Risiko Kampus Tarik Tambang

KEINGINAN kampus main di tambang setelah ormas keagamaan NU dan Muhammadiyah menyatakan minat harus disikapi secara hati-hati. Keinginan yang bisa berlabuh jadi kebijakan dapat melahirkan disrupsi tata kelola pendidikan tinggi dalam negeri.
Potensi disrupsi dunia pendidikan tinggi yang akan terjadi di antaranya, pertama, gangguan terhadap muruah kampus sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan Undang-Undang No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi ditekankan bahwa kampus memperjuangkan hadirnya masyarakat yang berkembang dan berilmu. Lahirnya pengetahuan bermutu, ilmu yang sesuai kebutuhan pembangunan bangsa, serta inovasi bagi industri. Melahirkan ilmu pengetahuan, inovasi, dan teknologi, serta mendiseminasikannya kepada masyarakat dan industri menjadi roh pendidikan tinggi.
Kedua, soal kooptasi kampus dalam ruang bisnis menjadi lebih besar. Dalam tata kelola PTNBH seperti saat ini saja, banyak kampus yang kelimpungan mengelola SDM, aset, dan keuangan. Bahkan tidak sedikit kemudian terjadi penyalahgunaan aset, mismanajemen keuangan.
Hadirnya tambang dalam kampus dapat melahirkan mekanisme keuangan kampus yang rumit. Dua jalur pertanggungjawaban pendapatan dan pengeluaran di tengah ancaman pencucian uang. Akibatnya kampus menjadi makin ringkih dalam sains dan iptek karena terjebak dalam administrasi dan teknis yang seharusnya cukup dikelola perseroan.
Ketiga, ditariknya tambang ke kampus dapat memunculkan budaya korporasi baru. Sikap korporasi akan memosisikan kampus sebagai institusi super-akses tapi tidak independen. Budaya ini dapat menyebabkan kampus jadi alat kuasa, alat penyusun evidance, dan alat penimbang keadilan. Kemudian dapat melahirkan kampus sebagai institusi pegang stempel super. Stempel penilai kelayakan, pelaksana pekerjaan, kesesuaian sains, dan stempel keberhasilan serta montoring. Situasi ini dapat sangat berbahaya, karena potensial menyebabkan autoimun yang bisa menyebabkan sikap membabi buta.
Baca Juga: Kurikulum Cinta, Spirit Pendidikan IndonesiaKeempat, soal independensi dalam mengawal iptek dapat otomatis hilang. Bahkan kampus bisa bergeser fungsi keluar dari fungsi pendidikan, penelitian, dan pengabdian menjadi korporasi. Kampus bisa menjadi media dan alat pembenaran terhadap dampak lingkungan yang berbahaya seperti saat ini.
Kelima, dalam kampus sendiri akan muncul disrupsi baru. Saat ini kita melihat dalam kampus muncul dikotomi fakultas tajir dan kere. Latahnya kampus membuka fakultas kedokteran menjadi magnet akselerasi pendapatan. Orangtua mahasiswa rela merogoh kocek sampai ratusan juta dengan kalkulasi sang anak akan mampu berpendapatan setelah lulus menjadi dokter. Investasi untuk program yang dianggap menjanjikan menjadi sesuai yang normal.
Di sisi lain, sebagian program akan semakin sepi peminat, seperti program pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan. Padahal kalau kampus peka, komitmen Presiden menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dari beras, ternak, ikan harus dijemput dengan membesarkan fakultas yang terancam tersebut
Kehadiran tambang di kampus yang tidak sekadar program studi tentu akan jadi magnet baru. Dengan optimistis sebagian pimpinan perguruan tinggi mengatakan kampus akan mampu menyelesaikan persoalan SPP dengan pendapatan dari tambang. Kampus jangan lempar handuk dengan lari ke pertambangan. Sungguh ironis sikap mengejar tambang ditarik ke kampus, sementara soal fakultas yang membidangi pangan tidak dihiraukan.
RISIKO
Rencana menarik tambang ke dalam institusi kampus dapat menimbulkan berbagai risiko. Pertama, soal keyakinan sustainability kampus dari penghasilan tambang menjadi antitesis dari lemahnya peran negara.
