BEBERAPA tahun belakangan pertanyaan terkait dengan apakah Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (The Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) sebagai sebuah organisasi regional yang telah berusia 50 tahun lebih masih relevan dan berpengaruh secara global, semakin sering diangkat menjadi tema diskusi, baik di kalangan media maupun di berbagai forum lainnya. Isu relevansi dan pengaruh ASEAN semakin sering terdengar diangkat, semenjak dunia menghadapi pandemi covid-19 dan krisis politik berkelanjutan yang terjadi di Myanmar sebagai salah satu negara anggota ASEAN yang terjadi sejak kudeta militer Februari 2021. Pentingnya soal relevansi dan pengaruh ASEAN itu terlihat dari respons ASEAN yang dipimpin Indonesia ketika mengusung ASEAN Matters: Epicentrum of Growth sebagai tema selama keketuaan Indonesia dalam ASEAN 2023. Tema itu sudah bergaung kuat dalam KTT ke-42 di Labuan Bajo beberapa bulan lalu. Namun, pertanyaan serupa kembali mencuat menjelang KTT ke-43 ASEAN di Jakarta, 5-7 September 2023. Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, untuk tidak menghadiri forum KTT ke-43 itu dan memilih mengirim Wakil Presiden Kamala Harris, oleh sebagian pihak dilihat menjadi bukti lain yang menunjukkan bahwa relevansi ASEAN semakin dipertanyakan. Sementara itu, di saat yang bersamaan ASEAN semakin kehilangan pengaruh global. Sebagaimana diketahui, Presiden Joe Biden lebih memilih menghadiri KTT G-20 di India pada 7-10 September 2023. Tulisan ini memberi beberapa jawaban terkait dengan pertanyaan perihal relevansi dan pengaruh global ASEAN saat ini.   Relevansi ASEAN Relevansi atau asas manfaat ialah pertanyaan yang pasti dihadapi setiap organisasi internasional (OI), baik OI yang berbasis negara maupun yang berbasis bukan negara. Relevansi atau asas manfaat itu bahkan kerap menjadi isu pelik sebelum disepakati anggotanya untuk dibentuk dan secara resmi berdiri.

Namun, hal yang perlu diingat ialah relevansi atau asas manfaat itu sangat bersifat kontekstual atau situasional. Artinya, relevan tidaknya suatu OI bergantung pada kebutuhan kontekstual yang dihadapi negara-negara anggota OI di dalam suatu kurun waktu tertentu. Kondisi itu sudah dipahami betul oleh para pendiri (founding fathers) ASEAN. Konteks warisan sejarah kolonial negara anggota, situasi konfliktual yang melibatkan negara anggota semenjak lepas dari cengkeraman penjajah yang diperparah tarik-menarik pengaruh kekuatan global di era Perang Dingin, akhirnya mengantar para pendiri ASEAN sepakat membentuk ASEAN sebagai organisasi regional. Ketika pada konteks 1960-an targetnya menciptakan stabilitas kawasan dengan menempatkan ASEAN secara bersamaan sebagai collective forum (forum bersama), collective means (instrumen bersama), support system (mekanisme sistem pendukung). Ketiga fungsi itu menjadi indikator relevansi ASEAN dalam konteks kawasan Asia Tenggara di era 1960-an bahkan hingga 1970-an; seberapa jauh ASEAN, yang ketika itu masih beranggotakan 5 negara pendiri awal, mampu mencegah munculnya konflik-konflik laten internal, termasuk juga terseret lebih jauh dalam konflik berdimensi global di era Perang Dingin. Walau demikian, para pendiri ASEAN pun sedari awal menyadari bahwa untuk senantiasa dapat menjawab pertanyaan relevansi atau asas kegunaan itu, ASEAN semenjak awal mengadopsi strategi adaptif jangka panjang (long term adaptive strategy) yang berlandaskan pada nilai-nilai ASEAN Way dengan prinsip nonintervensi. Selama lima dekade lebih usia ASEAN, strategi adaptif jangka panjang itu telah menjadi instrumen yang dipakai untuk menjawab tantangan setiap era. Sebutlah misalnya perluasan keanggotaan ASEAN dari 5 menjadi 10, menjawab kebutuhan perlunya menciptakan perdamaian di kawasan Asia Tenggara dengan melibatkan negara-negara di kawasan yang belum menjadi anggota.

Contoh lain ialah kesepakatan ASEAN terkait dengan penataan hubungan ASEAN secara kolektif dengan kekuatan eksternal, dengan tidak tertutup kemungkinan mekanisme hubungan bilateral anggota ASEAN dengan kekuatan eksternal. Pengadopsian ASEAN Charter yang secara drastis mengubah kultur kerja ASEAN, kesepakatan pembentukan Masyarakat ASEAN (ASEAN Community), Deklarasi HAM ASEAN, dan langkah-langkah lain yang telah disepakati selama ini, semuanya bagian dari implementasi strategi jangka panjang ASEAN untuk menjaganya tetap relevan. Dengan kata lain, selama lebih dari lima dekade usia ASEAN, organisasi regional ini telah merespons pertanyaan-pertanyaan terkait dengan relevansi atau asas kegunaan sesuai dengan konteks kebutuhan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Indonesia yang tahun ini menjadi Ketua ASEAN menyadari bahwa saat ini pertanyaan mengenai relevansi ini kembali mengemuka. Mengusung tema ASEAN Matters jelas menjadi bukti untuk itu. Persoalan yang paling nyata yang perlu dijawab ASEAN saat ini ialah sejauh mana kehadiran ASEAN dapat secara langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara luas. Selain itu, seberapa besar ASEAN dapat dengan cepat menyelesaikan konflik-konflik politik internal, yang melibatkan negara anggota ASEAN seperti halnya yang masih berlangsung di Myanmar saat ini.

