Cerita pendek “Perempuan Itu Bernama Lara” adalah karya sastrawan yang berasal dari Kota Padang Panjang, Provinsi Sumatera Barat, bersuku Minangkabau yang bernama Ali Akbar Navis atau lebih dikenal sebagai AA Navis. Sastrawan ini lahir pada tanggal 17 November 1924.

Kegemaran AA Navis terhadap sastra dimulai dari rumah ketika orang tuanya berlangganan majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Ia melahirkan beberapa karya cerita pendek, puisi, novel, dan karya nonfiksi. Salah satu karya AA Navis yang terkenal adalah cerita pendek “Robohnya Surau Kami”. https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/tokoh-detail/3397/a.-a.-navis (diakses pada 18 Oktober 2024). Pada sidang umum ke-42 UNESCO, 22 November 2023,  AA Navis terpilih sebagai tokoh Indonesia yang penetapan hari lahirnya dirayakan secara internasional. Ia terpilih karena karya-karyanya yang kritis mempunyai nilai-nilai universal yang tetap relevan dengan kondisi saat ini.

Cerpen “Perempuan Itu Bernama Lara” bercerita tentang Lara, istri dari seorang kapten yang menghormati dan menyayangi suaminya hingga ia rela melakukan apa pun. Namun, dalam kondisi tersebut Lara seakan terjajah karena sang Kapten yang mempunyai relasi dengan orang lain hingga Lara pergi meninggalkan sang Kapten.

Ada beberapa tokoh yang digambarkan AA Navis dalam cerita pendek ini, seperti Lara, Kapten, dan Dali. Untuk latar, penulis tidak secara gamblang menjelaskan nama daerah tempat kejadian, seperti ketika Lara pergi meninggalkan Kapten dan mencari tempat pelarian. Penulis hanya menggambarkan tempat kejadian ada di hutan karena pada saat itu adalah zaman perang.

Cerpen ini dibuat pada tanggal 1 September 1996. Meskipun cerita pendek ini sudah berumur 28 tahun, masalah sosial yang terdapat dalam cerita masih relevan dengan kehidupan saat ini. Beberapa di antaranya adalah AA Navis mengangkat kesetaraan laki-laki dan perempuan, hubungan pernikahan, hubungan sesama jenis, perselingkuhan, dan kekuasaan.

Baca Juga: Memberdayakan UMKM Obat dan Makanan: Kunci Ketahanan Ekonomi Nasional

Menurut Rubington dan Weinberg dalam  buku The Study of Social Problems: Six Perspective Fourth Edition pada tahun 1989 masalah sosial adalah kondisi di masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai yang dianut masyarakat. Ketidaksesuaian tersebut dapat memicu kecemasan dan ketidaknyamanan masyarakat. Parrilo (2002: 4) dalam buku Contemporary Social Problems merumuskan empat elemen penting yang bisa menjadi pertimbangan suatu situasi yang dianggap sebagai masalah sosial, yaitu (1) dapat menimbulkan berbagai kerugian, baik terhadap keadaan fisik maupun mental terhadap individu ataupun masyarakat; (2) pelanggaran terhadap satu atau beberapa nilai atau standar yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat atau mereka yang memiliki kekuatan pengaruh di masyarakat; (3) keadaan yang terus-menerus terjadi; dan (4) memunculkan kebutuhan untuk dipecahkan berdasarkan evaluasi dari berbagai kelompok masyarakat.

Berdasarkan informasi tersebut, masalah sosial adalah suatu kondisi yang bertentangan dengan norma/nilai yang berlaku pada masyarakat yang penyebabnya bisa merugikan, keadaan yang terus-menerus terjadi, dan kondisi yang tidak menyenangkan sehingga perlu adanya upaya untuk mencari jalan keluar dari masalah sosial tersebut.

Ada masalah-masalah sosial yang terdapat dalam cerita pendek ini. Pertama adalah masalah kesetaraan laki-laki dan perempuan. Masalah sosial tersebut dapat dilihat dalam perkataan tokoh, “Perempuan tidak perlu ikut perang. Malah jadi beban.”

Perkataan itu dituturkan oleh Kapten. Ada beberapa pendapat mengenai kondisi tersebut, seperti perempuan tidak mempunyai kekuatan yang sama seperti laki-laki dalam berperang sehingga perempuan tidak diperkenankan ikut perang. Pendapat yang lain adalah perempuan hanya bertugas di rumah, lebih tepatnya mengurusi dapur, sumur, dan kasur, padahal ada beberapa tokoh perempuan yang menjadi pahlawan dan ikut berjuang melawan penjajah, tetapi kondisi itu tidak mengubah pemikiran sang Kapten.

