Dosen ASN Kapan Direalisasi?HARAPAN dosen berstatus aparatur sipil negara untuk mendapatkan tunjangan kinerja (tukin) hingga kini masih belum jelas. Meski di akhir masa jabatannya Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim sempat menjanjikan para dosen ASN akan mendapatkan tukin mulai Januari 2025, ternyata anggaran untuk mewujudkannya tidak ada.

Alhasil, para dosen ASN pun kini harap-harap cemas. Di tengah kondisi kebutuhan hidup yang terus melambung tinggi, penghasilan dosen ternyata tidak beringsut membaik. Di berbagai perguruan tinggi, sudah bukan rahasia lagi jika banyak dosen tidak lagi mengandalkan gaji untuk melangsungkan kehidupan keluarga mereka. Dosen ASN yang hanya mengandalkan gaji sering kali hidup pas-pasan. Bahkan, tidak jarang mereka terpaksa harus hidup dengan cara gali lubang dan tutup lubang karena penghasilan yang tidak mencukupi.

Cerita tentang dosen yang terjerat pinjaman online (pinjol) dan hanya mampu bertahan hidup layaknya keluarga miskin bukan sekadar isapan jempol. Bisa dibayangkan, seorang dosen ASN yang hanya bergaji sekitar Rp5 juta per bulan tentu tidak banyak ruang gerak yang bisa dikembangkan untuk mendapatkan kualitas hidup yang memadai.

Jangankan untuk menyekolahkan anak di sekolah yang bermutu atau mengeleskan anak di lembaga bimbingan belajar yang bagus, untuk makan sehari-hari pun kerap kali dosen dan keluarganya harus mengencangkan ikat pinggang. Kehidupan ekonomi keluarga dosen sering kali digambarkan ibarat orang berdiri di air sebatas dagu. Riak sekecil apa pun sudah membuat mereka berisiko mati tenggelam. Tanpa adanya tambahan penghasilan dari tukin, bisa dipastikan banyak keluarga dosen akan hidup pas-pasan, bahkan kekurangan.

Saat ini, tuntutan agar tukin bagi dosen ASN segera dikucurkan telah berkembang di berbagai daerah. Sejumlah organisasi dosen menyatakan kekecewaan atas ketidakjelasan realisasi tukin bagi dosen ASN. Aliansi Dosen ASN Kemendikti-Saintek Seluruh Indonesia (Adiksi), misalnya, dilaporkan menggelar aksi simbolis dengan mengirimkan karangan bunga ke Kantor Kemen­terian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti-Saintek), Jakarta, Senin (6/1).

Baca Juga: Menentukan Kebutuhan Dokter Pentingnya Kolaborasi dengan Pihak Terkait

Secara garis besar, ada tiga tuntutan yang dikemukakan para dosen ASN. Pertama, meminta pemerintah segera menerbitkan perpres yang mengatur pemberian tukin bagi dosen ASN. Kedua, memastikan alokasi anggaran tukin bagi dosen ASN segera masuk APBN 2025. Ketiga, memberikan jadwal yang pasti untuk realisasi pelaksanaan pemberian tukin bagi dosen ASN.

Bagi para dosen ASN, pemberian tukin bukan sekadar soal kesejahteraan, melainkan juga berkaitan dengan soal keadilan. Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan para dosen yang selama bertahun-tahun tidak mendapatkan tukin kini diminta kembali bersabar karena tidak ada anggaran yang tersedia di APBN untuk membayar tukin dosen ASN.

Di Indonesia, isu tentang kesejahteraan dosen ASN sebetulnya sudah lama menjadi keresahan para pendidik di lingkungan perguruan tinggi. Meski beban mengajar dan tugas-tugas administrasi makin menumpuk, kesejahteraan dosen ternyata tidak juga kunjung membaik dan setara dengan ASN lain di berbagai kementerian.

