AMBON, Siwalimanews – Mahasiswa se Indonesia bergerak serentak menolak revisi Undang Undang Pilkada oleh DPR, tak terkecuali di Ambon.

Di Baileo Rakyat, Karang Panjang, demonstrasi yang dilakukan ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Rakyat, Kamis (22/8), berlangsung ricuh.

Ratusan mahasiswa ini menolak Revisi Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016, tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Pantauan Siwalima, ratusan massa aksi yang berasal dari sejumlah organisasi kemahasiswaan di Kota Ambon ini tiba di gedung DPRD Maluku pukul 13.30 WIT tanpa adanya pengawalan aparat kepolisian dan melakukan orasi dengan lancar.

Namun kondisi berubah menjadi ricuh lantaran tuntunan massa un­tuk masuk dan bertemu dengan pim­pinan dan anggota DPRD dihalangi oleh petugas pengamanan dalam di gedung DPRD Maluku.

Baca Juga: PLN UIP MPA Rayakan Kemerdekaan RI di Bawah Laut Jayapura

Aksi saling dorong antara massa pendemo dengan Pamdal pung tidak terhindari.

Kericuhan tersebut dapat dilerai setelah ratusan aparat kepolisian Polres Pulau Ambon dan Pulau Lease tiba di gedung DPRD Maluku, dan langsung melakukan penga­manan jalannya aksi demonstrasi itu.

Beberapa menit menyuarakan aspirasi, ratusan mahasiswa ini pun ditemui anggota DPRD Maluku, Richard Rahakbauw didampingi Heng­ky Pelata, Francois Orno dan lang­sung melakukan audiensi guna mendengar aspirasi.

Salah satu massa aksi, Rahman Marasabessy mengatakan, aksi de­monstrasi yang terjadi hari ini me­rupakan aksi protes dan penolakan terhadap revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR melalui Badan Legislasi.

Menurutnya, revisi UU pilkada yang dilakukan DPR bertentangan dengan konstitusi sebab sudah ada putusan yang muatannya berkaitan dengan syarat usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Ambang batas pencalonan guber­nur dalam UU sama

“Ini menjadi keresahan kami terhadap keputusan DPR RI me­lakukan revisi UU Pilkada dan menabrak konstitusi,” kecamnya.

Revisi UU pilkada, lanjut Mara­sabessy, merupakan bentuk pem­bang­kan DPR terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi yang putu­sannya final dan mengikat.

“Karena kita jauh dari pusat negara maka kita mendatangi DPRD Provinsi Maluku dan kami ingin meminta DPRD Maluku mendesak presiden dan DPR menghentikan tindakan mencederai konstitusi,” tegas Marasabessy.

Selain itu, mahasiswa juga me­minta DPR RI dan pemerintah menghentikan seluruh pembahasan revisi UU Pilkada dan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi.

“Kami meminta DPRD Provinsi Maluku memanggil KPU dan Ba­waslu untuk formulasikan pendaf­taran kepala daerah agar mengikuti putusan MK bukan revisi DPR RI,” jelasnya.

Marasabessy mengancam jika tuntutan massa aksi tidak ditindak­lanjuti DPRD maka akan ada aksi demonstrasi berikut dengan massa lebih banyak.

Ditempat yang sama, salah satu pendemo, Munir mengungkapkan revisi terhadap UU pilkada meru­pakan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang sifatnya final dan mengikat.

Tindakan revisi UU Pilkada me­nurut Munir tidak mencerminkan kemauan rakyat, sebab rakyat me­nginginkan proses demokrasi ber­jalan dengan adil.

“DPR itu harus bekerja sesuai dengan kemauan rakyat bukan karena tekankan Pempus atau ketua-ketua partai,” kesalnya.

Munir pun meminta DPRD dapat memperjuangkan aspirasi maha­siswa agar UU Pilkada tidak lagi direvisi dan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi.

Sementara itu, anggota DPRD Provinsi Maluku Richard Rahak­bauw mengatakan, seluruh aspirasi dari massa aksi kepada pimpinan DPRD Provinsi Maluku untuk ditindaklanjuti.

“Tentu tindak lanjut terhadap aspirasi ini harus dilakukan sesuai mekanisme DPRD dimana pengam­bilan keputusan berada ditangan pimpinan, nanti kami akan sam­paikan ke pimpinan DPRD,” tegas Rahakbauw.

Untuk diketahui, aksi ratusan mahasiswa ini juga terjadi di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (22/8).

Aksi ini berlangsung saat rapat paripurna pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah sejatinya, digelar Kamis (22/8) pagi.

Putusan MK

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora mengenai Undang-Undang Pilkada untuk mengubah ambang batas untuk syarat pencalonan kepala daerah.

MK dalam putusannya menyata­kan bahwa ada pertentangan de­ngan UUD 1945 dalam isi Pasal 40 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pene­tapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

MK memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.

Sebagai hasilnya, MK memutus­kan untuk menyamakan threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik dengan threshold pencalo­nan kepala daerah jalur independen sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.

Lebih rinci lagi, terkait pengajuan calon baik dari partai politik atau gabungan partai politik, MK memu­tuskan terdapat beberapa persya­ratan seperti;

  1. provinsi dengan jumlah pen­duduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000. 000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut;
  2. Provinsi dengan jumlah pen­duduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% (dela­pan setengah persen) di provinsi tersebut;
  3. provinsi dengan jumlah pendu­duk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut;
  4. provinsi dengan jumlah pen­duduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di provinsi tersebut;

Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota:

  1. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus mem­peroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut;
  2. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
  3. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
  4. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut. (S-25)