Menepis Hoaks di Tahun Vaksinasi
PADA minggu kedua Januari 2021 ini, program vaksinasi covid-19 secara nasional mulai diberlakukan. Sejak akhir Desember tahun lalu, pemerintah terlihat serius dalam menyusun strategi vaksinasi ini. Sasarannya hanya satu, agar vaksin dapat didistribusikan secara merata kepada seluruh masyarakat. Dengan demikian, bangsa kita mampu menuntaskan perjuangan melawan pandemi global ini.
Meskipun langkah yang diambil tampak cukup komprehensif, hingga kini masih banyak kekhawatiran terkait dengan program tersebut. Bahkan baru-baru ini ada beberapa tenaga kesehatan yang nyatanyata mengemukakan pandangan pribadinya dalam menolak vaksin.
Realitas tersebut sempat membuat masyarakat menjadi ragu atas program yang telah dicanangkan. Terlebih setelah ada pemberitaan bahwa efektivitas vaksin diprediksi hanya satu tahun. Ini berarti pada 2022 nanti masih mengagendakan program yang sama. Menegakkan alur logika Untuk menepis setiap pemikiran yang negative terhadap vaksin, ada baiknya kita
menegakkan alur logika yang ada. Izinkan saya menjabarkannya dari sudut pandang
filsafat ilmu. Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita bersama, khususnya
Baca Juga: Para Predator dan Swastanisasi Pendidikandalam mengasah pola pikir yang ada.
Vaksin sejatinya perlu dipandang sebagai hasil dari kajian ilmu. Ia diproses berdasarkan rekam sejarah kejadian yang ada, yang dimungkinkan akan terus berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Dengan kata lain, vaksin covid-19 ini ditemukan dalam kondisi karakteristik virus yang ada saat ini. Melalui serangkaian metodologi, maka rumusan vaksin ditemukan. Tak jarang proses tersebut juga diwarnai dengan trial error hingga secara ilmiah ditemukan sebuah rumusan dengan
tingkat error yang paling minimum. Itu berarti, bila terdapat perubahan ataupun mutasi di kemudian hari, proses penemuan vaksin akan terus diarahkan untuk hal tersebut. Pada paparan tersebut kita dapat melihat bahwa logika yang dibangun melalui ilmu bukanlah logika yang instan. Di dalamnya terdapat serangkaian percobaan dan kajian untuk mempertimbangkan
sesuatu demi menegakkan validitas dan reliabilitas. Didapatinya informasi yang baru, dengan validitas yang tinggi, secara otomatis akan mengubah hasil simpulan.
Pola ini dilakukan terus-menerus guna memperoleh hasil yang lebih valid. Pemikiran ilmiah itu selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Karl Popper terkait the role of falsifiability. Dalam koridor tersebut, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang sampai masa tertentu akan dapat dipersalahkan sehingga akan diganti oleh pengetahuan baru yang lebih ‘memanusiakan manusia’. Dengan pola inilah sebuah peradaban itu dibangun. Lalu bagaimana halnya dengan logika instan?
Secara tegas saya ingin mengatakan bahwa logika ini tidak didasarkan pada rangkaian
metodologi yang tepat. Sistim check dan recheck biasanya tidak dilakukan dengan objektif, tetapi dengan memegang teguh nilai-nilai subjektivitas yang ada. Artinya hanya informasi yang
seiring dengan pemikirannya jualah yang diangkat sebagai kebenaran. Sebaliknya yang bertolak belakang dengan pemikirannya dipandang sebagai sebuah kesalahan. Logika berpikir instan ditengarai menjadi sumber terciptanya hoaks yang sementara ini marak berkembang di
masyarakat. Inilah hal yang perlu segera ditepis, khususnya yang terkait dengan program vaksinasi nasional.
Masyarakat perlu memperoleh informasi yang lengkap, khususnya untuk membangun pengetahuan yang valid dan reliabel agar mereka dapat melihat program tersebut pada tataran logika sains. Tak cukup hanya dengan mengatakan bahwa program ini merupakan sebuah kewajiban.
Dengan kemajuan dunia informasi berbasis digital, masyarakat perlu diyakinkan untuk melihat setiap kebijakan dari sisi logika yangsarat ilmu.
Gerakan bersama Bayangkan, seseorang bertanya kepada Anda, ‘adalah hak saya untuk menentukan apa yang dapat dan tidak dapat masuk ke dalam tubuh saya’. Tanpa adanya logika ilmu yang kuat maka dengan mudah ia akan membentuk sebuah logika instan yang akan mengarahkannya untuk memercayai hoaks. Demikian pula halnya atas pertanyaan yang lebih kritis terkait dengan temuan efektivitas kerja vaksin, ‘mengapa kita perlu mendapat vaksin lebih dari sekali?’. Saat ini dunia tengah diuji dari sisi logika positifnya.
Demikian pula halnya dengan Indonesia. Ini adalah saat yang tepat untuk terus mengasah logika objektivitas keilmuan demi mempertahankan pola pikir yang logis seraya menepis hoaks. Gerakan bersama inilah yang akan menjadi jaminan efektivitas program vaksin nasional. Semoga setiap kalangan mampu mewujudkannya secara bersama-sama menuju Indonesia sehat! Salam sehat untuk Anda dan keluarga terkasih!
Tinggalkan Balasan