Kapitalisme Vaksin
BEBERAPA waktu lalu di depan parlemen Inggris, PM Borris Johnson berucap, ‘the reason we have the vaccine success is because of capitalism, because of greed, my friends’ (“…kita sukses mendapatkan vaksin karena kapitalisme, karena kerakusan, ya teman-teman…”). Mengumbar pernyataan vulgar seperti ini tentu saja bikin publik kesal.
Johnson memang berusaha menarik kembali komentar tersebut, mungkin karena alasan pencitraan politik seperti yang dibedah Jurnalis Guardian Owen Jones 24 Maret yang lalu. Namun, pernyataan apa adanya itu menunjukkan insting Johnson sesungguhnya, dan orang-orang yang mempunyai jalan pemikiran serupa. Bahwa alih-alih meletakkan vaksin sebagai upaya kolektif, kehadirannya, justru, merupakan glorifikasi terhadap kapitalisme, sekaligus suatu alasan pembenar untuk memperjuangkan keserakahan. Bahwa ‘rakus’ merupakan sandaran utama bekerjanya model ekonomi mainstream. Bahkan, di masa-masa suram seperti saat ini. Tidak terkecuali industri vaksin. Bisnis lukratif Pengembangan vaksin covid-19, memang menjadi perburuan banyak industri farmasi dan medis. Sayangnya, tidak semua perlombaan itu bergerak dalam misi menyelamatkan dunia. Kata ‘perlombaan’ selalu bersenyawa dengan ‘kompetisi’.
Dalam sejarah imperialisme, kompetisi bukan hanya soal kepedulian pada God yang mewariskan etika, moralitas, keadilan dan kebajikan lainnya. Tetapi, juga gold and glory. Jangan pernah lupakan dua dimensi ini, apalagi di saat-saat terpuruk saat ini. Seperti dilaporkan Guardian, Serco salah satu perusahaan outsourcing dari Kementerian Kesehatan Inggris yang terlibat program uji coba, dan penelusuran covid-19 melaporkan, lonjakan keuntungan 18 % antara 160-165 juta poundsterling beberapa waktu lalu. Perusahaan-perusahaan ini, mendapatkan kontrak pembiayaan dari pemerintah, untuk mengembangkan uji coba vaksin. BCG (Boston Consulting Group), misalnya, mendapatkan kontrak 18,3 juta poundsterling dari Pemerintah Inggris. Termasuk, dalam paket kontrak itu adalah biaya konsultan, dukungan strategis, tes dan pelacakan. Namun, seperti ditelusuri Guardian dan Sky News, perusahaan-perusahaan itu, kemudian membebankan biaya tes dan program pelacakan sekali lagi ke pemerintah, dan mendapatkan 6,250 Poundstering per harinya. Konsultan senior, bahkan mendapatkan bayaran 7,360 Poundsterling tiap hari. Menggiurkan.
Meraup untung ganda di tengah penderitaan orang, bukanlah hal baru. Dalam banyak kasus, kemalangan bukan hanya bencana tetapi juga komersialisasi. Misalnya, ketika bencana banjir, harga bahan pokok seperti air minum kemasan, beras, dan seterusnya ikut melonjak dari ribuan jadi puluhan ribu. Tidak ada stok di tengah permintaan tinggi, kompetisi antara pembeli pasti terjadi. Mereka yang bayar lebih tinggilah yang dapat bertahan.
Dalam situasi covid-19 pun demikian. Tidak selalu bermoduskan niat tulus seperti pepatah ‘tidak ada makan siang gratis’. Tak heran, ‘tauke’ media seperti Rupert Mudroch mengerahkan daya upaya untuk berinvestasi di industri ini. Jelas, orang seperti dia dapat membaca peluang dari tren krisis global. Ke depan, pandemi semacam ini hanya menunggu waktu untuk berulang. Dari publik ke privatisasi Kemitraan, antara pemerintah dan perusahaan farmasi dalam kerangka menangkal ancaman biologis, sebetulnya telah terjalin erat dalam beberapa dekade belakangan ini. Namun, seperti halnya dalam kasus Inggris, kemitraan itu mengalami metamorfosa nilai, dari kebajikan publik menjadi agen dagang.
