Jarang Membaca: Malas atau Minim Akses?
Sudah sangat sering kita melihat atau mendengar informasi tentang minat baca masyarakat Indonesia yang rendah. Silakan, lakukan pencarian dengan kata kunci minat baca di Indonesia di peramban masing-masing, informasi teratas yang akan kita dapatkan pasti banyak yang memuat riset UNESCO pada tahun 2016 yang menyatakan bahwa minat baca di negeri kita cuma ada di kisaran 0,001% dari penduduk Indonesia.
Hasil PISA (Program for International Student Assessment) 2022 yang diumumkan pada 5 Desember tahun lalu pun menyatakan hal serupa. Siswa Indonesia berada di posisi ke-66 dari 81 negara dalam hal kemampuan matematika, membaca, dan sains. Secara peringkat, posisi Indonesia mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan hasil PISA 2018. Namun, jika melihat skor, Indonesia mengalami penurunan dari ketiga indikator di atas.
Kegemaran membaca di Maluku sendiri masih bernasib sama. Jika tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia kalah jauh dari negara-negara lain di tingkat internasional, tingkat kegemaran masyarakat Maluku juga bernada serupa di tingkat nasional. Berdasarkan laporan kajian kegemaran membaca masyarakat Indonesia dari Perpustakaan Nasional RI pada tahun 2023, Maluku berada di posisi ke-32 dari 36 provinsi yang dikaji.
Dalam kajian tingkat kegemaran membaca (TGM) yang dilakukan Perpusnas RI pada tahun 2023, ada 450 responden Maluku yang dijadikan sampel yang berasal dari Kota Ambon, Kota Tual, dan Kabupaten Buru. Kajian ini memiliki lima indikator, yakni frekuensi membaca, durasi membaca, banyaknya buku yang dibaca (dalam triwulan), frekuensi mengakses internet, dan durasi mengakses internet. Hasilnya, Kota Ambon menempati posisi ke-53, Kota Tual di posisi ke-83, dan Kabupaten Buru di posisi 104 dari 104 kota dan kabupaten yang menjadi sampel di seluruh Indonesia.
Lantas, apa yang menjadi penyebab tingkat kegemaran membaca masyarakat di Provinsi Maluku tergolong rendah? Apakah orang di Maluku memang malas? Apakah orang di Maluku menganggap aktivitas membaca sebagai aktivitas yang tidak penting atau ada hal lain yang menjadi penyebabnya?
Baca Juga: Memampukan Desa Bertransformasi untuk Indonesia Maju 2045Dalam sebuah video di kanal Youtube Tirto.id dengan judul The Chapter: Semangat Patjarmerah Kecil Buka Akses Literasi Anak, pegiat literasi sekaligus penulis buku, Reda Gaudiamo dan Windy Ariestanty menyatakan bahwa permasalahan yang kita hadapi bukan tidak adanya minat membaca, melainkan akses untuk menemukan bahan bacaan. Pernyataan kedua orang tersebut sangat benar. Sangat tidak bijak jika kita begitu saja menyimpulkan masyarakat suatu daerah malas atau tidak mempunyai minat baca tanpa melihat bagaimana kondisi daerah tersebut.
Tidak semua daerah mempunyai akses bacaan yang berlimpah, seperti di Pulau Jawa. Ada banyak daerah yang tidak mempunyai perpustakaan dan toko buku yang memadai. Durasi dan frekuensi membaca buku masyarakat akan tetap “nol besar” jika di lingkungan tersebut tidak ada buku untuk dibaca.
Kondisi Maluku yang sangat minim toko buku menjadi salah satu alasan akses bahan bacaan terbatas. Selain itu, Maluku juga mempunyai keterbatasan akses internet di beberapa daerah. Hal ini yang menghambat sebagian masyarakat Maluku mengakses bahan bacaan digital yang sudah tersedia. Dengan kondisi seperti itu, ketika membahas tentang akses bahan bacaan, perpustakaanlah harapan terakhir masyarakat Maluku.
