Bahaya Mengancam Anak di Ranah Daring
KETIKA anak-anak dalam usia dini sudah berkenan dengan gadget dan internet, ternyata di saat yang sama risiko yang ditanggung tak kalah berbahaya. Ancaman demi ancaman terus menteror anak di ranah daring. Dalam satu-dua tahun terakhir, munculnya berbagai kasus pornografi anak berbasis siber cenderung makin mengkhawatirkan.
Menurut data, jumlah kasus ataupun korban kasus pornografi anak berbasis siber pada Mei hingga November 2024 saja terungkap sebanyak 47 kasus pornografi anak. Meskipun tidak disebutkan berapa jumlah korbannya, sebanyak 58 pelaku pernografi anak di ranah daring sudah ditangkap. Banyaknya kasus pornografi anak berbasis siber juga terungkap di data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Pada 2011-2019, berdasarkan data KPAI, kejahatan siber dan pornografi menempati peringkat ketiga kasus pengaduan anak, mencapai 3.922 kasus (Kominfo.go.id, 28/2/2020).
Akses anak-anak pada internet yang tanpa batas menjadi penyebab utama. Di era perkembangan masyarakat digital, gawai dan internet menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak. Diperkirakan, rata-rata anak mengakses internet selama 4-5 jam per hari. Sekitar 30 juta anak di Indonesia tercatat menjadi pengguna internet, dan 74% di antaranya menggunakan gawai serta mengakses internet tanpa pengawasan dari orangtuanya.
Alih-alih membatasi dan melakukan pengawasan penggunaan gawai oleh anak-anaknya, dalam kenyataan tidak sedikit orangtua justru mengandalkan gawai untuk membuat anaknya tampak tertib dan tidak menuntut macam-macam kepada orangtuanya.
BAHAYA CYBERPORN
Baca Juga: Pendidikan Kedokteran Transformasional Berbasis KomunitasKeterlibatan dan kesempatan anak-anak mengakses pornografi sebetulnya bukan hal baru. Hanya saja, ada indikasi intensitas keterpaparan anak terhadap cyberporn cenderung meningkat pesat ketika anak-anak lebih terbuka mengakses internet dan menggunakan gawai.
Cyberporn ini umumnya diakses via website atau berbagai file yang berisi konten pornografi, baik itu gambar maupun video (file sharing). Pornografi telah tersedia di internet sejak 1980-an, dan ketersediaan akses world wide web kepada publik pada 1991 menyebabkan perkembangan pornografi internet melesat luar biasa.
Dewasa ini, keberadaan internet memang memudahkan anak-anak untuk dapat mengakses pornografi secara anonim kapan saja dan di mana saja. Pengalaman telah banyak membuktikan bahwa penggunaan gawai yang berlebihan, selain bisa dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk menipu dan menjaring anak-anak untuk dijadikan korban trafficking dan objek seksualitas, acap kali juga menimbulkan pengaruh negatif. Terutama, ketika anak-anak memanfaatkan internet untuk menelusuri informasi-informasi yang seharusnya bukan untuk kepentingan dan sesuai dengan usia mereka.
Menurut Chaterine Chak (2003), misalnya, dari hasil studi yang dilakukan menemukan bahwa penggunaan internet di kalangan anak-anak cenderung berisiko tinggi, sebab biasanya selain untuk bermain gim, menelusur informasi dan chatting, juga tak jarang internet dimanfaatkan remaja untuk mengakses situs porno dan melakukan sex talk. Tidak sedikit anak-anak juga kecanduan untuk terus mengakses situs porno, ketika tidak ada kontrol dari orangtuanya.
Chaterine Chak, dalam hasil studinya juga menemukan, tidak sedikit orangtua prihatin terhadap meluasnya penggunaan gawai dan internet, sebab anak-anak mereka menjadi lebih sering bolos dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain gim. Anak-anak tidak sedikit yang berubah perilaku dan kebiasaannya. Jika dulunya anak yang rajin, cerdas, selalu gembira, sejak mereka kecanduan internet, maka tanpa disadari mereka sekarang berubah menjadi pendiam, soliter, dan menutup diri.
