AMBON, Siwalimanews – Angin laut terasa mendekat, waktu menunjukan pukul 17.00 WIT, Kamis (22/08/2024). Dua sosok perempuan berkerudung memipihkan ikan di atas petakan keramba berukuran 20×15 meter persegi.

Kedua perempuan itu adalah Ra­fika Relahat dan Sophia Lessinusa, yang tinggal di Pesisir Pantai Negeri Liang, Kecamatan  Salahutu, Kabu­paten Maluku Tengah, Maluku.

Walaupun Fika, sapaannya adalah perempuan disabilitas wicara dan tuna rungu namun saban hari, dia selalu meluangkan waktu senggangnya untuk membantu ayahnya, Ibrahim Rehala bersama nelayan di sana yang kini mengguluti budidaya ikan di keramba jaring apung.

Begitu juga Sophia Lessinusa, yang turut mengambil andil membantu Rizal, suaminya.

“Kami berdua biasanya membuat rucah sebagai pakan dan memberi makan ikan di keramba,” ujar perempuan tiga anak ini.

Baca Juga: Talud Batu Gajah Ambruk Hantam 4 Rumah

Kebutuhan hidup yang terus meningkat, tidak bisa diharapkan dari hasil tangkapan di laut lagi.

“Kalau gelombang tinggi, suami sudah tidak bisa melaut. Padahal kebutuhan keluarga terus mening­kat, anak-anak juga harus tetap ber­sekolah, mana persediaan di dapur juga tidak boleh kosong, kebutuhan banyak, pengeluaran juga banyak,” terangnya.

Sophia menuturkan, saat suami melaut semalaman dan cuaca bagus biasanya membawa pulang ikan yang banyak, kemudian berjalan papalele (sebutan untuk perempuan yang berjualan dari rumah ke rumah).

“Ada Ikan Momar (Layang), Ikan Kawalinya (Selar) dan Ikan Lema (Kembung) tapi itu juga ikut musiman. Kalau tidak ada angin, bisa dapat uang kisaran 250 hingga 300  ribu rupiah,” ujarnya.

Tapi jika musim barat tiba, Rizal sudah tidak bisa melaut lagi karena gelombang tinggi dan cuaca yang tidak menentu.

“Kalau tidak bisa melaut, kita tidak punya pemasukan, tapi Alhamdulil­lah saat ini suami suami sudah ber­sama nelayan  yang lain membuat keramba jaring apung, hasil dari ikan yang dijual bisa dibagi bersama, setidaknya ada pemasukan,” beber­nya dengan nada terharu.

Berbeda dengan Ibrahim Rehala, lelaki lansia ini mengisahkan akti­vitas melaut yang sudah ditekuni­nya sejak tahun 1975.

“Waktu itu, saya sering ikut papa tangkap ikan pakai ketinting (perahu kecil). Katong dapat Ikan Cakalang, Ikan Tuna. Ada juga Ikan Lema (Kem­bung) dan Ikan Bubara (Kuwe). Kalau pulang pasti ikan penuh da­lam ketinting,”  katanya.

Sekarang, menurut Baim, kalau melaut ikan sudah susah. Hanya dapat setengah baskom berdiameter 55 sentimeter untuk makan di rumah, kalau jual juga tidak seberapa.

“Kalau angin, ombak. Kita sudah tidak bisa pergi melaut lagi, padahal anak-anak butuh uang untuk sekolah,”  kata pak Baim, sapaannya se­hari-hari.

Baim mengaku, rumah yang ditempatinya saat ini bersama istri dan tiga orang anaknya adalah hasil melaut.

“Kalau jual ikan bisa dapat uang 600 ribu sampai  700 ribu rupiah se­tiap hari, uang ikan juga bisa bangun rumah ini,” terangnya.

Dengan secangkir kopi ditangan­nya, lelaki kelahiran 1957 ini semen­tara menghirup udara sore di be­randa depan rumahnya. Ia meng­haturkan terima kasih kepada Yayasan Humanum yang telah melatih nelayan Negeri Liang untuk budidaya ikan di keramba jaring apung.