Berdasarkan data dari Perpusnas RI, penyedia sumber bacaan yang paling sering dikunjungi masyarakat Indonesia adalah perpustakaan kabupaten/kota dengan persentase sebanyak 47,93% dari 11.683 responden dari seluruh Indonesia. Ada juga perpustakaan desa/kelurahan sebanyak 19,16%, sedangkan perpustakaan umum provinsi sebanyak 11,82% dan TBM/rumah pintar hanya 4,07%.
Bagaimana kondisi perpustakaan daerah yang ada di Maluku? Jawabannya bisa ditebak, kondisinya tidak baik-baik saja. Selain mengkaji tingkat kegemaran membaca masyarakat, Perpusnas RI juga mengidentifikasi kondisi perpustakaan daerah yang ada di seluruh Indonesia. Indikator dalam kajian ini adalah standar koleksi perpustakaan, standar sarana prasarana perpustakaan, standar pelayanan perpustakaan, standar tenaga perpustakaan, serta standar penyelenggaraan dan standar pengelolaan perpustakaan.
Perpusnas RI membagi kategori kondisi perpustakaan daerah ke dalam lima kategori, yaitu tidak baik (nilai 0—25), kurang baik (nilai 25,1—50), sedang (nilai 50,1—75), baik (nilai 75,1—90), dan sangat baik (nilai 90,1—100). Perpustakaan Daerah Provinsi Maluku berada di posisi 27 dari 34 perpustakaan dengan kondisi kurang baik.
Untuk perpustakaan kabupaten/kota, yang menjadi sampel dalam kajian yang dilakukan oleh Perpusnas RI adalah perpustakaan Kota Ambon, Kota Tual, dan Kabupaten Buru. Ketiga perpustakaan ini berada pada kondisi tidak baik. Perpustakaan Kabupaten Buru menempati posisi ke-84, Perpustakaan Kota Ambon berada di posisi 85, dan Perpustakaan Kota Tual di posisi 87 dari 97 perpustakaan yang diidentifikasi. Untuk tingkat desa/kelurahan, sampel dari perpustakaan desa/kelurahan yang ada di Kota Tual dan Kabupaten Buru masuk dalam kategori kurang baik, sedangkan perpustakaan desa/kelurahan di Kota Ambon anjlok di kategori tidak baik.
Dari data-data di atas, ada sesuatu yang menggelitik pikiran. Apakah membandingkan durasi dan frekuensi membaca masyarakat di daerah dengan akses bacaan yang berlimpah dan daerah lain yang akses bacaannya sangat minim itu bisa dikatakan kajian tingkat kegemaran membaca? Jika ada dua orang dengan latar belakang pendidikan yang sama, mempunyai kemampuan ekonomi yang sama, mempunyai jumlah waktu luang yang sama, dan mempunyai akses ke bahan bacaan yang sama memiliki durasi dan frekuensi membaca yang berbeda, kita dapat menyimpulkan kalau salah satu dari mereka mempunyai minat baca yang lebih tinggi daripada responden yang lain. Namun, jika seseorang yang memiliki akses bahan bacaan yang kurang, mengenyam pendidikan dengan kualitas sekolah atau kampus yang tidak cukup baik, dan tidak mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup itu kita nilai sebagai seseorang dengan minat baca lebih rendah daripada mereka yang serba berlebih dalam akses, pendidikan, atau kemampuan ekonomi, kita sudah melakukan ketidakadilan dalam berpikir.
Kita dapat menilai minat baca masyarakat jika semua variabel pendukung antara responden atau daerah yang satu dengan responden atau daerah yang lain sudah setara. Jika tidak, kita mungkin hanya memberikan label malas kepada mereka yang sebenarnya tidak memiliki akses akan kebutuhannya. Oleh: Muh. Ilyas, S.S.Staf Teknis Kantor Bahasa Provinsi Maluku.(*)
Tinggalkan Balasan