PARALIMPIADE Tokyo 2020, yang diselenggarakan di tahun 2021 ini, menorehkan tinta emas tersendiri bagi sejarah keolahragaan Indonesia. Sejumlah 23 atlet yang hadir mewakili Indonesia dalam ajang kompetisi multievent atlet disabilitas itu telah berhasil mengukir prestasi yang sangat membanggakan, sekaligus meng­harubirukan. Dengan dibimbing Chef de Mission Andi Herman dan diampu Ketua Komite Paralimpiade Indonesia Senny Marbun, kontingen Indonesia tampil di 7 cabang olahraga (cabor) dari 22 cabor yang diper­tandingkan di ‘Negeri Sakura’ itu.

Kontingen Indonesia mempersembahkan total 9 medali, yakni 2 emas, 3 perak, dan 4 perunggu. Sebuah capaian dari buah kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja ikhlas dari para atlet, pelatih, dan segenap official, dan tentu saja, doa dari seluruh masyarakat Indonesia. Keberhasilan itu meningkatkan secara signi­fikan capaian peringkat Indonesia dalam Paralimpiade. Sebelumnya Indonesia berada di peringkat ke-76 pada Paralimpiade Rio de Jeneiro 2016 dengan memperoleh 1 medali perunggu.

Kini dengan total 9 medali, Indonesia berada di peringkat ke-43. Sebuah peringkat yang melampaui target. Sebagaimana telah disampaikan Menpora RI Zai­nudin Amali, target Paralimpiade Tokyo sebagaimana dituangkan di Desain Besar Olahraga Nasional (DBON), targetnya peringkat ke-60. Namun, rasa bangga mendapatkan 9 medali bukan semata-mata persoalan peringkat yang diperoleh. Capaian prestasi itu lebih memiliki nilai sebagai sebuah ‘kado indah’ untuk bangsa Indonesia di tengah keprihatinan masa pandemi covid-19.

Kado indah

Kado indah bukanlah sebuah kado biasa. Namun, itu merepresentasikan kado superspesial, sangat istimewa yang dipersembahkan para duta olahraga kita di Paralimpiade Tokyo 2020. Kado yang memiliki arti lengkap sebagai energi kebangkitan, semangat nasionalisme dan kebanggaan, sebagai sebuah bangsa dalam tata pergaulan dunia melalui olahraga.

Baca Juga: Pendidikan: Segeralah Sadar Sejarah & Budaya

Bahkan, dalam situasi pandemi sekarang ini, capaian prestasi itu dapat dianalogkan memiliki makna sebagai kado indah suplemen untuk memodulasi imunitas kebangsaan. Pertama, kembali memperoleh dua medali emas itu merupakan ‘kejutan kebahagiaan’ yang pasti meningkatkan endhorphine dan imunitas kebangsaan.

Fenomenal karena sukses mengakhiri masa paceklik medali emas Paralimpiade selama 41 tahun. Terakhir kali Kontingen Paralimpiade Indonesia pernah mengukir prestasi gemilang dengan menyabet medali emas pada Paralimpiade Arnhem Belanda 1980. Dua medali emas dibawa pulang atlet Yan Sobiyanto di cabor lawn bowls dan RS Arien di cabor angkat berat.

Kedua, meraih medali emas parabadminton meru­pakan sesuatu yang sangat sesuai dengan ekspektasi karena merupakan cabor yang baru pertama kali diper­tandingkan di Paralimpiade setelah melalui perjuangan panjang. Bangsa Indonesia sadar bahwa potensi di balik perjuangan parabadminton masuk ke ajang resmi Paralimpiade Tokyo 2020. Menjadi sumber inspirasi untuk memperjuangkan cabor lain yang Indonesia berpotensial ‘berbicara’ di tingkat dunia.

Ketiga, meraih total 9 medali, berarti bendera Sang Merah Putih telah dikibarkan dalam format upacara penghormatan pemenang (UPP) sebanyak 9 kali. UPP itu, dalam panggung standar keolahragaan merupakan ‘ritual’ yang memiliki nilai kesakralan sangat tinggi. Apalagi, sekelas Paralimpiade. Sang Merah Putih pun naik satu tiang penuh dalam kekhidmatan global, disaksikan berpasang-pasang mata yang datang dari seluruh penjuru dunia.