Semenjak KTT ke-42 di Labuan Bajo, perihal manfaat langsung yang dapat dirasakan masyarakat ini telah menjadi isu penting. Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan juga telah mengemukakan hal ini. Dalam kaitan itulah, publik berharap agar ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dapat memberi ruang publik yang luas untuk keterlibatan sektor-sektor nonpemerintah sehingga kehadiran ASEAN sebagai suatu organisasi regional dapat dirasakan secara langsung manfaatnya oleh masyarakat. Jika pada KTT ke-42 Indonesia telah berhasil melalui forum KTT memperkenalkan sektor pariwisata, terutama pariwisata di Labuan Bajo dan sekitarnya, publik tentu sangat berharap agar KTT ke-43 di Jakarta 5-7 September juga dapat menghadirkan berbagai manfaat yang secara langsung dapat dirasakan masyarakat secara luas. Salah satunya, hasil-hasil konkret yang nantinya muncul dari; misalnya pertemuan ASEAN Business Advisory Council (ASEAN-BAC) yang dikepalai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Arsjad Rasjid. Pekerjaan rumah besar lainnya yang saat ini perlu mendapat respons ASEAN ialah penyelesaian konflik politik yang terjadi di Myanmar. Sikap keras ASEAN yang tidak mengundang Myanmar dalam KTT ke-42 di Labuan Bajo beberapa waktu lalu, setidaknya menjadi petunjuk kepada Myanmar dan negara-negara yang berada di baliknya bahwa ASEAN bertekad mengembalikan ASEAN pada posisi yang sentral. Langkah awal itu sangat ditunggu lanjutannya dalam KTT ke-43.

Pengaruh global Terkait dengan pengaruh global ASEAN, haruslah diakui semakin lama semakin mendapat persaingan dari hadirnya berbagai bentuk kerja sama antarnegara lainnya yang membuka opsi lain bagi negara mana pun menjalin kerja sama dan menyebarkan pengaruh global. Negara-negara anggota ASEAN telah menyadari bahwa ASEAN sebagai organisasi regional menghadapi tantangan tersendiri menghadapi situasi persaingan global, yang ujungnya potensial menggerus potensi pengaruh global ASEAN yang selama ini telah diakui dunia secara luas. Menghadapi situasi ini, ASEAN di bawah inisiasi Indonesia telah mengusulkan konsep ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) 2019. Secara prinsip, AOIP dapat dipandang sebagai inisiatif awal ASEAN yang diprakarsai Indonesia untuk tetap membuat ASEAN dapat berkontribusi secara signifikan di tingkat global. Mekanismenya dimulai dengan membuat petunjuk (guidelines) berinteraksi di wilayah Asia-Pasifik dan Samudra Hindia.

Baca Juga: Pendidikan Politik

Selanjutnya AOIP juga mengakui pentingnya potensi kerja sama dengan organisasi-organisasi lain di kawasan Indo-Pasifik dan Samudra Hindia. Untuk itu, melalui konsep AOIP ini, ASEAN dapat menjadi pemimpin dalam berbagai diskusi terkait dengan isu-isu; kerja sama maritim, konektivitas, pembangunan berkelanjutan (UN SDGs 2030), kerja sama ekonomi, dan bentuk-bentuk kerja sama lainnya. Dalam KTT ke-43 ASEAN 5-7 September ini akan digelar juga ASEAN-Indo-Pacific Forum (AIPF) yang oleh Menteri Luar negeri Indonesia, Retno Marsudi, disebut sebagai flagship event. Hal itu menjadi forum besar yang baru sekali dilakukan ASEAN. Tujuannya menerjemahkan AOIP 2019 yang diinisiasi Indonesia menjadi hal-hal konkret untuk tetap mempertahankan pengaruh global yang dimiliki dan dapat dikontribusi ASEAN terhadap masyarakat global. Di titik ini, kita belum dapat membuat kesimpulan apa-apa karena ASEAN masih pada tahap awal upayanya merespons pertanyaan terkait dengan pengaruh globalnya. Kita masih perlu menunggu hasil dari pertemuan pertama AIPF melalui KTT ke-43 ASEAN, yang tentu saja akan banyak menentukan masa depan relevansi dan pengaruh global ASEAN. Mengakhiri tulisan ini, rasanya relevan untuk menukil kembali apa yang pernah ditulis Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri Indonesia periode 2009-2015, dalam bukunya, Does ASEAN Matter?, ASEAN berada pada titik kritis. Harus ada sinergi antara ranah internal dan eksternal. Pemerintah harus dengan terampil mencapai keseimbangan dinamis dalam mengelola perubahan geopolitik kompleks yang banyak terjadi. Negara ini (Indonesia) harus memastikan bahwa keanekaragaman yang kaya dan beragam merupakan sumber kekuatan dan bukan kelemahan. Oleh: Vinsensio Dugis Koordinator Program Magister Hubungan Internasional dan Ketua Pusat Studi ASEAN, FISIP Universitas Airlangga. (*)