini terhadap berbagai persoalan yang berkembang di masyarakat.

Idealnya, tetap terbina jalinan hubungan antara NU Besar dengan NU Kecil agar tidak terganggu keutuhan NU yang dibangun dengan susah payah secara formal oleh para masyayikh NU yang menurut kalender masehi jatuh pada tanggal 31 Januari 1926.

Terbukanya perbedaan pendapat di kalangan warga jam’iyah terhadap masalah kepemimpinan di lingkungan NU Besar memang tidak dapat dihindari akibat berbagai ragam informasi yang masuk dan diserap oleh warga organisasi ini.

Selayaknya, para pemuka NU dapat menghindari terjadinya perbedaan pendapat yang dapat mengarah terjadinya konflik yang berlangsung secara terbuka. Sebagai organisasi keulamaan, adanya riak-riak perbedaan di media massa telah mulai muncul berkenaan dengan tampilnya nama-nama beberapa tokoh yang diunggulkan.

Dalam komunitas NU selayaknya kurang etis telah muncul dari jauh hari nama-nama tokoh yang diunggulkan sebagai calon pemimpin karena akan dapat memancing respon baik yang setuju maupun tidak setuju terhadap ketokohan seorang calon.

Berbagai kompromi hendaknya dapat dibangun para pe­mangku organisasi besar ini. Dan untuk menuju terwujudnya kompromi di kalangan kelompok-kelompok khususnya antara NU Besar dan NU Kecil, maka cara yang perlu dikembangkan adalah semangat musyawarah melalui sikap lemah lembut dan saling menjaga muruah warga jam’iyah.

Para perancang muktamar hendaknya lebih menguta­makan pengkajian secara mendalam berbagai tantangan yang akan dihadapi organisasi ini pada masa yang akan datang.

Sehingga akan memberikan ruang gerak bagi para calon untuk mengukur potensi pribadinya yang akan tampil sebagai calon pemimpin sehingga secara jernih mengambil kesim­pulan terhadap potensi dirinya menjadi calon pemimpin organisasi NU.

Karena lebih terhormat setiap orang untuk menilai dirinya sendiri daripada orang lain memberikan penilaian. Tradisi dalam NU adalah hampir setiap ulama menolak dirinya didorong untuk menjadi imam dalam memimpin solat dan sebaliknya, saling berlomba mencalonkan orang lain.

Tantangan Terhadap Pemikiran Keagamaan

Tantangan yang dihadapi NU pada masa depan pada intinya adalah menjaga relevansi pemikiran ke-NU-an, memperkuat keberadaan umat Islam baik pada tingkat nasional maupun global, memperkuat potensi Indonesia sebagai corong menyuarakan kepentingan Islam pada tingkat dunia serta menjawab tantangan kema­nusiaan secara global seperti menghadapi pandemi dan perubahan iklim.

Melalui pembahasan yang mendalam terhadap berbagai persoalan di atas akan membantu diperolehnya model kepemimpinan NU dalam menghadapi masa depan.

Dengan demikian, para calon peserta sebagai muk­tamirin secara dini telah dapat memasang radar untuk menjajaki pribadi yang memiliki potensi kemampuan memikul tanggung jawab untuk memajukan NU.

Tokoh itu hendaknya memiliki berbagai perangkat kepemimpinan diantaranya memiliki sosok sebagai ulama yang dapat menjadi rujukan bagi jamaah baik dari segi pemikiran, otonomi kepribadian, kemampuan loby bagi ke­pentingan umat dan bangsa, juru bicara secara internasional yang melambangkan citra keislaman yang dinamis, kreatif dan inovatif. Selanjutnya, para personal yang berminat untuk tampil menjadi pemimpin hendaknya dapat menakar potensi dirinya tampil menjadi juru bicara NU pada level nasional maupun internasional.

Seorang pemimpin NU hendaknya mampu menjadi perekat dari segala corak pemikiran umat Islam di Indonesia baik yang tradisi maupun modern. Mampu menempatkan tradisi pemikiran di kalangan NU sebagai titik temu yang merajut keragaman pemikiran keagamaan.

Sehingga, kepemimpinan NU diharapkan dapat tampil sebagai representasi pemikiran keislaman serta kebangsaan yang menjadikan kehadirannya sebagai titik tumpuan bagi seluruh bangsa Indonesia.

Adapun tantangan yang dihadapi umat Islam khususnya warga NU adalah penguatan di bidang pendidikan yang berciri keulamaan ahli sunnah waljamaah yang berupaya menghi­langkan dikhotomi keilmuan antara Islam dan modernitas.

Adanya dikhotomi antara Islam dengan ilmu pengetahuan akan semakin membuat keterlambatan pemikiran Islam terhadap pembangunan menuju bangsa yang religius dan modern.

Karena itu, diperlukan revitalisasi pondok pesantren serta lembaga-lembaga pendidikan tinggi NU untuk menuju penguatan citra keulamaan di masa depan.

Kemudian warga NU umumnya adalah masyarakat yang berada pada kehidupan level agraris-tradisional. Karena itu, diperlukan program revitalisasi pembangunan pertanian umat Islam untuk beradaptasi terhadap tuntutan modernisasi di bidang pertanian yang mencakup diversifikasi seperti perkebunan, perikanan dan lain sebagainya.

Dengan demikianlah kehidupan warga jam’iyah akan tertolong. Program di bidang kesehatan adalah peningkatan kualitas kesehatan masyarakat terlebih lagi dengan gejolak pandemi yang belum berakhir.

Terakhir, perubahan iklim yang akan mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Selain solusi yang bersifat teknis-saintifik maka diperlukan keterkaitan nilai-nilai moralitas keagamaan untuk menuntun kehidupan umat manusia dalam menghadapi ancaman perubahan iklim. Karena perkembangan modernitas yang tidak terarah akan meruntuhkan akhlak umat manusia. Oleh M Ridwan Lubis. Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (*)