PEMILIHAN umum di Indonesia kerap kali menjadi ajang bagi daerah-daerah untuk memperjuangkan kepentingan mereka dan memperoleh perhatian lebih dari pemerintah pusat. Bagi provinsi-provinsi yang merasa kurang terwakili secara politik di tingkat nasional, momen ini menjadi sangat krusial.

Salah satu provinsi yang kerap merasa terpinggirkan dalam pemerintahan pusat adalah Maluku. Padahal, Maluku kaya akan sumber daya alam dan memiliki sejarah panjang sebagai bagian penting dari bangsa ini. Sayangnya, meski dengan kontribusi yang tidak kecil, Maluku jarang mendapatkan tempat strategis dalam pemerintahan, terutama dalam kabinet.

Pada pemerintahan yang akan datang di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto, kekhawatiran ini kembali mencuat. Dalam beberapa kabinet sebelumnya, Maluku sering kali terabaikan dalam pembagian kursi menteri, sementara Papua, yang juga berada di wilayah Indonesia Timur, berhasil mendapatkan posisi penting. Ketiadaan panggilan wakil Maluku ke Kertanegara menimbulkan pertanyaan: Mengapa Maluku, dengan segala potensi dan kekayaan yang dimilikinya, masih kesulitan memperoleh posisi tawar yang kuat di pemerintahan pusat? Apa yang membuat Maluku kembali terpinggirkan, bahkan ketika Papua sudah mendapatkan wakil dalam kabinet?

Jika menelusuri sejarah representasi Maluku di kabinet pemerintahan Indonesia, jelas terlihat bahwa provinsi ini jarang sekali mendapatkan kursi menteri yang signifikan. Dari era Presiden Soekarno hingga Joko Widodo, hanya segelintir tokoh asal Maluku yang berhasil menduduki jabatan menteri.

Baca Juga: Hindari Isu SARA Saat Kampanye

Salah satu tokoh yang pernah mendapatkan posisi penting adalah Said Assagaff, yang menjabat sebagai Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri. Namun, setelah itu, Maluku kembali terpinggirkan dalam perwakilan kabinet. Sebaliknya, Papua berhasil menempatkan sejumlah tokohnya dalam jajaran kabinet beberapa pemerintahan terakhir. Pada masa pemerintahan Joko Widodo, misalnya, John Wempi Wetipo asal Papua menjabat sebagai Wakil Menteri Dalam Negeri.

Sebelumnya, tokoh Papua lainnya, Yohana Yembise, pernah menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Representasi Papua di pemerintahan pusat mencerminkan adanya perhatian yang lebih besar dari pemerintah untuk wilayah tersebut, sementara hal serupa tidak terjadi pada Maluku. Lemahnya posisi tawar Maluku di pemerintahan pusat tidak terjadi tanpa alasan. Beberapa faktor utama menyebabkan provinsi ini kesulitan untuk menempatkan wakilnya dalam kabinet, bahkan ketika Papua mendapatkan perhatian lebih.

Salah satu alasan utama di balik lemahnya posisi tawar Maluku adalah minimnya tokoh politik asal Maluku yang mampu menonjol di tingkat nasional.

Dalam dunia politik Indonesia, tokoh-tokoh yang memiliki kekuatan dalam partai politik atau jejaring politik di pusat sangat menentukan peluang daerahnya untuk mendapatkan posisi strategis.

Papua telah berhasil melahirkan sejumlah tokoh politik yang berpengaruh di tingkat nasional, sementara Maluku masih tertinggal dalam hal ini. Tokoh politik Maluku yang ada saat ini kurang aktif dalam negosiasi politik untuk menempatkan wakil-wakilnya di kabinet, menyebabkan posisi politik Maluku semakin melemah.

Selain kurangnya tokoh politik yang berpengaruh, lobi politik dari Maluku juga cenderung lemah. Di Indonesia, lobi politik memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan siapa yang mendapat posisi menteri. Daerah-daerah dengan lobi yang kuat, baik di partai politik maupun di lingkungan pemerintahan, biasanya lebih berhasil dalam mendapatkan kursi menteri.

Papua, misalnya, memiliki jaringan lobi politik yang lebih kuat, sehingga mampu memperjuangkan posisi strategis di kabinet. Maluku, di sisi lain, belum memanfaatkan lobi politik ini dengan optimal.

Persepsi pemerintah pusat terhadap Maluku juga menjadi salah satu faktor yang memperlemah posisi tawar provinsi ini. Papua sering kali dilihat sebagai wilayah yang memerlukan perhatian lebih karena tantangan separatisme dan ketidakstabilan politik. Pemerintah pusat, dalam upaya menjaga keutuhan wilayah negara, cenderung memberikan perhatian lebih pada Papua.

Di sisi lain, Maluku dipandang sebagai wilayah yang stabil dan tidak menimbulkan ancaman besar bagi stabilitas negara. Persepsi ini membuat pemerintah pusat merasa tidak perlu memberikan perhatian khusus kepada Maluku, bahkan ketika provinsi ini memiliki potensi ekonomi yang besar dan tantangan pembangunan yang tak kalah serius.

Lemahnya posisi tawar Maluku di kabinet Prabowo mencerminkan perlunya perubahan strategi politik dan ekonomi agar provinsi ini dapat lebih diperhitungkan di tingkat nasional. Dengan membangun kaderisasi politik, memperkuat lobi, dan mengoptimalkan potensi ekonomi, Maluku dapat memperbaiki posisinya dalam peta politik Indonesia. Harapan untuk masa depan ada, namun dibutuhkan langkah-langkah konkret dari semua elemen masyarakat Maluku untuk mewujudkannya. (*)