Buku adalah jendela dunia. Buku dipercaya sebagai sumber informasi yang dapat membuka wawasan. Dari isinya, buku digolongkan menjadi dua jenis, yaitu buku fiksi dan nonfiksi. Menurut Nurgiyanto (2005) dalam buku berjudul Teori Pengkajian Fiksi, buku fiksi merupakan buku yang bersifat rekaan atau cerita khayalan. Tokoh, peristiwa, dan tempat dalam buku fiksi bersifat imajinatif. Pengarang memiliki kebebasan untuk berkreasi menuliskan isi buku sesuai dengan yang diimajinasikan, berbeda dengan buku nonfiksi yang bersifat faktual. Henry Guntur Tarigan (2015) dalam bukunya Prinsip-Prinsip Sastra menjelaskan bahwa teks nonfiksi tidak hanya bersifat realitas, tetapi juga berisi aktualitas sehingga buku nonfiksi informatif ialah buku yang memberi informasi faktual yang berisi kebenaran dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam jurnal berjudul Keefektifan dan Minat Baca Siswa pada Penggunaan Buku Pengayaan Nonfiksi di SD (2019) dijelaskan bahwa buku nonfiksi informatif dalam proses pembelajaran bisa dikatakan sebagai buku pengayaan atau buku nonteks. Dalam Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016, buku pengayaan atau buku nonteks ialah buku yang dapat digunakan sebagai pendukung buku teks dalam mengembangkan pembelajaran. Buku nonteks juga diharapkan sebagai sarana meningkatkan minat baca anak. Sesuai dengan arahan dari Pusat Kurikulum Perbukuan, Badan Standar Kurikulum untuk jenjang awal, buku nonfiksi informatif disajikan dalam bentuk cerita yang ramah cerna dan ramah anak. Buku yang ramah cerna dan ramah anak disebut sebagai buku bermutu. Buku dapat dikatakan bermutu apabila memiliki tiga daya, yaitu daya gugah, daya ubah, dan daya indah. Daya gugah mengarah pada isi buku yang mampu menggugah pembaca dan menuntaskan bacaan. Daya ubah artinya buku yang memiliki kemampuan untuk mengubah pembacanya dari tidak tahu menjadi tahu. Daya indah maksudnya penyajian dan penampilan buku yang estetis serta mengikuti perkembangan desain buku. Buku yang memiliki desain visual yang indah mampu memikat pembacanya. Selain itu, buku bermutu juga disajikan sesuai dengan menyesuaikan kemampuan pembaca. Buku ramah cerna dan ramah anak menitikberatkan pada isi buku yang mudah dicerna oleh pembaca dini dan awal.

Saat ini buku nonfiksi informatif yang ramah anak dan ramah cerna jumlahnya masih terbatas. Berdasarkan analisis kebutuhan yang dilakukan oleh Kemendikbudristek pada tahun 2021, idealnya setiap anak memiliki lima buku nonteks. Namun, pada satuan pendidikan masih banyak sekolah yang belum memiliki buku nonteks. Oleh sebab itu, melalui program Gerakan Literasi Nasional (GLN), Kemendikbudristek terus berupaya untuk memenuhi ketersediaannya.

Dalam Lokakarya Penulisan Buku Nonfiksi Informatif, pakar penulis buku anak, Benny Ramdani menyampaikan beberapa langkah yang harus diperhatikan saat menyusun buku nonfiksi informatif ramah cerna dan ramah anak, seperti pertama, penentuan ide atau topik yang ditulis;  kedua, pengumpulan data terkait ide atau topik yang relevan; ketiga, penyusunan naskah dalam tabel cerita atau storyboard; dan keempat, penyuntingan naskah akhir. Beberapa contoh buku nonfiksi ramah anak dan ramah cerna yang dapat dijadikan referensi menulis, seperti Mengapa Lebah Berdengung? karya Nabanita Deskmukh, Serunya Angka Fibonacci karya Dr. Shonali Chinniah, dan Mengapa Kita Tidak Bisa Bersinar Seperti Kunang-Kunang? karya Nabanita Deskmukh. Buku-buku ini berisi data-data ilmiah, tetapi cara penge­masannya secara naratif menggunakan bahasa sederhana  yang mudah dipahami oleh anak-anak.

Seperti halnya penulisan buku lainnya, langkah pertama dalam menulis buku nonfiksi adalah penentuan topik. Topik ini akan menjadi masalah utama yang akan dibicarakan dalam tulisan. Dalam pemilihan topik, penulis hendaknya memperhatikan masalah-masalah yang faktual dan memberikan dampak pada kehidupan masyarakat secara umum. Meskipun buku cerita anak ini memiliki sasaran pembaca usia dini, topik yang berat dan luas pun masih dapat diberikan sebagai sebuah pengenalan. Misalnya, saat ini sedang hangat dibahas hal-hal berkaitan dengan perubahan iklim. Topik ini juga dapat dipilih untuk diberikan kepada anak-anak sebagai pembelajaran awal terkait alam semesta dan ancamannya.

