DUA Editorial Media Indonesia, Senin (27/9) dan Selasa (28/9), berdiri di panggung keresahan yang sama. Editorial berjudul ‘Menjaga Martabat Pimpinan Dewan’ (27/9) berupaya menggedor nurani para pimpinan DPR yang dirundung ‘duka’ karena salah satu Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin dari Partai Golkar, pada Sabtu (25/9) ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia terjungkal skandal penanganan perkara yang sedang ditangani KPK di Kabupaten Lampung Tengah. Azis tercatat sebagai orang ketiga (setelah Setya Novanto dan Taufik Kurniawan) di deretan pimpinan DPR yang berurusan dengan rasuah.Tampaknya DPR masih terbenam dalam krisis martabat. Padahal, DPR merupakan institusi penopang demokrasi yang perlu dirawat sungguh dengan pagar wibawa dan integritas. Di titik ini, demokrasi kita sedang dalam ancaman, seperti kupasan editorial dengan judul ‘Menyehatkan Demokrasi’ (28/9), yang di antaranya menggugat kecenderungan banal elite politik yang sibuk mematut diri dengan segala orientasi kepongahan lewat penyakit korupsinya.  Korupsi sistemik

Dalam kasus Azis, di satu sisi kita mengapresiasi KPK yang tengah berupaya ‘bangkit’ untuk membuktikan diri sebagai institusi yang tetap trengginas dalam memberantas korupsi setelah belakangan ini dihantui skeptisisme publik. Namun, pada sisi lain, peristiwa tersebut mencerminkan institusi DPR tak kunjung lelah memanen kritikan dan sinisme publik. Karena, para elitenya yang selalu gagal menjaga muruah akibat terserimpung nafsu pementingan diri sendiri (self dealing), merasa berkuasa, yang berujung pada penyalahgunaan wewenang dan korupsi.Azis memang sudah lama disebut-sebut dalam sejumlah perkara ‘uang panas’, seperti kasus korupsi pembangunan Kawasan Pusat Kegiatan Pengembangan dan Pembinaan Terpadu Sumber Daya Manusia Kejaksaan, Kelurahan Ceger, Jakarta Timur, pada 2012, proyek Kejagung di Komisi III DPR RI, kasus simulator SIM, juga kasus penghapusan red notic buron Djoko Tjandra.Meski demikian, Azis tetap ‘menari bebas’.

Ada yang bilang, Azis, politikus kelahiran 31 Juli 1970 itu mirip seniornya, Setya Novanto. Politisi licin, yang lihai berselancar di tengah deru skandal yang melibatkannya, walaupun pada akhirnya ‘kena batu’ juga lewat kasus KTP-E senilai Rp2,3 triliun.Perkara Azis mempertegas begitu sistemik dan ‘intermestik’-nya korupsi dilakukan oleh politisi di ruang parlemen, baik lewat pengaruh internal maupun secara eksternal yang diwakili para pencari rente dari sektor swasta (Ackerman & Truex, 2013). Kemampuan berkelit Azis dari tuduhan hukum selama ini, misalnya, tidak lepas dari kian kukuhnya episentrum dan jaringan proteksi korupsi di parlemen dengan mengapitalisasi kuasa dan kewenangan yang dimiliki.

