PEMILIHAN kepala daerah  (Pilkada) serentak pada 27 November 2024 telah selesai dilaksanakan. Quick count (hitungan cepat) merilis perolehan suara masing-masing calon sehingga diketahui hasil sementara sebelum KPU memutuskan pihak yang menang dan kalah pada pemilu 2024 ini.

Dimana dan kapanpun pemilu itu dilaksanakan, akhirnya diputuskan ada pihak yang menang dan ada pula pihak yang kalah, tidak pernah terjadi semua menang atau semua kalah, bahkan seripun jarang terjadi, maknanya adalah menang atau kalah dalam pemilu adalah suatu keniscayaan.

Bukankah banyak orang senang jika menang pilkada, jika tidak amanah menjalankan kepemimpinan tidak mustahil bermuara di dalam penjara, demikian sebaliknya tidak sedikit mereka kalah dalam pilkada, jika mau belajar dari kekalahan pilkada tersebut justru mereka menjadi orang sukses dalam hidupnya.

Orang bijak mengatakan, “Hadiah terbaik tidak selalu terbungkus indah dan rapi. Kadang-kadang Tuhan membungkusnya dengan masalah, kegagalan dan kekalahan, tetapi di dalamnya pasti ada barokah, terutama bagi mereka yang ikhlas menerimanya”.

Abraham Lincoln mengalami setidaknya 16 kali kekalahan sebelum berhasil menjadi presiden Amerika Serikat ke- 16 sekaligus pemimpin dunia dan Sun Yat Sen mengalami sedikitnya 10 kali kekalahan sebelum ditetapkan menjadi pemimpin China modern yang sangat dihormati dan disegani dunia hingga sekarang ini.

Baca Juga: Potensi Kampanye Negatif di Masa Tenang

Menang atau kalah pada pilkada atau evant pemilihan apa saja adalah atas izin Allah yang harus kita syukuri dan jangan diratapi.

Kepada pihak yang kalah, bukan berarti Allah SWT tidak senang kepada mereka, boleh jadi justru sebaliknya, kekalahan dalam pilkada merupakan nikmat yang diberikanNya demi keselamatannya baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Allah SWT mengetahui banyaknya janji calon pemimpin yang disampaikan pada saat kampanye, baik secara lisan maupun secara tertulis. Jika ia menang dan ditagih konstituen memenuhi janji-janjinya itu, dikhawatirkan si pemenang tersebut melakukan tindakan melawan hukum dan akhirnya dipenjara, Sebaliknya jika si pemenang tidak memenuhi janjinya, maka ia akan dicaci maki oleh konstituen atau pemilihnya.

Sebaiknya harus menjadi kebiasaan (culture) di negeri ini, pihak yang menang merangkul pihak yang kalah. Dipilihnya para pemimpin, disebabkan oleh banyak faktor, seperti balas budi, kekerabatan, primordialisme, dan hanya sedikit mereka dipilih atas pertimbangan visi, misi dan program kerja calon pemimpin yang disampaikannya saat kampanye.

Namun ketika mereka menjalankan amanah, yang terpenting bagi pemenang adalah melaksanakan visi, misi dan program kerja yang telah disosialisasikannya, tidak jarang visi, misi dan program kerja dari kompetitornya yang kalah sangat baik jika diakomodasi dan dipadukan dengan visi, misi dan program kerja pemenang pilkada.

Merangkul kompetitor dan menyapa pemenang merupakan sebuah tradisi kenegaraan yang sangat baik, semestinya menjadi ciri khas atau suatu kearifan di negeri ini, penting untuk diwariskan, sehingga menjadi contoh tauladan bagi para pemimpin di dunia ini. Penulis yakin, tidak semua setuju terhadap stateman (merangkul dan menyapa) tersebut, manusia ini bukan malaikat, manusia adalah mahluk dha’ib hatinya berpenyakit: penuh dendam, tidak senang kepada orang sukses, merasa pandai namun tidak pandai merasa, dan seterusnya. Pemimpin sejati tidak boleh kalah terhadap kezaliman itu.(*)