AMBON, Siwalimanews – Bukannya menjadi contoh dan teladan sebagai pendidik, perilaku tak terpuji dilakukan staf pengajar pada FISIP Unpatti Olivia Rumlus. Warga Wainitu Kecamatan Nusa­niwe Kota Ambon ini tega meng­aniaya Andi Wuluanfianti Raha­warin yang merupakan mahasiswi jurusan administrasi di universitas tempat ia mengajar.

Mirisnya, tak hanya meng­aniaya, tapi Rumlus dibantu anak­nya Andre Rumlus dan beberapa keluarga nekad menyekap gadis 20 tahun tersebut di rumah salah satu keluarganya di kawasan Passo Kecamatan Baguala kota Ambon.

Informasi yang berhasil dihim­pun Siwalima dari korban, peng­aniayaan dan penyekapan terja­di pada 24 Juni tengah malam hingga 25 Juni 2021 pagi.

Korban menjelaskan, peristiwa berawal dari anak gadis pelaku berinisial GR (16) mengajak ber­temu dengan korban di kawasan pasar minggu Transit Passo dengan tujuan ada yang ingin dibicarakan.

Mengiyakan pertemuan itu, korban yang adalah sahabat anak pelaku itu pergi menuju lokasi dimaksud. Sayangnya, sampai di sana korban tidak dapat menemui GR. Karena menunggu lama korban akhirnya memilih kembali ke kosan temannya di kawasan Passo.

Baca Juga: Jaksa Didesak Usut  Dugaan Korupsi ADD-DD Batumiau

Dalam perjalanan balik ke kosan itulah, korban berpapasan dengan pelaku dan anaknya Andre. Kedua otak dibalik penyekapan dan peng­aniayaan ini kemudian member­hentikan korban dan menanyakan  keberadaan GR.

Anak pelaku yakni Andre yang saat itu diduga tengah dikuasai mi­numan beralkohol menuduh korban  membawa lari adiknya GR. Andre juga sempat melakukan pemukulan terhadap korban.

“Saat diberhentikan kakak GR menuduh beta (saya) yang mem­bawa lari  GR, disitu beta dapa pukul (dipukul), beta sempat bilang kalau mau tau GR di mana mari beta antar, setelah itu dong (mereka) ikut beta ka pasar Minggu,” jelas korban kepada wartawan dengan dialeg Ambon yang kental Minggu (27/6).

Tiba di pasar minggu GR sudah berada di lokasi tersebut, melihat korban datang bersama kakak dan ibunya, GR sempat bersembunyi sambil menangis. Pelaku dan anak laki-lakinya kemudian mengintimi­dasi serta memukul korban. Mereka terus menuduh korban sebagai biang GR jarang pulang ke rumah.

“Dong (mereka) tuduh beta (saya) yang bawah kabur GR, padahal dia yang hubungi buat ketemu, setelah dong pukul beta, dong bawa beta dan GR ke salah satu rumah di Passo untuk diintero­gasi,” ungkapnya.

Dikatakan, selama interogasi pe­laku dan anaknya Andre dibantu beberapa keluarga lain melakukan penganiayaan terhadap korban. Bahkan intimidasi dan penyiksaan terhadap korban berlangsung seki­tar pukul 01.00 WIT hingga pukul 09.00 WIT.

“Dong bawa beta itu sekitar jam 1 malam, setiap dong tanya (intero­gasi) dong pukul ada yang jambak rambut ada yang tampar. Beta sempat melawan, tapi dong banya, sampe jam 9 pagi baru dong kasi pulang beta,”jelasnya.

Akibat dari perlakuan tersebut, korban harus pulang dengan sejum­lah memar dan luka di wajah dan lengan. Keluarga korban yang menge­tahui tidak terima dengan apa yang dialami korban.

Usai korban pulang ke rumah, ibu korban Hapsa Rahawarin mengambil inisiatif untuk melaporkan kasus tersebut di Polsek Baguala. Namun bukannya mendapat perlindungan hukum laporan ibu korban tidak ditanggapi serius. Polisi justru mengarahkan korban dan ibunya menyelesaikan persoalan tersebut secara kekeluargaan.

“Setelah kejadian beta anak masih trauma, setelah dia kondisi mulai stabil malamnya katong (kita) lapor ke Polsek Baguala. Polisi tidak arahkan katong untuk visum, tapi arahkan untuk selesaikan secara kekeluargaan. Kalaupun mau secara kekeluarga polisi juga seng mampu hadirkan para pelaku, intinya beta seng mau dan mau prosesnya jalan,” tukasnya.

Hapsa mengatakan pihaknya akan kembali menempuh jalur hukum lain dengan melapor Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease.

“Beta mau kepastian hukum, hari Senin besok (hari ini Red) beta akan lapor ke Polresta Ambon,” tegasnya.

Sementara Kapolsek Baguala AKP Morlan Hutuhean yang dikon­firmasi terkait kasus tersebut, meng­aku sudah mengecek ke SPK, namun tidak ada laporan dimaksud.  Dirinya mengatakan sudah memberikan arahan kepada anggota untuk me­res­pon seluruh laporan masyarakat. “Saya sudah cek SPK 1 dan 2 tidak ada laporan tersebut, saya semen­tara cek SPK 3.  Sesuai arahan saya seluruh laporan masyarakat harus direspon piket, dan sampai saat ini belum ada komplain masyarakat ke saya,” ujar Kapolsek.

Ditanya soal arahan untuk penye­lesaian secara kekeluargaan, Kapol­sek mengaku mediasi seluruhnya tergantung korban, namun tidak menjadi tugas pokok polisi sebagai juru mediasi.

“Tidak pernah polisi pak jadi juru mediasi, semua dari korban. Kalau korban mintanya demikian polisi tidak bisa mengharuskan supaya buat laporannya,”jelas Kapolsek berdalih. (S-45)