Kepulauan Tanimbar secara administratif termasuk dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku. Pusat pemerintahannya terletak di Saumlaki sebagai ibu kota kabupaten. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar Nomor 2 Tahun 2019 tentang Lambang Daerah bahwa kata tanimbar dalam bahasa Yamdena disebut tanempar dan dalam bahasa Fordata disebut tnebar yang berarti ‘terdampar’. Menurut informan penduduk asli Kepulauan Tanimbar, alasan disebut tnebar karena menceritakan asal-usul masyarakat Tanimbar yang berlayar ke wilayah lain untuk mencari wilayah baru, tetapi di tengah perjalanan mereka terdampar di Kepulauan Tanimbar. Selain itu, kata tanimbar juga digunakan sebagai sebutan untuk menyatakan orang, suku, atau komunitas masyarakat yang berdiam di wilayah Kepulauan Tanimbar. Ciri khas masyarakat Tanimbar ditinjau dari aspek sejarah dan budaya ialah mereka sangat memegang teguh hukum adat duan lolat yang merupakan sistem hukum adat tertinggi yang mengatur hubungan kekeluargaan dalam kesatuan masyarakat hukum adat Tanimbar. Ini juga yang membuat Kepulauan Tanimbar sering disebut dengan bumi duan lolat. Kepulauan Tanimbar sama halnya dengan daerah-daerah lain di Indonesia yang kaya dengan budaya. Salah satu kekayaan budaya tersebut adalah bahasa.

Kepulauan Tanimbar memiliki lima bahasa daerah yang didapatkan melalui kajian pemetaan bahasa. Pemetaan bahasa merupakan kajian ilmiah yang dilakukan untuk menentukan apakah sebuah isolek merupakan satu bahasa atau bukan. Dalam Pedoman Penelitian Pemetaan Bahasa yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun 2018, dijelaskan bahwa isolek merupakan istilah yang digunakan sebagai alat komunikasi dalam suatu kelompok masyarakat yang merujuk pada bahasa, dialek adalah variasi bahasa di wilayah geografis tertentu, subdialek  adalah variasi bahasa yang lebih halus dalam wilayah yang lebih kecil, dan wicara adalah variasi bunyi bahasa dalam bentuk pengucapan dan intonasi. Analisis data sebuah isolek dapat dilakukan melalui metode dialektometri. Metode dialektometri merupakan metode yang menekankan ukuran statistik yang digunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persamaan sebuah isolek jika dibandingkan dengan bahasa yang ada di sekitarnya.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam melakukan kajian pemetaan bahasa menggunakan teori dialektometri Guiter. Guiter dalam buku yang ditulis Mahsun dengan judul Metode Penelitian Bahasa (2005) menjelaskan bahwa ketika sebuah isolek atau calon bahasa diperbandingkan dengan bahasa lain yang ada di sekitarnya dan memiliki perbedaan lebih dari 80% dianggap mempunyai perbedaan bahasa, 51—80% dianggap mempunyai perbedaan dialek, 31—50% dianggap mempunyai perbedaan subdialek, 21—30% dianggap mempunyai perbedaan wicara, sedangkan perbedaan yang kurang dari 20% dianggap masih sama.

Pengambilan data dalam kajian pemetaan bahasa dilakukan melalui wawancara langsung terhadap informan dengan menggunakan instrumen yang sudah baku, yaitu kuesioner berisi 200 kosakata dasar Swadesh, 52 kosakata dasar bagian tubuh, 25 kosakata dasar sistem kekerabatan, 98 kosakata dasar gerak dan kerja, 25 kosakata dasar kata tugas, dan 822 kosakata dasar budaya. Berdasarkan data dari kegiatan pemetaan bahasa daerah yang telah dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui UPT Kantor Bahasa Provinsi Maluku, sampai tahun 2021 ada lima bahasa daerah yang telah teridentifikasi di Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Kelima bahasa daerah yang dimaksud sesuai Peta Bahasa Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tautan https://petabahasa.kemdikbud.go.id yang diakses pada tanggal 29 Mei 2024 sebagai berikut.

Pertama, bahasa Yamdena. Bahasa Yamdena dituturkan oleh masyarakat di Desa Olilit Raya (Olilit Lama), Desa Sifnana, dan sebagian Desa Latdalam, Kecamatan Tanimbar Selatan. Selain itu, bahasa Yamdena juga dituturkan di Desa Adaut, Kecamatan Selaru. Persentase perbedaan isolek Yamdena jika dibandingkan dengan bahasa lainnya, seperti bahasa Seluwarsa, bahasa Selaru, dan bahasa Makatian, adalah sekitar 83—95%.

