Sampai sejauh mana kepercayaan kepada dukun dan agama mampu menopang masyarakat dalam menghadapi krisis? Atau apakah tindakan nyata saja yang bisa menjadi solusi? Melalui kisah sebuah desa yang dilanda kekeringan, A.A. Navis dalam novel Kemarau mengajak pembaca untuk merenungkan dualitas iman dan tindakan. Ia dengan cerdas menyajikan dilema yang dihadapi masyarakat ketika dihadapkan pada krisis untuk merefleksikan sejauh mana kepercayaan dan tindakan saling melengkapi atau bertentangan dalam mengatasi kesulitan.

Novel Kemarau karya A.A. Navis adalah sebuah novel yang berlatar belakang sebuah desa di Indonesia yang mengalami kekeringan parah. Ceritanya berputar di sekitar kehidupan penduduk desa, terutama Sutan Duano, individu yang bijaksana dan bertekad kuat yang menjadi tokoh utama dalam novel ini. Konflik utama novel ini muncul dari dampak buruk kekeringan berkepanjangan yang mengancam mata pencaharian dan kesejahteraan penduduk desa. Dalam novel ini, A.A. Navis menggambarkan ketergantungan awal para penduduk desa pada solusi supranatural. Hal tersebut kontra dengan pendekatan pragmatis Sutan Duano yang muncul dengan aksinya jika dibandingkan dengan kegiatan rohani. Di sini, A.A. Navis seakan ingin menyoroti ketegangan antara eskapisme religius dan tindakan praktis dalam kehidupan manusia.

Warga desa dalam Kemarau awalnya memilih solusi supranatural dan ritual keagamaan sebagai bentuk eskapisme untuk mengatasi kekeringan yang dahsyat. Seryczyñska dalam artikel yang diterbitkannya pada tahun 2019, yaitu “Creative Escapism and the Camino de Santiago” dalam International Journal of Religious Tourism menyebutkan bahwa eskapisme adalah tindakan menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat imajinatif atau tidak realistis. Ketika dihadapkan pada krisis yang di luar kendali, warga desa mencari hiburan dan harapan dalam kekuatan ilahi. Ketika kemarau hebat melanda desa, mereka awalnya meminta bantuan dukun. Ketika dirasa tidak ada efek, barulah mereka ingat bahwa ada Tuhan. Setelah dilaksanakan ratib tiap malam dan dirasa tidak ada jawaban, mereka biasanya bermain domino di lepau-lepau. Dengan melakukan praktik-praktik ini, mereka sementara waktu melarikan diri dari kenyataan pahit, berharap akan campur tangan ilahi untuk meringankan penderitaan mereka.

Sementara penduduk desa beralih ke solusi supranatural, Sutan Duano mengadopsi pendekatan pragmatis. Dalam bukunya Pragmatism yang terbit pada tahun 2023, Shook menjelaskan bahwa pragmatisme mempertanyakan nilai praktis suatu ide atau kepercayaan; menanyakan dampak nyata yang akan ditimbulkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sutan Duano menolak gagasan campur tangan ilahi dan justru fokus pada solusi praktis. Dengan bekerja keras untuk mengairi sawahnya dengan bolak-balik memikul air dari danau selama kurang lebih 8 jam sehari, ia menunjukkan kekuatan upaya manusia dalam mengatasi kesulitan. Kepercayaannya yang teguh pada kekuatan kerja keras dan tekad menantang ketergantungan pasif penduduk desa pada kekuatan supranatural. Melalui tindakannya, Sutan Duano menunjukkan bahwa dengan bertanggung jawab dan bekerja sama, penduduk desa dapat mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh kekeringan. Walaupun pada akhirnya tidak semua warga desa mengikuti jejaknya, tindakan Sutan Duano menginspirasi beberapa penduduk desa untuk mengambil langkah-langkah praktis untuk mengatasi masalah mereka.