Baca Juga: Pil Pahit Pengelolaan dan Perlindungan Hiu dan Pari di IndonesiaDalam bukunya Pandemic, Pills and Politics, Stefan Elbe menulis, bahwa, program-program kesehatan yang berkaitan dengan ancaman biologis yang awalnya merupakan kebijakan publik lambat laun menjadi mekanisme pasar. Pemerintah Amerika Serikat, memandang ancaman biologis baik karena pemicu alam (zoononis), intensional (teroris), dan aksidental (kegagalan laboratorium), perlu mendapatkan tanggapan sistemik kebijakan kesehatan. Karena itu, terbentuklah istilah medical countermeasures (MC) yang pada dasarnya, merupakan konsep keamanan negara. Amerika mendayagunakan konsep ini, dalam rangka mengembangkan, membutuhkan, menampung, dan secara cepat mendistribusikan pertahanan farmasi menghadapi berbagai bentuk ancamana kesehatan. Kebijakan MC, kemudian diterima oleh hampir semua negara maju, yang berimplikasi pada penyatuan dua segmen kekuatan, yang paling digdaya pada abad ini yakni keamanan (security), yang merupakan monopoli negara, dan farmasi yang dikuasai swasta. Pemerintah di negara-negara maju sadar, bahwa ancaman MC memerlukan peran swasta yang lebih lihai dalam industri farmasi. Karena itu, swasta diandalkan dalam investasi pada cara-cara baru penanganan ancaman biologis.
Tentu saja ada kompromi. Misalnya, sejak Pemerintahan Clinton 2006, pemerintah harus membuka jalan untuk pasar yang merupakan jantungnya operasi swasta. Sebab, tidak mungkin perusahaan-perusahaan farmasi menciptakan pasar sendiri. Mulanya, pemerintah sendiri yang membeli dan menyerap obat-obatan tersebut, kemudian ekspansif lintas batas negara. Atas fasilitasi dan stempel pemerintah, obat-obatan baru diperkenalkan, seringkali diuji coba di negara-negara miskin.
Inisiatif ini, acapkali menjadi bagian dalam paket negosiasi dagang dengan negara lain. Celakanya, pemerintah tidak hanya regulator tetapi, juga pemain utama dalam bisnis farmasi. Sehingga, istilah yang muncul belakangan bukan lagi semata-mata medical countermeasures, tetapi, medical countermeasures enterprise. Pusatnya, menginduk pada lembaga kesehatan pemerintah di Amerika maupun negara-negara maju lainnya. Kembali ke upaya bersama Sejumlah negara seperti kita, memang telah mengambil alih biaya vaksin. Pertanyaannya adalah, berhadapan dengan gempuran krisis kesehatan yang makin sering terjadi, seberapa kuat anggaran negara menampung beban semacam ini. Siapa yang menanggung biaya dari masalah serupa di kemudian hari? Selain itu, bayaran fantastis seperti yang ditemukan dua media terkemuka di atas juga amat tidak fair, baik untuk publik pembayar pajak yang mengongkosi mereka, maupun, prinsip-prinsip etika bisnis. Perilaku seperti ini, amat lancang menggerayangi uang publik untuk industri swasta. Sekaligus, menunjukkan melepuhnya insting kemanusiaan.
Solusinya, menurut Andrew Norton, Direktur International Institute for Environment and Development, pandemi harus dijembatani oleh keadilan vaksin yang satu paket dengan keadilan iklim (climate justice). Jelas, bahwa seluruh lingkaran kehidupan di bawah kolong langit Planet Bumi telah terkena dampak krisis iklim. Saya sepakat dengan gagasan ini.
Virus dan pandemi, hanya merupakan salah satu saja, di samping puluhan bahkan ratusan dampak lainnya yang mengguncang rumah kita bersama ini. Sehingga, pandemi pada hakikatnya satu kamar dengan krisis iklim. Cara menghadapinya pun sama, yakni upaya global umat manusia. Bukan upaya bisnis, apalagi komersial.
Vaksin adalah upaya bersama. Ini harus menjadi kesepakatan global maupun nasional. Kalau pelaku pasar dilepas begitu saja, siapa yang mau berutang pada moral dan etika, ketika gundukan keuntungan demikian nyata dan menyilaukan mata.( Bernadinus Steni, Kandidat Doktor Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan IPB)
Tinggalkan Balasan