ADA banyak ungkapan kecemasan dalam diri Surya Paloh ketika menyampaikan pandangannya mengenai situasi politik dan demokrasi Indonesia saat ini. Dalam sambutan pengukuhannya ketika menerima gelar doktor kehormatan di bidang sosial politik di Universitas Brawijaya, Malang, Surya Paloh menengarai bahwa meskipun Indonesia telah berubah sebagai negara demokratis, bentuk kekuasaan masih cenderung despotik; sebuah kondisi di mana kekuasaan mencengkeram dengan amat kuat institusi-institusi politik yang ada. Kecemasan Surya Paloh memang beralasan jika kita baca argumen Don Murray dalam A Democracy of Despots (1995) yang menyebutkan bahwa pergerakan cerdik kaum despotik menyebar hampir pada setiap ranah politik. Pada bagian lain Surya Paloh juga mengungkapkan kecemasannya terhadap agenda Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang masih dihantui dan kental dengan polarisasi politik identitas.Dalam kata sambutannya, Surya Paloh mengatakan, alih-alih menjadi pendidikan politik, pemilu hanya menjadi ajang perselisihan dan konflik yang tak berujung dan berkesudahan.

Pemilu dikhawatirkan tidak memberikan solusi fundamental terhadap masa depan bangsa dan negara, tetapi membuat bangsa ini lunglai hati dan pikir. Lemahnya cara berpikir solutif dari para penyelenggara negara, politikus, dan dunia usaha karena pekatnya polarisasi identitas menyebabkan terjadinya perang argumen yang tidak sehat dan cenderung melahirkan strategi kecurangan dalam pemilu.   Kesadaran kritis The Uncertain Future of Democracy (2017) yang lama didengungkan oleh Larry Diamond memang mengindikasikan bahwa demokrasi mengalami ‘resesi ringan, tapi berlarut-larut’. Terhadap fenomena ini, NasDem menawarkan politik gagasan sebagai salah satu cara untuk tetap menempatkan partai politik memiliki kesadaran kritis sepanjang masa. Alangkah baiknya jika seluruh partai politik di Indonesia saat ini mengembalikan kesadaran politik mereka melalui pengelolaan lembaga-lembaga kenegaraan untuk berpikir dan berlomba gagasan tentang semangat kesetaraan. Penting bagi partai politik saat ini memiliki kesadaran yang ditandai setidaknya dengan empat ciri: 1) kritis, 2) memberi dan mendatangkan energi, 3) menciptakan, dan 4) menyembuhkan.

Tanpa kesadaran dengan ciri-ciri ini, demokrasi kita akan terus mengalami resesi sehingga membuat praktik demokrasi menjadi layu dan tak memiliki kontribusi besar terhadap bangsa dan negara. Kesadaran kritis dalam lingkungan partai politik harus dilakukan oleh sebuah proses pendidikan politik yang bertugas menyuburkan dan mempertahankan kesadaran dominan dalam budaya kesetaraan di Indonesia, yang cenderung hilang karena politik lebih melihat kepentingan jangka pendek, tunduk pada etos konsumerisme, menopang tatanan yang ada, atau malahan mengambil keuntungan darinya. Kesadaran kritis diperlukan dalam rangka membebaskan sistem demokrasi dari lanskap pertarungan kekuasaan politik yang tidak bertanggung jawab serta sistem ekonomi yang menjinakkan dan menundukkan kaum fakir dan miskin. Partai politik juga perlu dikelola secara modern dan terbuka agar tidak terkesan bahwa sistem demokrasi kita kurang peduli dengan pendidikan politik yang terbuka dan toleran serta memiliki pandangan yang sempit dan statis serta terkooptasi dengan pragmatisme sesaat.