Novel ini menyoroti ketegangan antara pelarian religius penduduk desa dan pendekatan pragmatis Sutan Duano. Ketegangan ini menggarisbawahi kritik novel terhadap ketergantungan pasif pada campur tangan ilahi. Novel ini menunjukkan bahwa keseimbangan antara iman dan tindakan sangat penting untuk mengatasi kesulitan. Meskipun dapat memberikan harapan dan motivasi, iman tidak boleh menggantikan upaya praktis. Ketergantungan berlebihan pada solusi supranatural dapat menghambat kemajuan dan mencegah individu mengambil tanggung jawab atas situasi mereka sendiri. Sebaliknya, pendekatan pragmatis menunjukkan usaha manusia untuk keluar dari situasi yang sedang dihadapi.

Baca Juga: Pro-Kontra Ujian Nasional

Jika dilihat lebih dalam, karya A.A. Navis ini tidak hanya sekadar kisah sebuah desa yang bergulat dengan kekeringan. Ini adalah komentar sosial yang mencerminkan iklim sosial-politik pada masanya. Novel yang diterbitkan pada tahun 1959 ini merupakan periode perubahan sosial dan politik yang signifikan di Indonesia. Ketergantungan awal penduduk desa pada solusi supranatural dapat dilihat sebagai metafora kecenderungan bangsa untuk mencari solusi cepat dan ajaib atas masalah-masalah kompleks. Ini adalah tema umum dalam masyarakat Indonesia, terutama pada era pascakolonial ketika banyak orang kecewa dengan otoritas tradisional dan mencari sumber harapan dan makna alternatif. Kemerdekaan Indonesia kala itu membawa harapan baru, tetapi kenyataan pahit berupa kemiskinan dan ketidakstabilan menguji ketangguhan bangsa. Bayang-bayang kolonialisme yang masih menghantui, seperti mentalitas ketergantungan dan warisan budaya yang kompleks, menjadi tantangan tersendiri dalam membangun bangsa yang merdeka dan sejahtera.

Sutan Duano, di sisi lain, mewakili pendekatan yang lebih pragmatis dan rasional dalam pemecahan masalah. Karakternya dapat diartikan sebagai kritik terhadap pola pikir ketergantungan dan kepasifan yang lazim. Navis, melalui Duano, menganjurkan pendekatan yang lebih proaktif dan mandiri dalam mengatasi tantangan sosial dan ekonomi. Dengan menyoroti ketegangan antara kedua pendekatan ini, Navis mengajak pembaca untuk mempertanyakan keterbatasan kepercayaan tradisional dan pentingnya pemikiran kritis dan tindakan rasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Girinsky yang dituangkan dalam tulisannya dalam jurnal Russia in Global Affairs pada tahun 2023 yang diberi judul “On ‘Conservative Balance’ and ‘Traditional Values’. New Ideological Antagonisms between Western Modernity and Russia”. Girinsky menyatakan bahwa konsep perlindungan nilai-nilai tradisional sering kali digunakan sebagai manuver strategis oleh elite politik untuk menstabilkan masyarakat pada masa-masa turbulensi, tetapi pendekatan ini dapat menghambat kemajuan sosial dan melemahkan pentingnya warisan sejarah dan budaya.

Kemarau adalah sebuah eksplorasi mendalam tentang tarik-menarik antara iman dan tindakan. A.A. Navis secara mahir menggambarkan sebuah komunitas yang bergumul dengan kesulitan, menyoroti keterbatasan dari hanya mengandalkan solusi supranatural. Novel ini menggarisbawahi pentingnya keseimbangan; ketika iman memberikan harapan dan ketahanan, tindakan nyata menawarkan solusi konkret. Pada akhirnya, Kemarau menjadi pengingat abadi bahwa kemajuan sejati terletak pada interaksi harmonis antara keduanya. Oleh: Eka Julianty Saimima, S.S. Staf Teknis Balai Bahasa Provinsi Maluku.(*)