Keempat, persembahan dua medali emas dari pasangan ganda putri bulu tangkis dan juga pasangan ganda campuran, menyempurnakan nilai sebuah kebanggaan dan kekhidmatan spesial. Dalam UPP itu, artinya sebanyak 2 kali sang Merah Putih kita berkibar menuju satu tiang penuh diiringi lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Sebuah penghormatan khidmat setara dengan standar level-1 dalam tata pergaulan diplomatik.

Kelima, peraih medali emas Olimpiade ataupun Paralimpiade akan menjadi figur yang sosok, dan statment-nya menjadi magnet perhatian dunia. Prestasi luar biasa, menjadi energi pemantik tentang pesan-pesan moral dan sosial yang sangat menggaung. Peme­gang medali emas pasangan srikandi parabadminton kita, yakni Leani Ratri Oktalia dan Khalimatus Sadiyah, juga pasangan ganda campuran Hary Susanto dan Leani Ratri Oktalia, melakukan selebrasi dalam suka cita diiringi dengan isak tangis haru.

Pesan mereka berdua tentang gerakan nondiskri­minasi, dan kesetaraan gender menjadi sesuatu yang sangat ‘bertuah’ dan sangat berpengaruh. Mereka membuktikan bahwa disabilitas pun bisa berprestasi puncak dalam turut mengharumkan nama bangsa dan negara. Perempuan pun jika diberi kesempatan dapat berjaya di puncak prestasi dunia olahraga.

Keenam, pembuktian prestasi olahraga puncak oleh duta olahraga di Paralimpiade menjadi kekuatan ‘navi­gasi’ eksistensi bangsa Indonesia. Kegemilangan pres­tasi mengundang decak kekaguman secara personal, sekaligus menjadi kekuatan ‘navigasi’ secara geografis tentang negara asalnya. ‘Fungsi navigasi’ atlet berpres­tasi di Paralimpiade, memiliki nilai yang tidak sebatas secara geografis, tetapi merepresentasikan tentang ke­kuatan keberpihakan bangsa pada disabilitas.

Refleksi kemenangan

Membuka kado indah tidak harus diwujudkan dengan eforia berkepanjangan, tetapi tetap menjadi titik refleksi untuk terus memperbaiki diri dan tumbuh dalam prestasi. Sikap sportif itu artinya melakukan selebrasi keme­nangan secukupnya dan seperlunya.

Di balik keunggulan dan performa ‘lebih cepat (citius), lebih tinggi (altius), dan lebih kuat (fortius)’ terdapat Olympic values yang seharusnya lebih kuat menjadi pegangan dalam proses pembangunan performa atlet disabilitas kita masa depan, yakni rasa hormat (respect), berkeunggulan (excellent), dan persahabatan (friendship).

Kiprah atlet disabilitas telah menorehkan kesadaran kolektif kepada kita semua tentang arti kontribusi. Siapa pun akan berpeluang menjadi sosok yang memba­nggakan tatkala diberi kesempatan yang sesuai, tidak ada kaitannya dengan disabilitas atau nondisabilitas. Menumbuhkan rasa hormat, berkeunggulan, dan persahabatan adalah formula vital untuk member­hasilkan bentuk kehidupan inklusi elegan secara luas. Tugas kita bersama adalah bagaimana membangun mindset yang lurus terhadap eksistensi disabilitas kita.

Para pemegang medali Paralimpiade itu ialah mereka yang bukan hanya orang-orang yang selama ini harus berlatih keras mencapai performa terbaiknya. Mereka juga harus kuat melawan aneka ‘beban berat’ yang da­tang secara sosial dari lingkungannya. Adaptasi yang leng­kap memadukan aneka tantangan yang bersifat fi­sik, mental, sosial. Mereka harus mengalahkan perasaan inferior yang mungkin datang pada dirinya, sebelum berhasil ‘menaklukkan’ keperkasaan rival di arena.

Kini buah manis perjuangan mereka menjadi kado isti­mewa yang membanggakan kita semua sebagai sebuah bangsa. Mereka memberikan kado terbaik level tertinggi tentang arti kegigihan dan nondiskriminatif di tengah suasana pandemi masih berada di PPKM level 3-4. (Jamal iwoho Rektor UNS Surakarta, Ketua MRPTNI Agus Kristiyanto Wadek Akademik dan Riset Sekolah ascasarjana, UNS Surakarta, Tim Ahli SDI Pusat )