DISKUSI mengenai susu ikan sebagai sumber protein masih belum usai. Terkini, masyarakat didorong agar mengonsumsi ikan secara langsung ketimbang mengonsumsi hasil olahannya seperti susu ikan (Media Indonesia, 10/10/2024).

Protein merupakan salah satu dari enam kelompok gizi atau nutrien utama dalam pangan. Lima lainnya ialah karbohidrat, lemak, air, vitamin, dan mineral. Prinsip utama dalam pemenuhan gizi ialah seimbang. Artinya, jenis dan zat gizi harus sesuai dengan kebutuhan tubuh.

Ukuran yang lazim digunakan sebagai indikator kondisi gizi masyarakat ialah kalori dan protein. Kalori merupakan satuan jumlah energi yang dapat diperoleh dari makanan. Kalori dapat berasal dari semua kelompok gizi yang bersumber semua jenis makanan dan minuman.

Protein menjadi ukuran kedua dalam indikator kondisi gizi karena fungsinya yang penting, seperti membentuk jaringan tubuh, memelihara fungsi organ, hingga meningkatkan imunitas. Protein hampir terdapat dalam semua jenis bahan pangan.

Pemerintah menetapkan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan sebesar 2100 kilokalori (kkal) dan 57 gram protein per kapita per hari. Sementara itu, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional pada Maret 2023, rata-rata konsumsi kalori sebesar 2087,64 kkal dan protein sebesar 62,33 gram.

Baca Juga: Oleh-oleh Lintas Empat Benua: Investasi Triliunan dan Optimisme Pertanian Modern

Sumber protein

Meski rata-rata konsumsi protein sudah di atas AKG, sumber pangan penyuplai protein belum merata. Dari rata-rata konsumsi protein 62,33 gram, sebanyak 31,79% bersumber dari tanaman serealia dan 22,25% berasal dari pangan jadi atau pangan yang tidak diolah di rumah.

Kondisi itu menunjukkan pemenuhan protein separuhnya berasal dua kelompok makanan saja. Kontribusi pangan lainnya masih minim. Proporsi ikan sebanyak 14,84%, aneka kacang 8,31%, daging 7,94%, telur dan susu 5,17%, serta sisanya pangan kelompok lain.

Diet Mediterania Diyakini Bisa Memperpanjang Usia Perempuan, Terbukti lewat Studi 25 Tahun

Rendahnya kontribusi pangan lain dalam menyuplai protein menunjukkan adanya faktor pembatas, seperti harga, ketersediaan, hingga rantai pasok. Keterbatasan akses itu menyebabkan masyarakat kehilangan peluang mendapatkan alternatif sumber protein.

Pemerintah tidak tinggal diam dalam menghadapi kondisi itu. Perbaikan gizi menjadi salah satu prioritas pemerintahan mendatang. Salah satunya dengan meningkatkan akses terhadap protein hewani agar sumber protein lebih beragam dan konsumsi protein dapat meningkat.

Rata-rata konsumsi protein secara nasional memang di atas AKG, tetapi lebih rendah dari rata-rata konsumsi protein dunia sebesar 90,2 gram per kapita per hari pada 2021. Malaysia sudah mendekati rata-rata dunia dengan konsumsi sebanyak 89,47 gram per kapita per hari.

Susu menjadi salah satu harapan dalam diversifikasi protein. Akhir-akhir ini, susu semakin ‘naik daun’ karena keberadaannya dalam menu makan gratis sebagai program andalan pemerintah. Tentu langkah tersebut perlu diapresiasi karena diharapkan dapat diiringi dengan pembenahan tata niaga susu di hulu hingga hilir.

Produksi susu dalam negeri masih belum mencukupi kebutuhan. Kebutuhan susu di Indonesia pada 2022 mencapai 4,4 juta ton, tetapi hampir 80% dipenuhi dari impor. Populasi sapi perah juga belum beranjak signifikan.