Melalui masalah sosial ini, penulis secara tidak langsung menyampaikan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan atau lebih dikenal dengan feminisme. Kedua adalah hubungan pernikahan. Dalam cerita pendek ini, Lara menghormati suaminya. Ia menuruti apa pun yang dikatakan suaminya. Ketika suaminya pergi bekerja, ia tetap menunggu suaminya pulang berapa pun lamanya.

Bahkan, ketika suaminya menyuruh Lara meniduri anak jawinya, ia pun melakukannya. Sikap Lara yang sangat mematuhi Kapten dapat menimbulkan masalah dalam hubungan pernikahan karena Lara tidak mempunyai pilihan, seperti menolak meniduri anak jawi sang Kapten. Ketiga adalah hubungan sesama jenis. Penulis berani memberikan gambaran mengenai hubungan sesama jenis.

Hubungan yang dimaksud adalah gay. Pada saat cerpen ini dibuat, yakni pada tahun 1996, pasti hal tersebut sangat tabu atau bahkan masih asing pada sebagian orang, tetapi penulis berani menggambarkannya di dalam tulisan yang dapat dibaca semua orang. Hubungan sesama jenis yang dimaksud terjadi antara Kapten dan anak jawinya. Dalam cerita, penulis menjelaskan bahwa Lara sudah mengetahui sejak awal kalau Kapten adalah peranak jawi. Hal tersebut dapat dilihat dalam perkataan tokoh, “Sejak mula kawin aku sudah curigai dia peranak jawi. Maka itu aku ikuti dia bergerilya. Supaya perangainya tidak berkelanjutan. Justru di sini aku digermoinya.” Bisa dikatakan bahwa Kapten pun ternyata pernah menjadi anak jawi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak jawi bermakna ‘anak laki-laki yang disayangi’, tetapi sayang yang diartikan dalam hal ini adalah sayang sebagai pasangan. Keempat adalah perselingkuhan.

Berdasarkan cerita pendek tersebut, ada indikasi terjadinya perselingkuhan dan perselingkuhan ini disebabkan oleh sang Kapten. Kapten menyeleweng dari pernikahannya dengan menjalin hubungan bersama orang lain. Orang lain yang dimaksud bukanlah perempuan, melainkan laki-laki. Kelima adalah kekuasaan. Kapten mempunyai kekuasaan dari jabatannya. Kekuasaan yang ia punya bahkan ia salah artikan untuk memenuhi kesenangan pribadi. Kekuasaan itu ia gunakan untuk mengumpulkan anak jawi guna ditiduri istrinya, Lara.

Berdasarkan masalah sosial yang ditampilkan melalui cerita pendek “Perempuan itu Bernama Lara”, masalah yang ditampilkan tersebut masih relevan dengan kondisi saat ini.  Masalah kesetaraan laki-laki dan perempuan masih ditemukan hingga saat ini, seperti perempuan tidak dilibatkan dalam pengambil keputusan, perempuan tidak mendapatkan hak-haknya, masih mengalami diskriminasi, dan masih dianggap sebelah mata.

Masalah sosial dalam hubungan pernikahan mewakili hubungan pernikahan saat ini, seperti istri yang menghormati suaminya bahkan rela melakukan apa pun termasuk hal yang menyakiti dirinya sendiri. Hubungan sesama jenis sedang mendapat perhatian besar di tengah nilai dan norma kesopanan yang berlaku di Indonesia. Perselingkuhan juga menjadi perhatian besar karena di tengah pesatnya perkembangan teknologi banyak hal yang bisa dilakukan untuk berselingkuh. Selanjutnya, penyelewengan kekuasaan pada kondisi saat ini juga dapat ditemukan dari usia muda hingga usia tua.

Pelanggaran nilai dan norma yang berlaku dalam sebuah masyarakat, perkembangan teknologi, dan pemangku kepentingan dapat menimbulkan masalah sosial.

Untuk itu, perlu adanya kesadaran untuk menghormati dan menghargai perbedaan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, penggunaan teknologi yang bijak, dan kebijakan dari pemangku kepentingan yang tepat. (Vonnita Harefa, Penyuluh Bahasa)