Menurut Layden (2015), seorang peneliti dari University of Pennsylvania, keterlibatan dan kecanduan anak pada cyberporn sering kali menimbulkan dampak yang tidak baik, seperti meningkatnya kriminalitas. Pornografi bukan hanya menyebabkan anak kecanduan, tetapi juga memicu agresivitas yang pada akhirnya memicu seorang anak untuk melakukan perbuatan kriminal.
Sebuah penelitian di Australia menemukan data 28% anak berumur 9-16 tahun pernah menonton porno melalui internet. Adapun pada remaja berumur 15-16 tahun, persentasenya mencapai 73%. Penelitian lainnya juga menemukan, dari kelompok anak berumur 13-16 tahun, ternyata sebanyak 93% lelaki dan 62% perempuan telah menonton film porno melalui internet.
Sementara itu, di Indonesia sendiri, belum diketahui angka yang pasti tentang jumlah anak yang terpapar pornografi. Meski demikian, ada indikasi bahwa perilaku seks bebas di kalangan anak-anak cenderung makin permisif, dan bahkan tidak sedikit anak-anak yang adiksi atau ketagihan pada pornografi dan cenderung mempraktikkannya di usia dini.
Kasus anak perempuan yang hamil di luar nikah dan praktik pernikahan dini yang masih marak di berbagai daerah adalah bukti betapa mencemaskan masa depan anak yang rawan terpapar pornografi di ranah daring.
Pada saat pornografi telah menjadi bagian dari industri seksual global, maka jangan kaget jika angka anak-anak yang terlibat dalam pornografi makin meningkat dan meresahkan. Dewasa ini sudah bukan rahasia lagi jika banyak anak mengalami distorsi pandangan tentang seks dan pornografi. Tanpa adanya pengawasan dari orangtua dan masyarakat, maka besar kemungkinan anak-anak kita akan mudah terjerumus dalam perilaku seks yang adiktif hingga pada akhirnya rawan terkena penyakit kelamin yang berbahaya.
PERAN MASYARAKAT
Diakui atau tidak, dewasa ini kerentanan anak di dunia digital sangatlah tinggi. Ketika anak-anak masih belum mampu mengembangkan filter dalam mencari informasi, maka kemungkinan mereka terpapar cyberporn menjadi jauh lebih besar.
Anak-anak, dalam usianya yang masih dini, banyak yang terpapar cyberporn bukan karena sengaja mencari, tetapi karena terpapar derasnya arus informasi yang masuk ke media sosial.
Di media sosial, sering terjadi anak-anak ingin selalu eksis dan diakui keberadaannya oleh teman-temannya. Namun, anak-anak itu umumnya tidak memahami risiko yang mungkin terjadi–termasuk menjadi korban berbagai pihak tak bertanggung jawab dengan menyebarkan foto-foto porno anak dan informasi lain yang kontraproduktif bagi perkembangan kepribadian sehat anak-anak.
Kunci untuk menyelamatkan anak-anak dari paparan buruk gawai dan internet, tak pelak ialah pada kepribadian anak dan peran masyarakat yang peduli. Saat ini, jujur harus diakui bahwa mengandalkan semata pada peran orangtua adalah hal yang mustahil.
Banyak orangtua justru kalah beberapa langkah jika dibandingkan dengan anak-anak mereka dalam pemanfaatan gawai. Di berbagai daerah, banyak orangtua belum memiliki bekal literasi digital yang memadai. Banyak orangtua lebih gaptek (gagap teknologi) daripada anak-anak mereka. Jadi, tanpa dukungan dari masyarakat, jangan harap mekanisme pengawasan terhadap anak dapat terbangun dengan efektif.
oleh: Rahma Sugihartati (Guru Besar Sains Informasi FISIP Universitas Airlangga)
Tinggalkan Balasan