Susu ikan

Berbagai bentuk upaya diversifikasi protein tentu berdampak positif selama bertujuan meningkatkan akses dan memberi alternatif kepada masyarakat sehingga keberadaan faktor pembatas bisa diminimalisasi.

Susu ikan tampaknya merupakan salah satu diversifikasi produk protein.

Susu memang salah satu bahan pangan yang memiliki banyak derivatnya, dari keju, kefir, hingga yoghurt. Susu ikan tentu bukan salah satu di antaranya. Terminologi susu ikan sendiri sudah cukup membingungkan.

Susu hanya dihasilkan oleh kelenjar khusus yang dimiliki mamalia.

Meski keberadaan susu ikan menawarkan alternatif sumber protein, sebaiknya aspek literasi juga perlu menjadi pertimbangan. Labelisasi dan branding memang penting dalam memasarkan produk, tetapi masyarakat juga perlu mendapat edukasi yang benar.

Saat ini, penggunaan terminologi susu kedelai juga sudah mulai berkurang karena memang kurang tepat. Susu ikan juga setali tiga uang dengan susu kedelai dari aspek asal-asul bahan pangan penyusunnya.

Untuk tujuan tertentu, inovasi dilakukan untuk ‘meniru’ bahan pangan melalui kombinasi bahan pangan lain, seperti daging analog yang dibuat dari bahan-bahan nabati. Susu ikan sepertinya lebih menyerupai susu analog yang diperkaya protein ikan.

Kata ‘analog’ menjadi penting jika ingin tetap menggunakan istilah susu. Alternatif lainnya dapat menggunakan istilah ‘sari’, ‘ekstrak’, atau istilah yang dipandang tepat dari segi ilmiah maupun proses yang digunakan.

Beberapa produk pangan di luar negeri menggunakan istilah sesuai dengan bentuk produknya, misalnya protein bars yang berupa pangan olahan kaya protein yang berbentuk batang. Juga carbo gel atau carbo stick yang berupa olahan karbohidrat dalam bentuk gel atau stik.

Ikan sebenarnya memiliki rata-rata konsumsi yang cukup menggembirakan ketimbang protein hewani lainnya. Dengan kata lain, tanpa dibuat susu ikan pun, masyarakat lebih gemar dan mudah mengakses ikan sebagai protein hewani, daripada daging, telur, dan susu.

Bahan pangan tentu lebih baik dikonsumsi dalam bentuk utuh. Proses pangan yang panjang dari bentuk utuh menjadi ekstrak tentu akan menyebabkan perubahan kandungan nutrisi, terlebih jika adanya zat lain yang digunakan untuk mendukung proses pangan tersebut.

Susu ikan dapat menjadi nilai tambah jika dimaksudkan untuk kemudahan distribusi atau konsumsi. Susu ikan tentu akan sangat memudahkan dalam pengemasan dan transportasi, berbeda dengan ikan segar yang perlu rantai pasok berpendingin.

Orang yang memiliki kesulitan mengonsumsi ikan karena aroma atau alergi juga dapat dimudahkan dengan susu ikan itu. Selain itu, tentu produksi susu ikan itu dapat meningkatkan permintaan ikan dan memberi nilai tambah bagi nelayan.

Hanya, penggunaan terminologi susu ikan perlu dipertimbangan ulang. Hal itu untuk menjaga ‘muruah ikan’ sebagai protein hewani yang saat ini menjadi andalan dan sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat.

Substitusi susu sapi oleh susu ikan juga bukan merupakan langkah tepat. Selain karena dua ‘barang’ itu memiliki protein yang spesifik yang berbeda, juga agar kendala rendahnya produksi susu dalam negeri dan perbaikan tata niaga susu tetap dapat menjadi perhatian. Oleh: M Ikhsan Shiddieqy Kandidat PhD di Wageningen University, Belanda, Pelaksana Tugas Belajar Badan Riset dan Inovasi Nasional (*)