Pendidikan politik yang sehat dan terukur akan melahirkan kader dan politikus yang memiliki jiwa kesatria, taat, dan menjadi sumber energi yang memungkinkan Indonesia bergerak maju menuju zaman dan situasi yang lebih baik. Artinya, kita harus selalu kritis dalam menyikapi realitas sosial-politik yang ada sehingga berujung pada tumbuhnya harapan dan arah baru menuju masa depan yang ditandai dengan tatanan sosial yang egaliter dan berkeadilan. Selanjutnya, partai politik juga harus selalu mem­perbarui kapasitas menciptakan, yaitu kemampuan mengidentifikasi masalah, isu, dan keprihatinan yang melanda kelangsungan hidup umat manusia, serta terlibat aktif menemukan jawaban terhadapnya. Kemudian, jawaban tersebut diterapkan dengan kreatif untuk mencapai hasil seoptimal mungkin, tetapi tetap diperlakukan sebagai sesuatu yang tentatif. Hasil itu dianggap tentatif karena dapat diuji ulang dan ditinjau kembali sehingga, dengan demikian, menjadi awal siklus penciptaan selanjutnya. Lebih lanjut lagi, kapasitas menciptakan memerlukan pendamping dan pembimbing. Karena itu, isu tentang pentingnya capacity building bagi para pengurus partai politik harus terus mendapat perhatian. Oleh sebab itu, sistem demokrasi kita harus mengubah undang-undang partai politik yang dirasa merugikan kehendak rakyat. Undang-undang partai politik harus memiliki ‘ruang kritik’ agar terus-menerus dapat mengembangkan kesadaran menyembuhkan. Ini merupakan kekuatan spiritual yang bersumber dari komitmen dan kegairahan terhadap alam demokrasi karena undang-undang partai politik selalu bisa diperbarui. Semangat menyembuhkan menjadi sangat relevan untuk diterapkan dalam setiap pasal udang-undang partai politik, dan bukan semangat menghancurkan, karena kesadaran meyembuhkan ini tidak selaras dengan rasa benci dan bermusuhan di kalangan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda agama, kelas sosial, dan latar belakang lainnya.

Prinsip kesetaraan Tidak adanya kajian serius dan keberanian untuk melihat kegagalan sistem demokrasi dalam 20 tahun terakhir ini menyebabkan kita kesulitan menunjukkan bukti kesetaraan politik di lingkungan partai politik. Padahal, sejatinya kesetaraan politik di antara partai-partai politik adalah fitrah yang secara normatif bahkan telah dimuat secara kasatmata dalam UUD 1945, karena sesungguhnya kesetaraan bukan hanya berorientasi kepada akses dan partisipasi semata. Kesetaraan (equality) bukan saja harus dilihat dari tujuan dan proses politik semata, tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan agama. Hanya dengan cara pandang seperti inilah kemudian kita dapat merumuskan gagasan tentang kesetaraan kondisi (equality of condition) di kalangan partai politik sebagai pendekatan dalam merumuskan kebijakan sistem demokrasi yang pro terhadap kebutuhan publik. Ilustrasi sederhana tentang pentingnya prinsip kesetaraan diterapkan dalam dunia politik dapat dilihat dari argumen Baker (2004) dalam Equality: From Theory to Action, yang memberi banyak inspirasi dalam menafsirkan makna kesetaraan. Baginya, kesetaraan kondisi (equality of condition) jauh lebih penting daripada kesetaraan dalam konteks akses dan partisipasi.

Baca Juga: Kedaulatan Digital dan Reputasi Negara

Dalam equality of condition, fokus kita berikan bukan hanya terhadap tujuan dan proses (purposes and process) pendidikan politik itu sendiri, tetapi juga berkaitan dengan kesetaraan terhadap sumber daya (equality of resources), kesetaraan dalam pengakuan dan penghargaan (respect and recognition), kesetaraan dalam kekuasaan (equality of power), dan kesetaraan dalam kepedulian, solidaritas, dan cinta (love, care and solidarity). Semua jenis kesetaraan ini jelas membutuhkan kecerdasan partai politik sebagai tiang sistem demokrasi kita untuk merealisasikannya. Kesetaraan sumber daya harus dibuktikan dengan penciptaan sistem pendidikan politik yang lebih terbuka dan nondiskriminatif, sedangkan kesetaraan dalam pengakuan dan respek harus diciptakan bukan hanya dengan membangun budaya politik yang menghargai perbedaan, tetapi juga harus diekspresikan secara tertulis dalam skema perundangan politik yang memadai.

Adapun kesetaraan kekuasaan harus dilihat dalam relasi eksekutif-legislatif-yudikatif yang semakin peduli dengan proses demokrasi yang benar-benar demokratis. Dengan demikian, implikasi dari pandangan ini akan membawa keterbukaan pandangan untuk saling menghargai posisi dan peran masing-masing dalam membangun bangsa. Demokratisasi dalam dunia politik Indonesia merupakan ruang segar yang harus diciptakan sehingga di antara eksekutif-legislatif-yudikatif ada kebebasan untuk menyatakan perasaan dan pendapat mereka. Dalam konteks ini, kesetaraan kondisi-kondisi tersebut penting untuk dilakukan terlebih dahulu oleh penyelenggara pemilu kita.

Tirani mayoritas Kemenangan dalam setiap kontestasi politik memang sebuah keharusan. Akan tetapi, kemenangan dalam setiap kompetisi politik tak boleh menciptakan tirani mayoritas, baik karena ada­nya kerja sama antarpartai maupun tidak. Apa pun ceritanya, kita telah memiliki konstitusi yang secara tegas memuat hak-hak kaum minoritas. Tapi, kelompok mayoritas dapat mengesampingkan rule of law  karena mereka sedang digerakkan kepentingan, yakni meraih sebanyak mungkin kursi atau suara da­lam pemilu. Jika dengan posisi mayoritas itu mereka bisa mendapat lebih banyak dana publik, kepentingan tersebut semakin bercokol.

Inilah kekhawatiran Surya Paloh yang lain tentang kecenderungan partai atau koalisi tertentu bersinergi dengan kekuasaan. Apa yang dapat dilakukan untuk menangani masalah yang timbul dari keberlanjutan mayoritas kekuasaan? Salah satu uraian dari Jon Elster bisa diangkat di sini (Elster, 1993). Me­nurutnya, dalam konteks makro, cara-cara melin­dungi hak-hak warga negara dari gangguan mayoritas ialah; 1) konstitusionalisme, 2) judicial review, 3) pemisahan kekuasaan, dan 4) checks and balances. Konstitusionalisme yang dimaksud di sini tentu saja yang demokratis. Yang perlu diperhatikan dan dipertanyakan ialah hak-hak apa yang tercakup dalam konstitusi dan seberapa jauh perlindungan yang diberikan kepada hak-hak tersebut. Juga perlu diperhatikan apakah ada peraturan perundangan dan regulasi lain, terutama undang-undang partai politik, memperkuat perlindungan terhadap hak-hak minoritas dan kesetaraan atau tidak.

Mengenai judicial review, Indonesia sekarang memiliki Mahkamah Konstitusi yang disegani dan keputusan-keputusannya dihormati. Kewenangannya pada prinsipnya adalah menguji undang-undang yang ada (ex-post), bukan me-review rancangan undang-undang (ex-ante). Salah satu ujian terhadap mekanisme judicial review ialah, apakah Mahkamah Konstitusi dapat membela hak-hak minoritas yang diganggu ketentuan perundang-undangan yang tak selaras dengan kebebasan dan kesetaraan di bidang politik. Yang juga tak kalah penting ialah masalah pemisahan kekuasaan atau separation of powers mengharuskan supaya cabang-cabang kekuasaan negara terpisah satu sama lain. Lembaga yudikatif tak mengurusi kekuasaan legislatif, dan lembaga legislatif tidak bergantung kepada eksekutif. Jika ada media massa, televisi, radio, dan lain-lain milik negara, apakah media tersebut dijamin indepen­densi­nya. Akhirnya, di dalam demokrasi, cabang-cabang kekuasaan tidak hanya terpisah atau independen, tetapi juga tergantung satu sama lain sehingga kecenderungan melakukan pelanggaran hak-hak warga negara dapat dihindari.

Persoalan penting di sini ialah, apakah ada mekanisme yang akan menetralisasi kecenderungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk menyalah­gunakan kekuasaan. Parlemen harus dapat meng­awasi pemerintah dan presiden; dan presiden memi­liki kewenangan atau veto terhadap kewenangan parlemen. Checks and balances harus bisa diukur dengan parameter perundangan yang jelas. Walhasil, apa yang coba diingatkan Surya Paloh tentang penting dan perlunya tatanan demokrasi yang mengedepankan kepentingan publik harus terus diuji oleh beragam prinsip kesetaraan. NasDem diharapkan akan menjadi partai pelopor dalam membangun gagasan kesetaraan peran partai politik dalam rangka menghindari polarisasi identitas yang berlebihan. Membangun identitas kekitaan adalah jalan untuk membangun kesetaraan politik bagi setiap warga bangsa yang menjadikan partai politik sebagai ikhtiar memperbaiki pelayanan publik. Oleh: Ahmad Baidhowi AR Ketua Bidang Kaderisasi dan Pendidikan Politik DPP Partai NasDem