Cahaya Megawati Menerangi Kegelapan
“IN the midst of darkness, light persists.” Pesan Mahatma Gandhi pada pidato 1947 itu menitipkan harapan bahwa di tengah kegelapan, cahaya tetap ada dan bersinar. Kita terpanggil untuk menyalakan cahaya kebenaran di tengah kegelapan.
Megawati Soekarnoputri adalah salah satu cahaya yang menyinari kegelapan bangsa. Rasa terpanggil Megawati untuk menjadi cahaya kebenaran dibangun kesadaran politiknya, yang berpadu dengan hati nurani. Perpaduan itu menghasilkan kehendak untuk menjiwai keteladanan sebagai negarawan berhati nurani yang berjuang untuk menggapai cita-cita Indonesia Raya yang kekal dan abadi berdasarkan Pancasila.
Dengan memadukan kesadaran politik dengan nuraninya, Megawati pun tergerak menjadi obor penerang yang berdiri di depan. Sejarah mencatat, ketika Indonesia tenggelam dalam kegelapan demokrasi dan kerusakan konstitusi, Megawati tampil ke depan. Ia menjadi lentera penerang di tengah gelap. Ia memilih berteguh dalam ikhtiar untuk menjadi cahaya kebenaran dengan segala risikonya. Harus diakui, di hari-hari ini ia tampil mengambil peran kenegarawanannya sebagai pejuang demokrasi dan penjaga konstitusi.
Sebagai pejuang demokrasi, peran Megawati memang sudah teruji dalam sejarah panjang Republik. Ia adalah salah seorang tokoh demokrasi garda depan yang berjuang melawan banalitas otoritarianisme.
Baca Juga: Makanan Bergizi dan Kebangkitan Diversifikasi PanganKetika kekuasaan diselewengkan secara brutal di bawah kendali penguasa otoriter populis, dalam Pemilu 2024 lalu dan berlanjut dalam Pemilihan Kepala Daerah 2024, Megawati dengan lantang menyuarakan prinsip keadilan dan persamaan dalam demokrasi. Ia menuntut agar demokrasi berjalan sesuai dengan konstitusi. “Ingat di dalam konstitusi,” tegas Megawati, “setiap warga negara mempunyai hak yang sama di mata hukum. Kita juga warga negara Indonesia yang punya hak yang sama. Juga PDI Perjuangan mempunyai hak yang sama dengan partai-partai politik yang lain.”
Karena itu, ketika persamaan hak sipil dan politik itu dibungkam dengan politik intimidasi, dan kompetisi demokrasi dikendalikan dengan keberpihakan aparatur negara beserta sumber dayanya, Megawati tampil ke depan tanpa rasa takut sedikit pun: “Demokrasi kini terancam mati akibat kekuatan yang menghalalkan segala cara. Kekuatan ini mampu menggunakan sumber daya dan alat-alat negara.”
Di Jawa Tengah, misalnya, ia mendapatkan banyak laporan betapa masifnya penggunaan pejabat kepala daerah hingga mutasi aparatur kepolisian demi kemenangan politik elektoral.
Megawati tampil ke panggung depan sebagai negarawan berakal budi dan berhati nurani yang menyalakan cahaya kebenaran di tengah kegelapan demokrasi. Ia benar-benar melawan terhadap mereka yang oleh dua profesor Universitas Harvard Steven Levitsky dan Daniel Ziblat (2018) dikategorikan sebagai democracy’s assassins. Para pembunuh demokrasi menggunakan Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 sebagai instrumen mekanisme politik elektoral untuk membunuh demokrasi secara brutal.
Sebagai penjaga konstitusi, peranan Megawati juga sudah teruji dalam sejarah perjalanan Republik. Ia salah seorang yang konsisten berjuang menjaga konstitusi, institusi-institusi hukum, dan etika kenegaraan yang tak tertulis. Ketika supremasi hukum dirobohkan dan kendali otoriter berkuasa penuh melalui intervensi kekuasaan dalam Pemilu 2024 dan berlanjut pada Pilkada 2024, Megawati mengingatkan pentingnya ketaatan pada aturan hukum sebagai pedoman berdemokrasi.
Ia tegaskan, “Mahkamah Konstitusi telah mengambil keputusan penting, bahwa aparatur negara yang tidak netral bisa dikenai sanksi pidana. Itulah makna Keputusan MK Nomor 136/PUU-XXII/2024 melalui Revisi Pasal 188 UU No 1 Tahun 2018.”