Baca Juga: Oleh-oleh Lintas Empat Benua: Investasi Triliunan dan Optimisme Pertanian Modern

Setelah topik ditentukan, langkah kedua adalah menyusun bahan dan materi yang relevan. Bahan dan materi ini berupa data terkait topik yang akan disampaikan. Dalam penulisan buku nonfiksi, data yang akurat adalah hal yang mutlak. Kebenaran dan keakuratan data adalah inti dari buku nonfiksi. Oleh karena itu, penulis hendaknya melakukan riset yang komprehensif terkait pemenuhan data. Data yang tidak diyakini kebenarannya atau masih dalam tahap pembuktian tidak dapat dimasukkan ke dalam buku. Hal ini agar tidak memberikan kesalahpahaman bagi pembacanya. Data yang baik dapat diperoleh melalui buku dan jurnal-jurnal penelitian ilmiah.

Setelah terkumpul, data tersebut diuraikan ke dalam kerangka tulisan. Biasanya penulis cerita anak, baik fiksi maupun nonfiksi akan menyusunnya ke dalam bentuk tabel cerita (storyboard). Tabel cerita terdiri atas tiga kolom dan jumlah halaman sesuai dengan jenjang yang dipilih. Pembagian kolom ialah nomor halaman, teks/naskah, dan saran ilustrasi. Tabel cerita ini penting karena dapat memberikan gambaran dalam susunan dan sistematika tulisan yang akan dibuat. Penentuan halaman, alur tulisan, dan pembagian poin-poin inti tulisan dapat dilakukan dengan baik melalui tabel cerita. Selain itu, penuangan ide/gagasan melalui tabel cerita dapat meminimalkan pengulangan dan tumpang-tindihnya informasi.

Dalam tabel cerita nonfiksi informatif terdapat kolom saran ilustrasi. Selain teks deskripsi gambar, saran ilustrasi dapat ditambahkan dengan gambar dan foto untuk memudahkan ilustrator. Ilustrasi harus sesuai dengan usia sasaran pembaca dan tidak boleh mempertentangkan unsur SARA. Artinya, gambar yang berisi data grafik atau angka harus disesuaikan dengan tingkat pemahaman anak. Matriks perjenjangan yang digunakan saat ini mengacu pada Peraturan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Nomor 30 Tahun 2022. Perjenjangan buku memudahkan penulis dalam menyusun buku nonfiksi informatif yang ramah cerna dan ramah anak. Jumlah kata, kalimat, dan paragraf dalam setiap halaman sudah diatur dalam perjenjangan buku. Dalam penyusunan naskah, penulis memparafrasakan data menjadi cerita narasi dengan memperhatikan ketentuan pada aturan perjenjangan buku. Diksi yang sesuai dengan tingkat pembaca akan memudahkan pemahaman sekaligus mengurangi potensi kebosanan. Oleh karena itu, apa pun topik yang diangkat dengan memperhatikan kaidah perjenjangan ini, materi dapat dipahami oleh pembaca.

Pembagian dan pemberian judul cerita dan judul bab dalam penyusunan buku nonfiksi juga perlu diperhatikan. Pemilihan judul naskah dan judul bab yang menarik mampu meningkatkan rasa ingin tahu anak-anak. Pemberian judul dapat menggunakan elemen visual agar lebih menarik, misalnya Hilangnya Rumah Es Beruang Kutub. Tidak hanya itu, penulis juga bisa menggunakan imajinasi dengan majas metafora, misalnya Bumi Demam: Apa yang Membuat Bumi Panas? Penentuan judul dengan penggunaan rima dan/atau aliterasi juga bisa menjadi salah satu alternatif menyusun buku nonfiksi ramah anak, terutama bagi anak yang sedang belajar bunyi dan pengucapan kata. Pemanfaatan rima dan aliterasi diyakini mampu menambah estetika judul dan membantu anak-anak belajar tentang bunyi huruf dan pengucapan kata, misalnya Badai, Banjir, dan Bahaya.  Selain dapat meningkatkan pemahaman anak-anak terkait isi buku, judul bab juga memberikan gambaran struktur tulisan yang jelas. Bagi penulis sendiri pembagian tulisan ke dalam beberapa bab dapat memperjelas pemetaan ide yang disampaikan.

Langkah terakhir dalam proses penulisan buku nonfiksi ramah cerna dan ramah anak ialah penyuntingan. Penyuntingan dilakukan untuk memeriksa dan mengoreksi kesalahan penulisan, pemilihan kata, dan alur naskah. Selain itu, penyuntingan dilakukan untuk memeriksa kesesuaian jenjang antara naskah dan sasaran pembaca. Menulis buku nonfiksi informatif bukan hanya tentang menuangkan ide dan gagasan, melainkan juga proses menyajikan data faktual ke dalam bentuk cerita naratif. Penulis dituntut untuk mampu mempertimbangkan pemahaman anak-anak dalam menyusun naskah. Ilustrasi yang menarik sesuai dengan sasaran pembaca juga menjadi hal yang signifikan dan dapat mendorong minat baca anak-anak untuk membaca buku nonfiksi sekaligus membantu memahami data-data faktual yang disampaikan. Menulis buku nonfiksi informatif memang tidak mudah. Namun, kemauan dan konsistensi berlatih menulis tidak akan mengkhianati hasil. Jadi, semangat menulis! (Oleh*)