“Kalau kita tidak melaut tapi bisa piara ikan di keramba saja. Ini bagus, asal kita sabar dan rajin pasti hasil memuaskan. Kalau panen itu kita 10 nelayan bisa dapat 700 sampai 800 ribu  rupiah per orang,” bebernya.

Senada nelayan paruh baya, Mur­shid Mony,  juga mengaku senang karena dari hasil budidaya ikan di keramba bisa membantu dirinya membiayai kebutuhan keseharian bersama istri dan anak-anaknya.

“Saya senang, bisa dapat uang dari budidaya ikan di keramba,” terangnya.

Kata Mony, melaut sudah sangat jauh sampai di Perairan Pulau Seram baru bisa dapat ikan. Apalagi jika ombak dan gelombang tinggi, sudah pasti tidak bisa melaut.

“Saat ini hasil tangkapan ikan sudah menurun, hanya untuk makan sehari-hari,” katanya.

Diungkapkan Mony, budidaya ikan di keramba jaring apung ini memberikan kepastian karena ada hasilnya tapi kalau melaut belum tentu dapat ikan, tergantung cuaca.

“Hanya bermodal 2 juta rupiah, sudah bisa buat keramba dan keuntungannya bisa capai 7 hingga 8 juta rupiah,” ujar lelaki berjanggut ini.

Dijelaskan, budidaya ikan keram­ba jaring apung yang dilakukan ber­sama nelayan lainnya menggunakan Ikan Bubara atau Ikan Kuwe (Caranx sp), yang diperoleh dari Balai Peri­kanan Budidaya Laut (BPBL) Ambon.

Ikan Bubara banyak diminati di pasaran lokal.

“Kita beli ikan dan piara di ke­ramba 5 hingga 6 bulan, makanan­nya hanya pakan berupa rucah, tingkat kematiannya juga minim, kalau beratnya capai 500 gram maka sudah bisa panen,” terangnya.

Tak hanya untuk makan di rumah tapi setiap kali panen, ikan-ikan itu langsung diborong oleh pemilik rumah makan dan pengusaha restoran lokal, dijual 70 hingga 80 ribu per kilogram.

Kisah para nelayan di Negeri Liang ini adalah dampak dari feno­mena perubahan iklim. Saat musim barat tiba, mereka tak bisa melaut. Tinggi gelombang bisa mencapai 3 hingga 4 meter. Belum juga curah hujan yang tidak menentu. Semen­tara kebutuhan ekonomi keluarga terus mencekik.

Namun berbekal keuletan dan kesabaran selama tiga tahun, hasil keramba jaring apung ini bisa mem­bantu ekonomi para nelayan di Negeri Liang.

Mata Pencaharian Adaptasi

Keramba jaring apung adalah mata pencaharian adaptasi alternative terhadap perubahan iklim di pesisir dan laut sebagai dampak dari gelom­bang tinggi, angin, dan  curah hujan.

Selain tinggi resiko bagi para nelayan namun ketersediaan ikan juga sudah mulai berkurang.

“Kalau nelayan tidak bisa melaut maka keramba jaring apung adalah solusinya agar ketahanan pangan bagi masyarakat berupa protein tetap terjaga,” ungkap Direktur Huma­num, Elvira Marantika.

Selain mata pencaharian yang adaptif, kata Marantika,  juga mem­berikan ruang kepada laki-laki dan perempuan dalam kegiatan budidaya di keramba jaring apung.

“Budidaya KJA ramah terhadap perempuan, disabilitas dan lansia. Hal ini nampak dalam siklus peme­liharaan dan perawatan dapat diker­ja­kan oleh semua kelompok,” ka­tanya.

Ia mengaku, dalam proses pen­dampingan kelompok nelayan di Negeri Liang, masyarakat nelayan juga melakukan pengawasan terha­dap aktivitas warga di wilayah pesisir termasuk menjaga ekosistem hutan mangrove.

“Masyarakat sudah tidak lagi menebang pohon mangrove dan tidak membuang sampah di pesisir,” katanya.

Iklim di Maluku

Sebagian wilayah Maluku dinya­ta­kan sebagai wilayah beriklim tropis basah (humid tropics). Ciri utama iklim di wilayah ini adalah curah hujan diikuti oleh keragaman suhu yang sangat ditentukan oleh keting­gian tempat di atas muka laut (ele­vasi).

Berdasarkan data Pusat Meteor­logi Maritim Maluku, pada bulan April merupakan periode peralihan musim dari hujan ke musim kemarau. Salah satu ciri masa peralihan musim adalah pola hujan yang biasa terjadi pada sore hingga malam hari yang didahului oleh adanya udara hangat dan terik pada pagi hingga siang hari.

Sementara keadaan laut (Sea State) adalah efek yang diakibatkan oleh angin lokal terhadap kondisi laut di area tertentu, dimana tidak dipengaruhi oleh kondisi penjalaran swell (alun) dari area sekitarnya.

Bisnis yang Menjanjikan

Ikan Bubara atau Ikan Kuwe (Caranx sp)  merupakan salah satu komoditas perikanan laut yang mem­punyai nilai ekonomis.  Hal ini dapat dilihat dengan semakin meningkat­nya animo masyarakat untuk meng­konsumsi ikan ini.  Ikan Bubara di masyarakat memiliki tem­pat tersendiri bagi para penggemar makan ikan karena memiliki daging putih yang cenderung kesat dan kenyal serta rasanya sangat enak.

“Ikan Bubara sangat digemari terutama masyarakat Maluku, per­tumbuhannya sangat cepat yaitu 5-6 bulan siap panen di KJA,” ungkap Tenaga Teknis Litkayasa BPBL Ambon, Sunarto.

Kata dia, kebutuhan rumah makan di Ambon 6 ton per bulan.  Kegiatan budidaya di KJA baru dapat meme­nuhi sekitar 33% dari total kebu­tuhan dan sisanya masih mengan­dalkan hasil tangkapan alam, sehingga masih dibutuhkan lebih banyak KJA.

“Pemasaran Ikan Bubara ukuran konsumsi masih tinggi, hal ini dikarenakan tingkat konsumsi ikan di Ambon sangat tinggi, harga ikan bubara ukuran konsumsi sekitar 75 ribu per kilogram,” katanya.

Dijelaskan, jenis ikan bubara memiliki pertumbuhan yang cepat, memiliki tingkat kelulusan hidup (SR/survival rate) yang tinggi dan relatif tahan terhadap infeksi pe­nyakit. Karakternya sebagai ikan pelagis dan sangat aktif menye­bab­kan ikan ini lebih adaptif terhadap pakan dan perubahan lingkungan.

“Ikan ini tahan terhadap penyakit, mudah diberi pakan dan tingkat kelangsungan hidupnya tinggi hi­ngga mencapai 90 persen,” katanya lagi.

Mulai Dilirih

Perubahan iklim dan menurunnya produksi ikan di Perairan Maluku, membuat nelayan mulai    melirih bu­di­daya ikan di keramba jaring apung.

“Kalau melaut belum pasti memperoleh ikan tetapi kalau KJA itu sudah pasti ada hasilnya cuma harus menunggu waktunya. Jadi selain budidaya, nelayan bisa juga lakukan tangkap untuk konsumsi hari-hari maupun untuk ketersedian  pakan di keramba,” ungkap Akade­misi Fakultas Perikanan Unpatti, Semuel F Tuhumury, kepada Siwa­lima, di kampus Unpatti.

Melihat kondisi geografis Provinsi Maluku yang terdiri dari pulau-pulau kecil maka sangat dimungkinkan untuk dilakukan budidaya ikan di keramba jaring apung,” katanya.

Kendati demikian, kata Tuhumury, analisa kesesuaian lahan harus diperhatikan agar dapat mengukur dan mengkaji sejumlah parameter biofisik serta kimia yang berkaitan erat dengan keberlangsungan usaha budidaya ikan di KJA.

Ia memaparkan hasil analisis kesesuaian lahan untuk pengem­bangan KJA di sejumlah perairan di Maluku, misalnya di Teluk Ambon Dalam dan sejumlah teluk lainnya di Maluku bahwa penempatan jumlah unit KJA yang efektif pada zona budidaya tidak lebih jauh dari 10 persen luasan peruntukan lahan perairan yang ideal.

“Untuk luasan satu hektar lahan dapat dimanfaatkan secara efektif untuk 15 KJA dengan ukuran 3×3 dengan tiap unit KJA berisi empat petak jaring apung,” jelasnya.

Begitu juga dengan kualitas air, kecerahan, kedalaman, gelombang dan kecepatan arus, kata dia, harus diperhatikan. Namun KJA untuk pemeliharaan Ikan Bubara sangat efektif dilakukan di mana saja karena tahan terhadap penyakit dan memiliki nilai yang ekonomis.

Tuhumury menjelaskan, untuk pakan berupa rucah sangat ramah terhadap lingkungan  dan tidak merusak ekosistem laut.

“Di Maluku, pakan yang diberikan berupa rucah dan tidak menggu­nakan pellet seperti yang digunakan pembudidaya di Pulau Jawa dan daerah lain, apalagi pada musim-musim tertentu ikan plegis itu paling banyak dengan harga yang murah,” jelasnya.

Peluang bagi Nelayan

Secara keseluruhan potensi budi­daya di Maluku itu baru diman­faatkan kurang lebih 45 persen.

Dijelaskan, budidaya ikan di KJA merupakan usaha yang produktif dan menyerap banyak tenaga kerja.Potensial areal budidaya laut Maluku mencapai 495.300 hektar.

“Tentu saja ini peluang untuk dimanfaatkan bagi nelayan yang mengalami kendala ketika cuaca ekstrem namun sebagian besar dari budidaya KJA masih mengandalkan benih dari BPBL Ambon dan pakan dari alam,” ungkap  Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Erawan Asikin, kepada Siwalima, saat bertandang di ruang kerjanya, akhir pekan kemarin.

Erawan menyebutkan, sejumlah jenis ikan yang sementara dibudidaya di Maluku, seperti Kerapu (Epinephelus sp), Kakap Putih (Lates calcarifer), dan Kuwe (Caranx sp). Namun yang paling diekspor adalah Kerapu, Kakap Putih, Mangrove crab, dan Lobster (Nephropidae).

“Kerapu itu ikan ekonomis tinggi dan itu peluang dan kelebihan kita. Jadi andalan untuk ekspor hidup ke Hongkong, Singapura dan Malaysia,”bebernya.

Tabel data komoditi perikanan

Erawan menambahkan, dinas sementara berupaya untuk mengalihkan orientasi dari tangkap ke budidaya karena tren   dunia maupun nasional sudah lebih ke budidaya.

“Produksi budidaya Indonesia misalnya, sudah dua setengah kali budidaya dari  tangkap  pada tahun 2022, itu karena kebutuhan dunia akan protein hewani terus meningkat karena jumlah penduduk yang bertambah, suplay dari tangkap itu terbatas karena ketika cuaca ekstrem sudah susah untuk nelayan lakukan tangkap,” ungkapnya.

DKP Provinsi Maluku terus mendorong pengembangan KJA agar ketahanan pangan khusus protein tetap terjaga.

“Bantuan bagi nelayan KJA selalu dialokasikan setiap tahunnya, dengan tujuan agar budidaya KJA terus dilakukan secara berkesinambungan,”  katanya.

Pengembangan budidaya laut atau dikenal dengan marikultur, terus dikembangkan karena didukung dengan potensi yang cukup besar. Marikultur juga dinilai akan dapat berkontribusi banyak mendorong Maluku sebagai kawasan Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan dapat mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Disini peran pemerintah bersama stakeholder lainnya agar nelayan menjadi adaptif terhadap perubahan iklim, karena sektor perikanan adalah sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim. (Fabiola Jolanda Koenoe-Jurnalis Harian Siwalima)