SALING klaim antar pendukung pasangan calon kepala daerah baik gubernur dan wakil gubernur maupun walikota dan wakil walikota serta bupati dan wakil bupati saat proses kampanye adalah hal yang wajar dan rumrah.

Namun dalam proses-proses kampanye, para pendukung harus menghindari adanya isu SARA. Masyarakat harus diberikan pemahaman melalui sosialisasi pendidikan pemilih bahwa kampanye SARA itu tidak benar dan tidak boleh dilakukan.

Tentu KPU sebagai penyelenggara pemilu punya peran strategis, sosialisasi pendidikan pemilih kepada masyarakat, jika ada calon melakukan kampanye dengan isu SARA maka perlu diberitahu itu tidak baik, tidak perlu diikuti, jangan sampai terbakar karena isu tersebut.

Kampanye merupakan amanat dalam Undang-undang dimana tertulis bahwa setiap ajang Pemilu dan Pemilihan selalu ada tahapan kampanye. Hanya saja pada praktiknya kampanye yang dilakukan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk peserta pemilu biasanya ditemukan isu SARA, hingga dipolitisasi berujung pada kebencian.

Pakar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Kris Nugroho menjabarkan faktor terjadinya kampanye SARA antara lain akibat konteks persaingan atau kompetisi yang sifatnya zero sum atau kandidat yang bertarung bisa dua kandidat lalu menganggap calon lain sebagai lawan sehingga berupaya memanfaatkan isu tersebut. Pemanfaatan isu SARA, salah satunya untuk mengantisipasi kekalahan partai politik.

Baca Juga: Pentingnya Pilkada Serentak Aman

Implikasi SARA dalam kampanye, akan melemahkan institusi demokrasi terutama partai karena partai politik gagal menawarkan alternatif kebijakan program sebagai daya tarik untuk memikat pemilih. Selain itu, akan mengurangi legitimasi penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu karena maraknya kampanye SARA maka pemilih rasional akan dirugikan.

Solusi terhadap politisasi SARA dalam kampanye yakni membentuk kader siap membela program partai, mempertegas regulasi pemilihan dan pilkada dengan memberi sanksi dan denda politisasi SARA dalam kampanye, memperkuat pengawasan pemilihan serta memperkuat literasi politik.

Senada, Pakar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Valina Singka Subekti mengatakan kompetisi menjadi faktor penyebab antar kandidat calon atau antar partai menghalalkan segala cara untuk memenangkan konstentasi dengan memanfaatkan isu SARA yang dinilai efektif untuk mendapatkan simpati.

Solusinya, desain kelembagaan regulasi mengenai sistem pemilu perlu dilihat kembali, serta perlu edukasi elite partai dan masyarakat luas dengan berbagai strategi komunikasi sehingga aktif melaporkan jika ada kampanye SARA. Supaya masyarakat menjadi reaktif ketika muncul isu SARA justru kemudian melaporkan ke pengawas pemilu, ada edukasi terkait pengawas pemilu, cara melaporkan ke pengawas pemilu, dibuat lebih sederhana proses pelaporan, dan juga mengenai penegakan hukum lebih efektif perlu dievaluasi.

Demokrasi di era digital ini bukan lagi berbicara mengenai ek­sekutif, yudikatif, dan legislatif tetapi ada juga pers dan media sosial termasuk dalam pilar demokrasi. Media sosial, menjadi sarana pertukaran aspirasi politik tetapi juga disisi lainnya mengakibatkan banjir informasi berisi hoaks, ujaran kebencian dan fitnah.

Untuk mengantisipasinya, perlu dilakukan monitoring isu, pengendalian hoaks dengan patroli siber, diseminasi informasi dengan mengajak masyarakat menjadi pemilih aktif terutama berkenan datang ke KPU untuk melakukan pencoblosan, hingga memanfaatkan SMS blas, chat bot, dan memanfaatkan platform digital yang ada untuk mengajak berpartisipasi pada pemilu.

Tak hanya antisipasi berbagai informasi hoaks yang juga mengangkat isu SARA perlu dukungan seluruh pihak untuk menjaga jagat maya dan meningkatkan kemampuan semua pihak untuk memilah informasi. (*)