Konstitusionalitas Kelembagaan Penyelenggara Jaminan Sosial
PERDEBATAN mengenai desain lembaga penyelenggara jaminan sosial telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan nomor 72/PUU-XVII/2019 dan 6/PUU-XVIII/2020. Kedua putusan tersebut mencabut Pasal 57 huruf e dan huruf f serta Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Putusan itu berimplikasi pada desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial. MK menegaskan beberapa prinsip desain kelembagaan yang konstitusional.Pertama, lembaga penyelenggaran jaminan sosial harus dibentuk dengan undang-undang (UU). Bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), konsep dan prinsip jaminan sosial diwujudkan ke dalam bentuk lembaga/badan penyelenggaraan jaminan sosial yang dibentuk dengan UU.
Ketentuan Pasal 5 UU SJSN tersebut juga pernah diuji oleh MK. Dalam putusan No 007/PUU-III/2005 ditegaskan bahwa pembentukan BPJS haruslah dengan UU. Tindak lanjut putusan MK tersebut, lahirlah UU BPJS yang memberikan landasan hukum bagi operasionalisasi program jaminan sosial Kesehatan dan ketenagakerjaan. Kedua, desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial yang majemuk. Bahwa konstruksi pilihan kebijakan pembentuk UU terkait desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial tetap menggunakan format lembaga majemuk, bukan lembaga tunggal. Desain kelembagaan dapat disesuaikan dengan ragam pekerjaan/profesi. Ketiga, lembaga penyelenggara jaminan sosial tidak boleh dalam bentuk persero. Dalam putusan MK dinyatakan bahwa transformasi lembaga yang bergerak di bidang penyelenggaraan sosial harus dilakukan dengan perubahan terhadap bentuk hukum badan hukum serta melakukan penyesuaian terhadap kedudukan badan hukum tersebut.
Lembaga/badan yang semula berbentuk persero harus menjadi badan hukum penyelenggara jaminan sosial, yang dibentuk dengan UU sebagaimana amanat Pasal 5 ayat (1) UU SJSN. Implikasi yuridisPutusan MK tersebut menimbulkan beberapa implikasi hukum yang harus menjadi perhatian pemerintah sebagai pembentuk kebijakan. Pertama, perlu penyesuaian landasan hukum operasional PT Taspen dan PT ASABRI. Putusan MK pada dasarnya membatalkan ketentuan peralihan dalam UU BPJS. Sebagai sebuah ketentuan peralihan, pada pokoknya pasal tersebut menjembatani antara keadaan hukum baru dan keadaan hukum lama. Fungsi ketentuan peralihan menurut UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan regulasi, dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.Pasal 57 huruf e dan huruf f merupakan ketentuan peralihan yang tujuannya untuk menghindari kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum atas kegiatan operasional PT Taspen dan PT ASABRI dalam menyelenggarakan program tabungan hari tua dan pensiun, sebelum dialihkan pada sebuah badan penyelenggara jaminan sosial yang dibentuk oleh UU. Sebagaimana frasa yang digunakan dalam ketentuan tersebut ‘…tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai dengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan’.
Dengan dibatalkannya Pasal 57 huruf e dan huruf f, maka muncul masalah hukum terkait legalitas operasional program jaminan sosial yang dijalankan oleh PT Taspen dan ASABRI. Mengapa demikian? Sebab, menurut putusan MK, lembaga yang boleh menjalankan program jaminan sosial adalah lembaga penyelenggara yang dibentuk dengan UU. Adapun PT Taspen dan ASABRI dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah, bukan UU.
Satu-satunya UU yang menaungi lembaga penyelenggara jaminan sosial ialah UU BPJS. UU ini merupakan UU yang mengatur tentang implementing agency bagi program jaminan sosial.Kedua, perlu segera dilakukan penyesuaian terkait bentuk badan hukum penyelenggara jaminan sosial. Sejatinya ketentuan peralihan Pasal 57 huruf e dan huruf f masih membolehkan badan hukum persero untuk tetap menjalankan program jamsos. Oleh karena pasal itu dibatalkan, maka konsekuensinya badan hukum persero harus berubah menjadi badan hukum publik supaya dapat menjadi penyelenggara program jamsos. Tegas dinyatakan dalam putusan MK (halaman 262-263) bahwa transformasi kelembagaan dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap bentuk hukum badan hukum, yang semula sebagai persero menjadi badan hukum publik yang dibentuk dengan UU.
Baca Juga: Makna BerbangsaStatus BPJS sebagai badan hukum publik tidak bisa dilepaskan dari perintah konstitusi yang harus dijalankan oleh pemerintah sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 28H ayat (3). Fungsi dan tugas BPJS sebagai badan publik adalah untuk merealisasikan hak setiap orang atas jaminan sosial dan dalam rangka menjalankan tugas negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Ada perbedaan prinsip antara badan hukum publik yang utamakan prinsip nirlaba dan gotong royong dengan persero (privat) yang berprinsip profit.
Opsi bagi pembentuk kebijakanUntuk menindaklanjuti putusan MK, ada beberapa opsi kebijakan yang dapat ditempuh oleh pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU. Melihat letak permasalahan mengenai pilihan kelembagaan penyelenggara jamsos yang dinilai oleh MK tidak selaras antara UU SJSN dan UU BPJS, maka apabila negara berpandangan bahwa kebijakan politik hukum dalam UU BPJS-lah yang lebih tepat, yaitu tidak terlalu banyak lembaga BPJS yang menyelenggarakan berbagai bentuk program jamsos tapi tetap dapat menjangkau masyarakat secara lebih luas serta memberi manfaat yang lebih besar bagi setiap pesertanya, maka pembentuk UU dapat memilih opsi melakukan perubahan UU SJSN untuk dapat selaras dengan politik hukum dalam UU BPJS, terutama mengenai pilihan kelembagaan.
Desain kelembagaan BPJS nantinya dapat menganut 3 model, yaitu 1) BPJS Kesehatan, 2) BPJS Ketenagakerjaan, 3) BPJS khusus militer. Apabila pembentuk UU memilih opsi politik hukum model kelembagaan yang terkonsolidasi, harus dipastikan bahwa prinsip nirlaba dan gotong royong terlaksana dengan baik. Bahwa nilai manfaat bagi peserta tidak boleh berkurang, justru harusnya lebih meningkat. Model kelembagaan yang terkonsolidasi lebih dapat menjamin keberlangsungan program jaminan sosial ke depan dan lebih efisien sesuai dengan pendekatan cost and benefit analysis.Bagi BPJS Ketenagakerjaan, mengingat eksistensi ruang lingkup program dan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan tidak terpengaruh oleh putusan MK, maka BPJS Ketenagakerjaan tetap berkewajiban untuk melaksanakan fungsinya dalam menyelenggarakan program jaminan ketenagakerjaan termasuk bagi non-ASN. Ditambah lagi telah ada rekomendasi dari KPK agar dilakukan penyelarasan kebijakan penyelenggaraan jaminan sosial supaya sejalan dengan UU SJSN dan UU BPJS, di antaranya mengenai peralihan kepesertaan non-ASN agar dapat menjadi peserta dalam program jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan.
Rekomendasi KPK ini tentu harus dijalankan oleh para pengambil kebijakan. Kewenangan KPK memberikan rekomendasi kebijakan merupakan bagian dari pelaksanaan tugas monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 dan 9 UU KPK. Saran-saran dari KPK tersebut perlu segara dilaksanakan untuk menghindari terjadinya kebijakan yang koruptif.( Oce Madril, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada)
Tinggalkan Balasan