Kalau dibandingkan dengan ASN lain di berbagai kementerian, nasib dosen ASN sungguh memprihatinkan. Bandingkan dengan gaji seorang lurah di kota yang bisa mencapai Rp30 juta lebih, gaji seorang dosen ASN yang sudah mengabdikan diri selama 20 tahun hanya berkisar sekitar Rp15 juta. ASN golongan III di berbagai kementerian lain bahkan ada yang mencapai Rp30 juta-Rp40 juta, sementara seorang dosen ASN hanya mendapatkan gaji tidak lebih dari 10 juta. Tidak mengherankan banyak dosen ASN merasa diperlakukan diskriminatif dan tidak adil.

Kalau melihat beban yang ditanggung dosen ASN, keputusan pemerintah menunda pemberian tukin wajar dinilai menyakitkan. Ketika beban kerja dosen tidak sekadar mengajar, tetapi juga harus menyelesaikan tugas-tugas administratif, bisa dipahami jika mereka merasa gaji yang diterima tidak sepadan.

Seorang dosen yang ingin mendapatkan penghasilan tambahan, mereka biasanya mengandalkan honor tambahan yang diperoleh dari tugas-tugas kedinasan, seperti mendapatkan uang rapat dan honor seminar. Pendapatan seorang dosen yang hanya mengandalkan gaji resmi semata niscaya tidak akan mencukupi dipakai untuk menghidupi keluarganya.

Mutu pendidikan

Untuk memenuhi pemberian tukin bagi dosen ASN, pada 2025 ini alokasi anggaran yang dibutuhkan dikalkulasi sekitar Rp2,8 triliun. Di tengah kondisi APBN yang sedang kembang-kempis, tentu tambahan kebutuhan anggaran sebesar itu akan makin membebani APBN kita.

Kemendikti-Saintek sendiri saat ini telah mengajukan tambahan anggaran, dan berharap alokasi dana untuk membayar tukin bagi dosen ASN dapat diakomodasi dalam perubahan anggaran APBN. Untuk dapat memenuhi kebutuhan tukin bagi dosen ASN bisa dipastikan akan membutuhkan waktu.

Saat ini, berbagai peraturan yang mendukung proses pengajuan tambahan anggaran bagi tukin dosen ASN sedang berproses. Mau tidak mau bagi para dosen saat ini mereka harus menunggu. Terlepas kapan alokasi dana bagi tukin dosen ASN akan dicairkan, persoalan ini benar-benar menjadi pelajaran serius dan momen untuk memastikan pemerintah bersedia menghargai apa yang menjadi tugas dan hak para dosen ASN.

Memang, atas nama kepentingan administratif keuangan dan keterbatasan dana, pemberian tukin bagi dosen ASN bisa saja ditunda. Namun, perlu disadari, bahwa pertaruhan yang timbul jika pemerintah benar-benar tidak membayar tukin bagi dosen ASN sangatlah besar. Dosen ASN yang hidup pas-pasan dan jauh dari sejahtera sesungguhnya berisiko akan dapat menggerogoti integritas dan mutu pendidikan.

Sulit kita berharap dosen dapat bekerja mengajar dengan baik jika sehari-hari mereka masih direcoki dengan kebutuhan hidup yang terus menjejas karena kurangnya penghasilan. Dosen yang masih harus pontang-panting mengajar di luar kampus dan melakukan berbagai pekerjaan lain di luar jam kantor tentu akan kehilangan kesempatan untuk membaca dan belajar meng-update ilmunya.

Dosen yang hanya mengajar ala kadarnya, implikasinya tentu pada kualitas dan mutu pembelajaran yang terbangun. Bukan tidak mungkin, akibat kurangnya penghasilan, dosen ASN akan mengajar tanpa persiapan yang matang sehingga ilmu yang disampaikan dan didiskusikan dengan para mahasiswanya juga akan pas-pasan. Pada titik inilah, jangan kaget jika tidak adanya tambahan tukin akan mengakibatkan kampus mengalami degradasi mutu. Apakah ini yang kita kehendaki? oleh: Bagong Suyanto (Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga)