SPIRIT Presiden Prabowo Subianto untuk swasembada pangan terlihat dengan hadirnya Kementerian Koordintator Bidang Pangan. Kehadiran kelembagaan itu menebarkan aura dan semangat kemandirian, kedaulatan, eksistensi dan kedigdayaan Indonesia. Aura itu bisa ditangkap sejak awal karena Prabowo sebelumnya adalah Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang menjiwai rasa nasionalisme Indonesia. Nasionalisme tidak sekadar tagline sebagai negara besar dengan penduduk banyak, tapi besar dengan sumber daya, masyarakat, gagasan, dan tujuan berbasis agromaritim.

Era Presiden Prabowo, masyarakat perikanan berharap tuah dengan menghadirkan kepemimpinan perikanan yang tangguh tidak sekadar penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kepemimpinan yang visioner, menguasai persoalan perikanan dengan baik, serta mau bekerja keras bersama masyarakat perikanan. Urusan perikanan saat ini terasa amat spesial karena akan menjadi tiang utama penyangga pangan, dan gizi, kesehatan, kesejahteraan masyarakat, dan kualitas masyarakat.

Berdasarkan data statistik 2022, ketersediaan ikan (total per definisi UU Perikanan, 2014) sebagai bahan baku pangan mencapai 21, 2 juta ton per tahun dari tangkap dan budi daya. Jika dikurangi dengan rumput laut mencapai 14,2 juta ton per tahun. Kalau udang, tuna, dan lobster dipisah sebagai produk premium, tersedia 13 juta ton ikan untuk pangan Indonesia. Apabila dilihat dengan tingkat konsumsi masyarakat, nilai itu belum mencukupi untuk kebutuhan rakyat yang sudah mencapai 56 kg per kapita per tahun atau 15,56 juta ton per tahun.

Dengan laju asupan 56 kg per kapita per tahun, total asupan protein diperkirakan mencapai 12,320 gram per tahun (rata rata setara 22%) dalam setiap 100 gram asupan ikan. Sementara itu, kebutuhan protein rata-rata mencapai 46 gram per kapita per hari sehingga diperlukan asupan proetin sebesar 16,500 gram per kapita per tahun. Nilai asupan protein itu setara dengan kebutuhan konsumsi ikan 75 kg per kapita per tahun. Dengan perhitungan itu, diperlukan sebanyak 20,8 juta ton ikan per tahun. Situasi itu menunjukkan kita dalam kondisi kekurangan sediaan ikan mencapai 7 juta ton per tahun.

Dengan asupan 56 kg per kapita per tahun, kita masih dalam status gizi dengan asupan protein rendah dan berpotensi stunting. Dalam jangka panjang kita masih kekurangan ikan untuk menopang kesehatan masyarakat.

Baca Juga: Oleh-oleh Lintas Empat Benua: Investasi Triliunan dan Optimisme Pertanian Modern

Sejalan dengan itu juga masyarakat nelayan kita sebagian masih berpendapatan di bawah upah minimum regional (UMR). Nelayan bagi hasil yang menangkap harian dengan alat tangkap jaring di Banten, pendapatannya masih berkisar Rp3,5 juta-3,7 juta per bulan, dengan UMR berkisar pada angka Rp3,9 juta per bulan.

Beberapa catatan di atas menunjukkan sektor perikanan masih berkutat dengan persoalan mendasar. Ketepercayaan data yang dipakai untuk perencanaan, produksi yang dilaporkan, dan program yang dilakukan belum menunjukkan konsistensi dan muara yang jelas dengan pembangunan. Spirit dan aura kemandirian bangsa sektor perikanan, yang terlihat muncul di Presiden Prabowo Subianto, harus diletakkan dalam koridor kedaulatan perikanan untuk swasembada ikan.

Penulis meyakini, swasembada dan kedaulatan ikan merupakan koridor utama untuk kemajuan perikanan. Karena itu, swasembada ikan harus dirintis dari kedaulatan melalui lima langkah perubahan. Kelima langkah tersebut ialah kedaulatan area perikanan, kedaulatan sumber daya ikan, kedaulatan usaha perikanan, kedaulatan pangan, dan kedaulatan kesejahteraan.

Kedaulatan area perikanan mencakup atas ruang usaha perikanan, keterbebasan dari gangguan pada ruang usaha tersebut, dan kenyamanan berusaha pada area usaha itu. Ruang usaha perikanan di pesisir harus bebas dari rencana pencemaran, bebas dari konflik pemanfaatan ruang, dan bebas akan akses usaha.

Pencemaran plastik di laut yang terjadi di pesisir hingga pulau kecil menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Program cinta laut harus diubah menjadi budaya cinta laut, dengan membersihkan sampah plastik menjadi tugas bersama setiap hari, bukan dalam kemasan seremoni belaka. Masyarakat harus diubah kebiasaan dan tanggung jawabnya, bahwa air dan laut bukan keranjang sampah.

Begitu juga soal konflik ruang laut, baik karena kebijakan kawasan strategis nasional (KSN) yang menggeser tata ruang dan zonasi harus dibatasi. Superioritas KSN harus dibatasi pada tingkat tertentu, yang tidak merugikan rakyat kecil. Konsep KSN yang telah banyak dikembangkan belum berhasil mengubah struktur masyarakat.

KSN bidang perikanan harus tumbuh, yaitu budi daya perikanan dalam skala besar untuk menggenapi kebutuhan protein masyarakat. KSN tidak selalu identik dengan pembangunan perumahan dan bisa diubah ke arah strategis, yaitu penguatan lahan untuk pangan perikanan dengan melindungi area budi daya pesisir dan laut. Kebutuhan akan pangan (ikan) untuk menjaga konsumsi masyarakat jauh lebih penting daripada mengubah area produktif menjadi perumahan dan gedung tinggi.

Kedaulatan sumber daya menempati urutan kedua dalam bidang perikanan. Indonesia kaya dengan jenis ikan yang bisa ditangkap, dibudidayakan, dan yang dijadikan ikan hias sehingga pengembangan KSN perikanan dapat dilakukan dengan me­manfaatkan ikan-ikan lokal dan bukan spesies invasive. Secara alami, ikan lokal merupakan ikan yang banyak dikonsumsi ma­syarakat kita, dan bernilai gizi tinggi. Spirit swasembada ikan ialah membangun perikanan berbasis komoditas lokal.

Kedaulatan usaha menjadi bagian ketiga penting dalam pembangunan perikanan ke depan. Disrupsi yang terjadi pada dua periode sebelumnya harus dikembalikan, dengan mendorong pengusaha ikan nasional menjadi motor usaha perikanan. Peng­usaha lokal bukan tidak memiliki modal, korsa, dan nasionalisme kebangsaan seperti selama ini didengungkan. Langkah mereka terhenti karena kebijakan tanpa evidence, visi yang terbatas, dan tidak akomodatif serta data yang tidak update. Kematian usaha dan kemiskinan nelayan menjadi linier karena tidak berhasil me­numbuhkan usaha yang lebih maju.

Kedaulatan pangan menjadi target utama swasembada ikan guna mendukung program gizi nasional. Dengan produksi 20 juta ton per tahun, kebutuhan pangan tahunan baru terpenuhi. Jika mau kuat, produksi harus ditingkatkan menjadi 30 juta ton agar negara memiliki penyangga pangan. Jika kemudian terjadi pandemi seperti covid-19, atau wabah lain ter­masuk perang, negara tidak langsung mengalami kolaps. Artinya ketahanan nasional melalui pangan berbasis ikan menjadi tulang punggung keta­hanan nasional.

Kedaulatan ekonomi yang menjadi muara dari koridor kedaulatan perikanan dikalkulasi ulang. Kecukupan pangan masyarakat, keberlanjutan usaha pembudi daya dan penangkapan, serta kesejahteraan nelayan harus diletakkan dalam koridor yang sama. Nelayan dan pem­budi daya ikan harus lebih dimanusiawikan. Profesi nelayan dan pembudi daya ikan yang menjadi garis tangan dan gurat kemiskinan harus dihapus. Mekanisme penatakelolaan perikanan harus diperbaiki, uku­ran kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan nelayan dan pembudi daya ikan menjadi ukuran ketercapaian pembangu­nan perikanan.

Lima langkah perubahan di atas bisa menghadirkan pangan yang cukup, masyarakat sehat, tidak miskin, dan berpendidikan seperti pidato Presiden saat pelantikan. Mari kita lihat spirit menteri, semoga pangan kita kuat bukan karena impor, melainkan karena hasil yang diusahakan bangsa sendiri.oleh: Yonvitner Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL), dosen MSP FPIK IPB. (*)