SESAAT setelah keluar dari rumah Kertanegara untuk memenuhi panggilan audisi para calon menteri Kabinet Merah Putih, Fadli Zon berujar bahwa kita harus melakukan ‘..reinventing Indonesian identity..’, menemukan kembali identitas Indonesia. Fadli melontarkan beberapa kata kunci yang mengindikasikan bahwa sejak awal ia memang sudah akan diamanahi sebagai Menteri Kebudayaan RI.

Selain kalimat di atas, ia misalnya menyebut bahwa Indonesia memiliki potensi untuk bisa menjadi ‘ibu kota budaya dunia’. Fadli juga melukiskan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki ‘mega diversity’ atau megadiverse country, bangsa yang amat sangat beragam.

Fadli Zon kemudian mengelaborasi dan memaparkan visi dan misi Kementerian Kebudayaan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR RI, Rabu (6/11).

Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan identitas bangsa Indonesia itu? bagaimana wujudnya? mengapa harus ditemukan kembali? apakah selama ini hilang? apa perlunya bagi Indonesia emas 2045? bagaimana strategi yang pas untuk menemukan kembali identitas Indonesia itu?

Saya ingin sedikit berbagi pandangan melalui sudut pandang filologi, ilmu yang berkutat dengan tugas-tugas inventarisasi, konservasi, digitalisasi, dan pengkajian manuskrip Nusantara.

Baca Juga: Performans Siswa, Kudapan, dan Susu

Mengapa manuskrip?

Manuskrip ialah tulisan tangan (handschriften) masyarakat masa lalu yang menggambarkan pikiran, pengetahuan, teknologi tradisional, kitab keagamaan, catatan harian, catatan raja-raja, surat-menyurat, obat-obatan, dan beragam catatan lain. Indonesia, dulu Nusantara, memiliki kekayaan manuskrip nan melimpah. Perpustakaan Nasional RI memperkirakan jumlahnya 82 ribu. Saya meyakini lebih dari itu.

Kekayaan manuskrip ialah penanda majunya peradaban sebuah masyarakat. Tidak semua bangsa memiliki kekayaan manuskrip seperti Indonesia. Kandungan isi manuskrip Nusantara menggambarkan identitas siapa masyarakat dan bangsa penulisnya. Keragaman aksara yang kita miliki juga jauh melebihi Jepang atau Tiongkok.

Kita punya aksara Pallawa, Kawi, Bali, Batak, Lampung, Rencong, Rejang, Jangang-jangang, Jawa, Sunda, Lontara Bugis-Makassar, aksara Sérang, Jawi, Pégon, Arab, Latin, dan beberapa lainnya. Etnik Aceh, Minangkabau, Wolio, menggunakan aksara Jawi untuk mengomunikasikan pikiran dan kearifan lokal mereka.

Jelas, manuskrip Nusantara ialah salah satu rujukan terbaik untuk mengetahui identitas dan jati diri kita sebagai sebuah bangsa, bahwa kita adalah masyarakat yang majemuk, bangsa yang ‘melek’ (literate), dan masyarakat yang telah mengenal nilai-nilai religius jauh sebelum teks-teks agama samawi berkembang.

Manuskrip Nusantara juga menegaskan bahwa kita ialah bangsa yang ‘melek teknologi’. Isi manuskrip tidak ‘melulu’ teks sastra, primbon, mujarobat, jampi-jampi, obat kuat, atau kitab keagamaan, tetapi juga ‘teknologi’ pada masanya, seperti astronomi, teknik bertani, mitigasi gempa bumi, strategi perang, seni kepemimpinan, teknik pembuatan keris, dan teknik pembuatan kapal Bugis-Makassar.

Dengan berbagai wataknya, manuskrip ialah salah satu objek pemajuan kebudayaan yang paling potensial dikapitalisasi sebagai sumber primer diplomasi budaya di kancah internasional.

Mutiara yang hilang

Pasalnya, kekayaan manuskrip Nusantara itu ibarat mutiara yang hilang. Teks-teks adiluhung karya magnum opus para penulis Nusantara, yang justru dicari dan dipuja oleh bangsa Eropa, itu belum benar-benar menjadi tuan di rumahnya sendiri.

Sejak berabad lamanya, bangsa-bangsa Eropa, khususnya Belanda, Inggris, dan Jerman, telah membangun kesarjanaan mereka dengan memanfaatkan manuskrip Nusantara. Dengan serakah, sebagian manuskrip kita bahkan diangkut dan dijarah. Bukan untuk dimusnahkan, melainkan dikaji, disimpan, dipajang, dan dimuliakan.

Namun, identitas diri dalam manuskrip Nusantara itu tidak bisa diubah, tetap melekat pada kita, bangsa pemilik budaya dan tradisinya. Keindahan luar biasa hiasan ilmuninasi pada manuskrip mushaf Al-Qur’an, misalnya, yang bermotif lokal dan menggambarkan keragaman khas budaya Nusantara, tidak mungkin diklaim sebagai milik bangsa Eropa. Itu merupakan karya masterpiece leluhur kita, identitas bangsa kita, betapa pun sang Mushaf tersimpan nan jauh di sana.

Maka itu, kalau Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, ingin menemukan kembali identitas Indonesia, salah satu yang perlu dilakukan ialah membangun kesadaran publik, termasuk anak-anak muda milenial, bahwa kita harus menemukan kembali ‘mutiara yang hilang’ itu, dan mengolahnya agar relevan dengan kebutuhan zaman. Artefak-artefak budaya yang sudah dianggap mati harus dihidupkan kembali melalui penciptaan, kreasi, inovasi, dan dengan memanfaatkan piranti teknologi.

Pelestarian manuskrip Nusantara memang sudah banyak dilakukan sejak zaman mikrofilm hingga teknologi digital. Namun, itu akan sia-sia belaka jika tidak ada upaya transformasi nilai dan isi yang terkandung di dalamnya. Mutiara yang hilang itu harus dinarasikan, dibukukan, divisualkan, difilmkan, dan bahkan dikemas menjadi alat diplomasi.

Keinginan menemukan kembali Indonesia harus dengan cara menghidupkan ekosistem kebudayaan secara keseluruhan. Manuskrip hanya salah satu jalan untuk menghidupkannya tidak bisa berjalan sendirian. Filologi harus ‘kawin’ dengan arkeologi dan sejarah, teks harus dibunyikan melalui konteks, dan sinergi dengan geliat ekonomi kreatif.

Kita bersyukur sudah punya UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kita juga berterima kasih bahwa melalui repatriasi, negara sudah berhasil mengembalikan lebih dari 1.000 artefak kebudayaan yang dahulu dirampas melalui penjajahan. Kini, saatnya kita memanfaatkan sumber daya kebudayaan yang tersedia itu untuk bersama-sama menemukan kembali identitas dan jati diri Indonesia.

Saya sudah hampir enam tahun mengampu Ngariksa (Ngaji Manuskrip Kuno Nusan­tara), membacakan teks-teks lama di media sosial, dibungkus dan dikonteksualisasi dalam peristiwa kekinian. Namun, itu baru kreasi kecil, perlu afirmasi negara yang lebih sistematis untik menghidupkan ekosistem pengarusutamaan naskah Nusantara di kancah global.

Kita perlu menatap masa depan dengan merawat masa silam. Menemukan kembali identitas Indonesia berarti memahami asal-usul, jati diri, dan identitas leluhur agar kita tidak kehilangan arah dan tercerabut dari akar. Menemukan kembali Indonesia jelas penting di tengah kuatnya arus globalisasi dan disrupsi yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa. (*)

oleh: Oman Fathurahman ( Guru Besar Filologi FAH UIN Jakarta, Pengampu Ngariksa )