AMBON, Siwalimanwews – Komisi I DPRD Maluku meminta Kejaksaan Tinggi Maluku untuk tidak bersikap lembek tetapi tegas dalam me­meriksa bos PT Bumi Perkasa Timur (BPT) Franky Gaspary Thiopelus alias Kipe, dan siapapun yang be­rupa menghalangi kejaksaan.

Hal ini diungkapkan, Sek­re­taris Komisi I DPRD Pro­vinsi Maluku, Michael Tasa­ney saat diwawancarai Siwa­lima melalui telepon selu­lernya, Jumat (9/8).

“Kalau memang saat di­panggil tidak hadir dengan sakit selama beberapa kali, maka harus ada langkah tegas dari Kejati Maluku,” ujar Tasaney

Dikatakan, Kejati harus bersikap tegas terhadap pi­hak-pihak termasuk bos PT Bumi Perkasa Timur guna mempercepat proses pengu­sutan kasus dugaan korupsi pengelolaan ruko Mardika.

Menurutnya, kasus dugaan ko­rupsi pengelolaan ruko Mardika telah menjadi atensi bukan saja lokal tetapi nasional, khususnya lembaga antirasuah KPK maka proses hukum harus berjalan cepat.

Baca Juga: Terbukti Korupsi, Dua PPK Poltek Divonis Ringan

Kata dia, jika ada pihak-pihak yang sengaja menghalangi proses penyeli­dikan dengan alasan sakit dan sebagainya, maka mesti ada tindakan tegas dari Kejati Maluku sendiri.

“Kejati harus memastikan yang bersangkutan benar-benar sakit kalau tidak maka harus ada tindakan tegas. Kasus ini harus dituntaskan,” tegas Tasaney.

Tasaney menambahkan, Kejati harus bergerak cepat melakukan pe­meriksaan semua pihak yang diduga terlibat dengan persoalan penge­lolaan ruko Mardika, yang diduga merugikan daerah sehingga dapat dicari pertanggungjawaban hukum­nya. “DPRD tentu berharap tidak ada pihak yang menghalangi proses hu­kum kasus ini agar Kejati dapat be­kerja profesional dan cepat untuk menyelesaikan kasus ini,” pungkasnya.

Tunggu Koordinasi

Seperti diberitakan sebelumnya, Muhammad Franky Gaspary Thio­pelus alias Kipe, kuasa usaha PT Bumi Perkasa Timur sebagai penge­lola pasar Mardika, tidak memenuhi panggilan tim penyelidik Kejaksaan Tinggi Maluku.

Kipe harus menjalani pemeriksaan pada Senin (5/8) namun tidak hadir dengan alasan sakit.

Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Ardy yang dikonfirmasi Siwalima, Rabu (7/8) mengakui, Kipe sakit sehingga tidak hadir untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi pengelolaan pasar Mardika

Menurut Ardy pihaknya tak ha­nya fokus kepada Kipe karena ada pi­hak-pihak lainnya yang akan di­pa­­nggil untuk memberikan keterangan.

“Kalau misalnya kedepan yang bersangkutan masih sakit, maka kita akan fokus untuk memeriksa saksi lainnya, sebab dalam kasus ruko Mardika itu ada pihak lainya juga yang belum diminta keterangan.

Sementara itu untuk melakukan pemanggilan ulang, lanjut Ardy, pi­haknya masih menunggu koor­dinasi. “Soal pemanggilan kembali ter­hadap yang bersangkutan, kita ma­sih menunggu koordinasi,” ungkap Ardy.

Selain itu kata Ardy, ketidakha­diran Kipe karena sakit juga bukan tanpa alasan, namun Kipe menyam­paikan secara resmi kepada penye­lidik, dengan melampirkan bukti keterangan dokter. “Yang bersang­kutan tidak hadir karena sakit. Dia juga memasukan bukti keterangan dokter sehingga kita tak bisa memaksakan untuk melaku­kan permintaan ketera­ngan,” tuturnya.

Selanjutnya, tambah Ardy, pema­nggilan akan dilakukan kembali jika Kipe telah sehat untuk kembali menjalani pemeriksaan.

“Pemanggilan kembali jika yang bersangkutan telah sehat, sebab bukan hanya yang bersangkutan tetapi pihak lain yang turut terlibat, kita akan jadwalkan pemeriksaan terhadap mereka,” ujar Ardy.

Untuk diketahui, Kipe sebelum­nya diperiksa penyidik Kejati Maluku pada, Jumat (14/6) lalu. Dia diperiksa selama dua jam dan dihujani puluhan pertanyaan.

Kasus ini berawal dari Pansus DPRD Maluku menemukan 12 pemegang Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang menempati pertokoan Pasar Mardika telah melakukan pembayaran kepada PT BPT sebesar Rp18.840.595.750.

Namun dari total nilai tersebut, BPT yang dikomandoi Kipe, hanya menyetor ke Pemprov Maluku sebesar Rp5 miliar saja dengan rincian tahun 2022 Rp250 juta dan Rp4.750.000.000 pada Tahun 2023.

Pansus juga menemukan dugaan perbuatan melawan hukum dalam pengumuman pemenang tender pemanfaatan 140 ruko milik Pemprov yang dimenangkan PT BPT.

Selain itu, menurut Pansus meka­nisme tender oleh Pemprov Maluku melalui layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) untuk pengadaan barang dan jasa tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga segala tindakan yang dilakukan PT BPT untuk menarik uang sewa ruko dari para pemilik  sertifikat HGB yang menempati ruko Mardika adalah perbuatan melawan hukum. (S-26)