SETAHUN berlalu sejak serangan Hamas ke wilayah pendudukan Israel yang berbatasan dengan Gaza pada 7 Oktober 2023. Saat itu, setidaknya 1.139 orang terbunuh (766 warga sipil dan 373 personel keamanan). Hamas juga menangkap setidaknya 253 penduduk Israel dan warga asing serta menjadikan mereka sandera.

Belakangan dilaporkan oleh Israel Defense Forces (IDF) bahwa seperlima dari korban ialah akibat serangan indiskriminatif dari Israel sendiri karena adanya perintah untuk mencegah teroris kembali ke Gaza. Israel membalas serangan Hamas tersebut dengan agresi militer besar-besaran ke Gaza yang masih berlangsung sampai sekarang. Sebelum agresi itu, Gaza sudah diblokade oleh Israel, menjadikannya penjara terbuka (open air prison) terbesar di dunia.

Agresi tersebut menimbulkan korban pada warga sipil, anak, orang tua dan perempuan, termasuk tenaga kesehatan dan jurnalis yang seharusnya dilindungi. Israel juga menembaki warga sipil yang sedang mengantre bantuan. Belakangan ini, serangan Israel meluas ke Libanon yang membunuh lebih dari 2,000 orang warga sipil dan Iran.

Israel selalu menjadikan pembebasan sandera sebagai alasan untuk gencatan senjata. Hamas sudah mebebaskan sedikitnya 117 orang sandera, tetapi Israel tetap menolak gencatan senjata menyeluruh dan hanya menyetujui 4 jam gencatan senjata setiap harinya, itu pun masih ada insiden yang mana Israel melanggarnya.

Menurut The New York Times, Israel sepertinya menghadapi dilema, antara ingin membebaskan sandera atau menghancurkan Hamas, yang berarti menghancurkan Gaza, karena seluruh penduduk Gaza dianggap bagian dari Hamas atau paling tidak pendukung Hamas. Itu kemudian berdampak pada sikap Israel yang melakukan carpet bombing dan melakukan serangan membabi buta seperti tidak memedulikan keselamatan para sandera.

Baca Juga: Kabinet Merah Putih dan Arsitektur APBN 2025

Genosida

Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan total korban meninggal paling tidak 41.870 orang, 16.765 diantaranya anak-anak. Sementara itu, sebanyak 97.166 orang cedera dan lebih dari 10 ribu menghilang. Lebih dari 125 jurnalis, 1.000 petugas kesehatan, dan 280 petugas kemanusiaan Palestina dibunuh. Terjadi eksodus besar-besaran yang disebut nakba kedua.

Sementara itu, jurnal kesehatan terkemuka, Lancet, pada Juli 2024 melaporkan estimasi paling tidak terjadi 186 ribu kematian di Gaza sebagai dampak dari serangan Israel. Serangan Israel telah merusak atau menghancurkan lebih dari setengah tempat tinggal di Gaza, 87% sekolah dan merusak semua rumah sakit (RS). Listrik, bahan bakar, dan bahan makanan di Gaza sangat terbatas. Keadaan diperparah dengan Israel yang sangat membatasi masuknya bantuan ke Gaza, utamanya makanan dan obat-obatan.

Mempelajari apa yang dilakukan Israel dan korban yang ditimbulkan, Francesca Albanese UN Special Rapporteur on the Occupied Palestinian Territories mengatakan terdapat alasan masuk akal yang mengindikasikan bahwa agresi Israel di Gaza memenuhi kriteria genosida.

Hukum internasional mendefinisikan genosida sebagai satu set tindakan spesifik yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan keseluruhan atau sebagian kelompok warga negara.

Israel melakukan tiga aksi genosida dengan sengaja: menyebabkan cedera fisik atau mental yang serius atas kelompok tertentu, menimpakan kondisi yang menyebabkan kehancuran atas kelompok tersebut, dan menerapkan langkah yang mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa genosida di Gaza ialah tahap paling ekstrem dari usaha kolonial pendudukan Israel yang sudah berlangsung lama untuk memusnahkan warga asli Palestina.

Israel menghancurkan hukum humaniter

Hukum humaniter dikenal sebagai hukum perang (law of war) yang mengatur bagaimana perang dilakukan (jus in bello). Hukum humaniter melindungi mereka yang tidak terlibat dalam pertempuran (nonkombatan) seperti warga sipil dan bahkan personel kesehatan militer. Ia juga melindungi personel militer yang sudah tidak terlibat peperangan, seperti mereka yang terluka dan menyerah, serta tahanan perang. Hukum humaniter juga mengatur dan membatasi cara serta metode perang yang dapat digunakan oleh mereka yang terlibat aktif dalam pertempuran (kombatan).

Selain melarang serangan membabi buta yang langsung membunuh atau mencederai, serangan yang membuat penderitaan yang berat atas manusia dan yang menyebabkan kerusakan yang parah dan berkepanjangan atas fasilitas publik serta lingkungan juga dilarang. Karena itu, bom klaster, senjata kimia dan biologis dilarang penggunaannya.

Melihat fakta di atas, sangat jelas Israel bukan hanya tidak mengindahkan, melainkan juga menghancurkan hukum humaniter. Serangan Israel yang membabi buta menimbulkan korban yang sangat besar. Tenaga kesehatan dan jurnalis juga dibunuh. Bangunan yang seharusnya dilindungi diserang dan dihancurkan, seperi rumah sakit, tempat ibadah, dan sekolah. Lingkungan rusak parah, jaringan jalan, lahan pertanian, dan sumber air bersih hancur. Israel bahkan dilaporkan dan terdokumentasi menggunakan bom klaster dan bom fosfor yang dilarang penggunaannya oleh hukum humaniter.

Apa yang dilakukan dunia internasional?

Israel memiliki impunitas karena dilindungi oleh negara-negara Barat, utamanya Amerika Serikat. Banyak negara mengajukan protes ke PBB, termasuk mengadukan Israel ke International Court of Justice (ICJ), badan kehakiman internasional di bawah PBB yang dipercaya dapat menegakkan hukum humaniter internasional.

Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB Nomor 2.728 yang mengharuskan penghentian serangan akhirnya ditetapkan dengan abstainnya AS,setelah tiga kali sebelumnya memveto. Namun, Israel bergeming, tetap melanjutkan serangan sampai hari ini.

Indonesia mengecam keras agresi Israel, mendukung gugatan ke ICJ, mendesak agar segera diadakan gencatan senjata menyeluruh, dan menyerukan kemerdekaan Palestina. Indonesia meminta DK agar bertindak lebih kuat untuk menghentikan konflik.

Penegakan hukum humaniter

Sulit menegakkan hukum humaniter karena tidak ada badan yang memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melakukan penegakan yang ditakuti dan ditaati oleh pelanggarnya. Namun, kita pernah menyaksikan bagaimana hukum humaniter ditegakkan. Pada Perang Bosnia 1992-1995, The Army of Republika Srpska yang merupakan etnik Serbia (Bosnian Serb) melakukan pembantaian etnik Bosniak (Bosnian Muslim) di Republik Bosnia Herzegovina. Angka korban yang meninggal masih lebih kecil dari korban genosida Israel di Gaza.

Dunia (negara-negara Barat) sepakat bahwa yang terjadi di sana ialah pelanggaran hukum humaniter. Pelakunya di antaranya Radovan Karadzic dan Radko Mladic dipenjara atas vonis melakukan kejahatan perang oleh The International Tribunal for the Former Yugoslavia.

Hukum tidak berarti tanpa penegakan. Itu yang kita lihat atas agresi Israel di Gaza. Dunia bergeming melihat Israel melakukan pelanggaran walaupun sudah ada keputusan dari ICJ yang memerintahkan Israel agar menghentikan serangan mereka. Yang lebih parah lagi, negara-negara Barat, utamanya Amerika Serikat, alih-alih menghentikan, mereka malah masih memberikan dukungan dengan dalih Israel ialah korban serangan Hamas yang memiliki hak untuk membela diri.

Untuk menegakkan hukum humaniter, diperlukan ketegasan dan kesamaan sikap dunia internasional, utamanya Amerika Serikat dan sekutunya. Jika impunitas Israel itu terus berlanjut dan menjadi preseden bagi negara-negara lain, boleh jadi dunia tidak akan memiliki lagi hukum humaniter. (*)