Berulangnya skandal korupsi di DPR, dengan peran aktor (politisi, broker, swasta) serta modus operandi yang relatif tak jauh berbeda dari waktu ke waktu, sejatinya memperkuat tesis tersebut.Bahayanya lagi, imunitas korupsi di DPR dari proses hukum, selain karena politik saling kunci para aktor, justru sering berasal dari produk politik legislasi yang mereka hasilkan sendiri, yang tidak menutup ruang bagi praktik korupsi lewat aturan pembahasan anggaran yang tidak transparan, hingga pada proses legislasi yang belum maksimal menyerap aspirasi semua elemen masyarakat.Ini mengingatkan, apa yang dibilang Sheldon Woldin dalam Politics and Vision  (dalam Dagger, 2014:400) sebagai ‘terkikisnya hal yang politis’ (visi kepublikan dan moralitas sosial), dengan adanya eksistensi kelompok yang senantiasa mengatasnamakan sosial untuk memajukan kepentingan mereka an-sich, dengan menabrak asas-asas kepatutan publik.Sesuatu yang ironis, mengingat wakil parlemen kita (Fadli Zon), yang merupakan Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP), selama ini sangat intens menginisiasi kampanye melawan korupsi, baik secara global maupun di kawasan Asia, antara lain dengan kesadaran dan aksi imperatif, menghasilkan undang-undang yang diperlukan untuk memberantas korupsi melalui proses legislasi di parlemen.

Membuka mata batin Jika kemudian sebagian publik kecewa akan kerja DPR, itu wajar. Mengingat wakil rakyat teristimewa pimpinannya adalah sosok yang diharapkan sudah kenyang dengan integritas sebagai modal membangun legitimasi etik-moral mereka di hadapan rakyat. Di dalam diri wakil rakyat, khususnya pimpinan DPR, dibayangkan melekat kematangan sikap penuh tanggung jawab, altruistik sebagai wujud keutamaan (virtue) bernegara. Karenanya, seorang wakil rakyat selalu membuka mata batinnya untuk melihat dan terhubung dengan realitas rakyat yang diwakili.Dalam demokrasi yang sehat, politik keutamaan seorang wakil rakyat meniscayakan dirinya selalu mampu menjaga perasaan dan kehendak rakyat, yang telah memercayakan mandat kepadanya, di atas segala-galanya. Meskipun, karenanya ia harus kehilangan ‘kebahagiaan’ sekalipun (Kusumohamidjojo, 2014). Bukan seperti sekarang.

Baca Juga: Digitalisasi UMKM untuk Pemulihan Ekonomi Daerah

DPR yang mestinya mengawasi program bantuan sosial, justru ikut mengorupsinya. Yang harusnya mengawasi, serta memastikan anggaran pembangunan didistribusikan secara tepat sasaran kepada masyarakat, malah ikut membancak anggaran demi modal elektoral dan memperkaya diri.Tak mengherankan jika dalam hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) 2020 oleh Transparency International Indonesia, 51% responden menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup di Indonesia, yang sejalan dengan tren di Asia yang memosisikan parlemen sebagai institusi terkorup. Sigi Indikator Politik Indonesia yang teranyar (17-21 September 2021) juga menempatkan DPR sebagai lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan terendah (50%), jika dibandingkan dengan misalnya TNI (90%), Presiden (82%), Polri (71%).Deterioritas DPR tersebut tak boleh dibiarkan.

Para wakil rakyat di Senayan harus berani mengoyakkan dan membuang semua ‘baju lusuh’ ego dan kepentingan prokorupsiya, diganti jubah kerelaan mengorbankan kepentingan (kesenangan) diri. DPR harus menjadi institusi terdepan yang merawat nurani rakyat agar tidak ditikung nafsu pementingan diri dan kekuasaan para politisi. Di sini, peran besar pimpinan DPR sangat dituntut.

Kenegarawanan dalam berpikir dan bersikap adalah nilai praksis yang mesti trubus di diri pimpinan. Dengan begitu, ekosistem parlemen dan rakyat tidak terus kehilangan keteladanan konstruktif dan inspiratif di dalam berdemokrasi.Tentu saja, kontrol masyarakat terhadap kerja DPR adalah modal utama yang harus terus aktif untuk memastikan DPR tidak dikontaminasi oleh praktik manipulasi, aji mumpung, dan penyalahgunaan kekuasaan. Rakyat berhak ‘mengadili’ keras sikap dan kebijakan para wakilnya lewat kritik dan demonstrasi, sejauh sejalan dengan koridor demokrasi.( Umbu TW Pariangu, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang)