Melihat Perspektif Negara dalam Kasus Penolakan Abdul Somad Masuk Singapura
Ustaz Abdul Somad atau yang biasa disapa UAS kembali memantik kehebohan. Kini perkara dirinya yang ditolak masuk ke negeri singa. Pro kontra terjadi di jagat maya. Suara warganet pun terbelah secara nyata bak polarisasi politik.
Bahkan tagar ‘Singapura’ menjadi trending topic nomor satu Twitter di Indonesia usai kasus penolakan Abdul Somad ke negeri jiran Indonesia itu. Ada yang mengecam sikap Singapura, ada pula yang menegaskan bahwa sikap Singapura merupakan hak prerogatif mereka.
Mereka yang membela tentu para pengagum dan pengikutnya di Tanah Air. Macam-macam komentar dilontarkan, tindakan Singapura dianggap sebagai penghinaan terhadap penceramah kondang Tanah Air itu. Ada yang mengecam Singapura karena lebih melindungi koruptor daripada memperlakukan ulama dengan baik.
Tidak cukup hanya mengecam Singapura, komentar yang menyalahkan pemerintah Indonesia pun bertebaran. Ada yang menuding adanya konspirasi pemerintah Indonesia yang minta Singapura untuk mencegah Abdul Somad. Bahkan mereka menilai upaya pemerintah Indonesia tidak optimal untuk mengawal Abdul Somad.
Melihat fenomena ini, mestinya cara pandang kita dengan melihat dari perspektif kedaulatan negara masing-masing. Perkara kedaulatan sebuah negara memang perihal yang tidak bisa diintervensi pihak manapun. Diterima atau tidaknya wna (warga asing) ke suatu negara adalah kedaulatan dari negara tersebut.
Baca Juga: Asas Legalitas dalam Sistem Hukum di Indonesia, Relevankah?Singapura meskipun secara wilayah ukurannya sangat kecil, namun posisi mereka sama dan setara dengan Indonesia. Kebijakan yang mereka ambil tentu tidak mau diintervensi oleh Indonesia. Apapun alasannya, itu merupakan hak subjektif mereka.
Ada sejumlah alasan kenapa Singapura menolak UAS. Dalam penjelasan resmi terkait ditolaknya UAS masuk ke Singapura pada Senin (16,5) lalu, kementerian dalam negeri Singapura menyampaikan tiga poin yang menjadi alasan menolak UAS.
Pertama, UAS dianggap UAS dikenal menyebarkan ajaran ekstremis dan segregasi, yang tidak dapat diterima di masyarakat multiras dan multiagama di Singapura.
Kedua, UAS juga dianggap kerap membuat komentar yang merendahkan anggota komunitas agama lain, seperti Kristen, dengan menggambarkan salib Kristen sebagai tempat tinggal jin (roh,setan) dan kafir. Ketiga, Singapura menganggap UAS secara terbuka menyebut non-muslim sebagai kafir.
UAS pun angkat bicara menanggapi tudingan Singapura tersebut. Penceramah kondang ini menegaskan bahwa apa yang disampaikannya hanya berdasarkan ajaran agama yang diyakininya, tidak lebih dan tidak kurang.
“Orang yang tidak percaya kepada Nabi Muhammad SAW itu orang yang mengingkari kedatangan Nabi Muhammad SAW itu disebut orang yang kafir. Kafir itu artinya ingkar. Jadi, penjelasan itu dijelaskan di dalam masjid kepada kaum muslimin,” kata UAS dalam sebuah wawancara.
Namun, persoalannya bukanlah urusan benar-salahnya alasan pemerintah Singapura. Kedaulatan Singapura terhadap negaranya sendiri bersifat mutlak. Mau diklarifikasi ataupun menjelaskan puluhan hingga ribuan kali pun, kebijakan menolak WAN merupakan kewenangan penuh Singapura.
Jadi, ya biarkan saja seperti itu sampai Singapura sendiri nanti yang mencabut larangannya. Tidak perlu mengecam, apalagi sampai membawa-bawa tudingan pemerintah Indonesia ikut berperan dalam penolakan UAS masuk Singapura.
Apalagi, kenyataannya pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Singapura telah melakukan upaya maksimal dengan mengirimkan nota diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri Singapura.
Bahkan Dubes RI untuk Singapura Suryopratomo menyampaikan bahwa pihaknya langsung menghubungi Immigration and Checkpoints Authority (ICA) terkait kejadian yang menimpa pada UAS.
Perlindungan bagi UAS
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah mengatakan bahwa KBRI telah melakukan langkah perlindungan terhadap WNI, termasuk dengan melayangkan nota diplomatik untuk meminta penjelasan atas alasan penolakan.
Ditegaskan Faizasyah, setiap negara, termasuk Singapura, memiliki kedaulatan dan kebijakan imigrasi masing-masing. Setiap negara memiliki yurisdiksi dan ketentuan hukum yang berlaku di negaranya bisa saja tidak menerima seseorang masuk ke teritorial wilayahnya berdasarkan berbagai pertimbangan.
Untuk itulah, masyarakat kita mestinya paham, bahwa urusan kedaulatan negara masing-masing tidak perlu dipolemikkan. Hargai kedaulatan Singapura sebagai sebuah negara merdeka.
Mereka mengeluarkan kebijakan tentu disesuaikan dengan nilai kebangsaannya sendiri. Jangan memandang kebijakan Singapura dari kacamata sebagai warga negara Indonesia.
Apalagi selain UAS, Singapura juga pernah mencekal (banned) seorang pastor asal Amerika Serikat lantaran telah memuat pernyataan berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) saat mengisi acara di negera tersebut. Artinya, kebijakan Singapura ini bukan pun soal sentimen agama. Oleh: Akhmad Mustain Editor Media Indonesia (*)
uas mestinya minum kencing onta saja…mulut busuk berbau bangkai onta di sebut ulama???
bikin malu islam saja si onta ini…