Di tengah masifnya aparatur negara yang tidak netral dalam kompetisi demokrasi, Megawati mengingatkan kembali, “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI-Polri, dan kepala desa atau sebutan lain atau lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu atau paling banyak Rp6 juta.”
Ketidakpatuhan aparatur negara pada konstitusi dan hukum membuat Republik kita semakin jauh dari impian Indonesia Raya. Alih-alih dipatuhi sebagai ciri utama negara bangsa modern, hukum malah dimanipulasi, seperti kata Megawati (2024), ‘sebagai alat dan bahkan pembenar dari ambisi kekuasaan’.
Harus diakui dengan jujur bahwa kegelapan bangsa ini bersumber pada perilaku pemimpin yang serakah, yakni pemimpin yang diperbudak oleh keserakahan pada dua berhala: kekuasaan dan uang. Padahal, kata Paus Fransiskus (2013), “Keserakahan adalah akar dari segala kejahatan.” Banalitas kejahatan diorkestrasi dalam ruang gelap kekuasaan tanpa merasa dirinya sebagai penjahat. Ia pun terjatuh dalam kegelapan—zulmani, akibat hilangnya cahaya terang di dalam hati—nurani.
Itulah sebabnya, Megawati mewariskan keteladanan luhur bahwa politik bukan dipisahkan dari, tetapi harus dipandu dengan etika, moral, dan nurani kita. Keteladanan itu tecermin pada sikap Megawati yang setia pada konstitusi dan demokrasi. “Jalan yang ditempuh Megawati,” menurut intelektual publik Eep Saefulloh Fatah (2025), “adalah bersetia pada konstitusi dan di bawah naungan konstitusi menjadi perawat demokrasi.”
Sikap-sikap tegas Megawati sebagai pejuang demokrasi dan penjaga konstitusi membuatnya layak disebut sebagai ‘pejuang Indonesia Raya yang sejati’, sesuai dengan disertasi Hasto Kristiyanto di Universitas Indonesia (18/10/2024). Tetesan air mata yang kadang terlihat di wajahnya saat mengucapkan Indonesia Raya mencerminkan kesedihan yang mendalam atas kondisi bangsa yang dirusak melalui kepemimpinan populisme otoritarian yang mengerikan.
Di usianya yang ke-78 tahun pada Kamis, 23 Januari 2025, Megawati terbukti tak mudah menyerah sekalipun perjuangannya dikhianati dan partainya dihancurkan. ‘Saya kasihan dan semakin hormat kepada Megawati dalam situasi sekarang ini’, tulis sosok negarawan Mahfud MD dalam pesan melalui Whatsapp (7/1/2025) sambil menegaskan, ‘beliau seperti berjuang sendirian menghadapi gempuran politik yang begitu besar untuk PDI Perjuangan’.
Sejak Orde Baru, Orde Reformasi, dan berulang kembali akhir-akhir ini, Megawati ‘dibunuh’ secara politik karena ia tak mau tunduk pada kekuasaan yang tiranik. ‘Ia memiliki lembaran nyawa— nyawa rangkap’, tulis Fatmawati dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1978).
Tantangan, pengkhianatan, dan pembunuhan politik justru memperkuat keyakinan Megawati untuk terus berjuang demi kejayaan Indonesia Raya yang sejati, sesuai dengan pesan ayah dan guru politiknya, Bung Karno, yang berpengaruh sangat besar dalam kehidupannya. ‘Tolong sampaikan padanya. Di dalam darahnya ada darahku. Di dalam semangatnya ada semangatku. Di dalam langkahnya ada diriku. Jika dia menyerah, dia bukanlah aku. Aku di sini dan aku masih tetap di sini. Menemani langkah kalian mencapai cita-cita negeri yang jauh dari genggaman. Dalam tangis dan air mata. Dalam harap yang tak pernah pudar. Dalam doa yang tak pernah putus. Anakku, aku merestui setiap langkahnya untuk negeri ini’ (Metik Marsiya, 2015; Hasto Kristiyanto, 2024).
Sejarah mencatat, banyak langkah Megawati didedikasikan untuk menggapai cita-cita Indonesia Raya. Ia akan jadi pemenang sejati manakala dalam menggapai cita-cita ini selalu berpegang teguh pada Pancasila, konstitusi, demokrasi, dan nilai-nilai luhur yang menjadi jati diri bangsa Indonesia. Selamat hari ulang tahun ke-78, Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri, tetaplah hadir sebagai cahaya kebenaran yang menerangi kegelapan. (*) Oleh: Sukidi (Pemikir kebinekaan)
Tinggalkan Balasan