Kedua, bahasa Makatian. Bahasa Makatian dituturkan di Desa Makatian, Kecamatan Wermaktian. Selain itu, beberapa komunitas yang berasal dari Desa Otemer juga bisa menggunakan bahasa Makatian. Semua generasi mulai dari anak-anak hingga orang tua di Desa Makatian masih menguasai bahasa tersebut. Walaupun demikian, penutur bahasa ini juga terbatas karena jumlah penduduknya yang relatif sedikit. Isolek Makatian jika dibandingkan dengan bahasa lainnya, seperti bahasa Seluwarsa dan Yamdena melalui perhitungan dialektometri, persentase perbedaannya adalah 95%.

Ketiga, bahasa Fordata. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari salah satu staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Tanimbar sekaligus penutur aktif tiga bahasa daerah di Kepulauan Tanimbar, Bapak Misael Lamek Fabeat, dijelaskan bahwa bahasa Fordata dituturkan di Kecamatan Tanimbar Utara, Kecamatan Yaru, Kecamatan Molu Maru, Kecamatan Wuar Labobar, dan lima desa di Kecamatan Wermaktian yang disebut dengan lima satu seira artinya ‘lima desa menjadi satu pulau’, yaitu Seira Blawat. Desa-desa tersebut adalah Desa Weratan, Desa Themin, Desa Welutu, Desa Rumah Salut, dan Desa Kamatubun. Persentase perbedaan isolek Fordata jika dibandingkan dengan bahasa daerah di sekitarnya, seperti bahasa Yamdena dan bahasa Selaru, adalah sekitar 81—100%.

Keempat, bahasa Selaru. Bahasa Selaru dituturkan di enam desa, yakni Desa Werain, Desa Fursui, Desa Lingat, Desa Kandar, Desa Namtabung, dan Desa Eliasa, Kecamatan Selaru. Sementara itu, satu desa lainnya, yaitu Desa Adaut yang merupakan pusat ibu kota Kecamatan Selaru bukan penutur bahasa Selaru. Masyarakat Adaut adalah penutur bahasa Yamdena. Menurut informasi dari masyarakat, hal ini disebabkan oleh adanya migrasi masyarakat Desa Lauran, Kecamatan Tanimbar Selatan yang mayoritas penutur bahasa Yamdena ke Desa Adaut, Kecamatan Selaru. Persentase perbedaan isolek Selaru jika dibandingkan dengan bahasa lainnya seperti bahasa Seluwarsa, adalah sekitar 81—100%.

Kelima, bahasa Seluwarsa. Bahasa Seluwarsa dituturkan oleh masyarakat di pesisir barat Pulau Yamdena Barat, tepatnya Desa Marantutul, Desa Batu Putih (Otemer), dan Desa Wermatang, Kecamatan Wermaktian. Berdasarkan pengakuan penduduk, bahasa Seluwarsa masih aktif digunakan oleh generasi muda sampai generasi tua. Persentase perbedaan isolek Seluwarsa jika dibandingkan dengan bahasa lainnya seperti bahasa Selaru dan Yamdena adalah sekitar 81—100%. Penggunaan bahasa Seluwarsa, baik di ranah adat maupun keluarga masih cukup bertahan. Pelaku adat diwajibkan menggunakan bahasa Seluwarsa saat berkomunikasi dalam kegiatan adat, seperti penyambutan tamu penting dan upacara perkawinan.

Kelima bahasa daerah di Kepulauan Tanimbar tersebut merupakan kekayaan dan identitas masyarakat Maluku, khususnya masyarakat Kepulauan Tanimbar sebagai pemilik bahasa. Oleh karena itu, bahasa tersebut perlu untuk kita rawat dan lestarikan agar terhindar dari kepunahan. Secara umum bahasa daerah di Kepulauan Tanimbar masih digunakan dalam konteks budaya, seperti acara-acara adat. Namun, dalam komunikasi sehari-hari sudah mulai ditinggalkan, khususnya di kalangan generasi muda. Generasi muda lebih fasih menggunakan bahasa Melayu Ambon. Kondisi ini tentu saja membutuhkan perhatian serius bukan hanya dari masyarakat melainkan juga pemerintah daerah. Pelestarian bahasa daerah dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan berbahasa daerah, seperti festival atau pertunjukan budaya yang melibatkan generasi muda, pembelajaran bahasa daerah di sekolah melalui kurikulum muatan lokal, dan pembiasaan komunikasi menggunakan bahasa daerah di lingkungan keluarga.

Mengenal bahasa daerah dapat menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran bahwa betapa kayanya kita akan keberagaman bahasa. Mau mengenal dan mempelajari bahasa daerah memungkinkan seseorang dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan lebih mudah dalam kegiatan sosial budaya. Bahasa daerah sebagai aset budaya lokal dapat membantu mempererat persaudaraan dengan orang lokal.  Manfaat mengenal bahasa daerah di Kepulauan Tanimbar bagi masyarakat Maluku secara umum adalah masyarakat dapat lebih memahami dan menghargai perbedaan antarkelompok dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya keberagaman bahasa. Secara khusus, masyarakat Tanimbar dapat memiliki rasa bangga terhadap budaya mereka. Oleh: Herni Paembonan. Widyabasa Kantor Bahasa Provinsi Maluku.(*)