Kita sadari, dalam situasi apa pun, tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tanggung jawab negara. Jika kampus merasa kesulitan uang dan tidak berpenghasilan memadai, pemerintah dapat menyusun mekanisme pengaturan agar dukungan industri menguat ke kampus. Kampus tidak perlu mengamputasi peran pemerintah karena menyangkut hajat seluruh rakyat Indonesia.
Risiko kedua, semakin menunjukkan kampus bergaya komersial. Sikap mengejar pendapatan menjadi target yang tidak terkontrol. Jika memang kampus perlu uang, bisnis kampus adalah pada sain dan iptek. Maka, pastikan konektivitas industri dalam inovasi tersambung dengan kampus.
Peraturan Menteri Keuangan No 153/2020 yang mengatur insentif pajak terhadap industri yang mengembangkan RND harus diputar arah ke kampus. Seharusnya ditegaskan industri yang mengembangan RND dengan universitas akan mendapatkan insentif pajak, sehingga kampus otomatis jadi RND-nya industri. Dengan mekanisme ini kampus akan menghasilkan pendapatan, lebih inovatif, dan punya ruang gerak yang luas.
Risiko ketiga, masuknya tambang akan potensial mendisrupsi tata kelola keuangan kampus. Secara pasti pengelolaan keuangan pendidikan tidak bisa dicampurkan dengan sistem keuangan non-akademik, kerja sama, dan perseroan. Karena, tidak mungkin di kampus diselenggarakan tata kelola keuangan pendidikan dan perseroan dalam satu sistem keuangan.
Ketika kampus tidak sekadar mendidik, dan turut mengelola tambang, maka dengan sendirinya akan mengotakkan kampus dalam ruang sempit sehingga matinya proses link and match
PT dan industri. Ketika bisnis tambang menjadi bagian tugas kampus, industri lain nontambang akan menjadikan kampus sebagai pesaing dan kompetitor.
RAMBU-RAMBU
Untuk penguatan keuangan dan pendapatan kampus dalam mendukung sustainability kampus dan pendidikan di Indonesia, maka rambu-rambu yang harus dicermati ialah, pertama, otonomi yang diperluas dalam keuangan diperlukan untuk memastikan transparan dalam tata kelolanya. Kalau ini diberikan akan memberikan manfaat dalam mekanisme kontrol, tetapi di sini lain akan menjadi mekanisme tata kelola keuangan yang paling rumit dari institusi pemerintah. Akibatnya potensi kebocoran juga dapat meningkat.
Kedua, soal otonomi kampus harus mampu menerobos kebuntuan pendapatan dengan menciptakan kolaborasi dan optimalisasi aset kampus. Banyak aset kampus diam dan tidak bermanfaat, padahal bisa dikembangkan sebagai prototipe industri berbasis sains yang dikelola kampus. Model ini bisa dikembangkan selaras dengan kompetensi kampus dan akan terkoneksi dengan sektor kerja pascakuliah.
Ketiga, perlunya dikembalikan fungsi kampus sebagai pelayan pendidikan bagi semua anak bangsa. Mekanisme subsidi dilakukan melalui satu pintu, yakni pajak tinggi terhadap yang memiliki kekayaan besar dan dijadikan sebagai subsidi pendidikan. Negara dapat memainkan peran sebagai sistem yang mengendalikan peran semua anak bangsa dan tidak tercerai-berai.
Keempat, pentingnya pelibatan unsur industri yang memiliki CSR atau social corporate sebagai pendudukung pendidikan kampus. Perbankan, industri jasa, termasuk perhubungan dapat berkolaborasi mendukung biaya pendidikan. Skema ini, selain menguatan keterisian kebutuhan SDM industri, jelas menjadi ruang anak bangsa mendapat dukungan biaya pendidikan.
Sekali lagi, keberlanjutan keuangan kampus harus menjadi tanggung jawab negara. Disrupsi keuangan perlu diselesaikan dengan mekanisme tata kelola yang benar tanpa kemudian menjerumuskan kampus dalam lubang gelap yang sarat risiko, yang pada akhirnya akan menempatkan kampus dalam ketidakberdayaan dan penuh kealpaan. (*)
oleh: Yonvitner (Guru Besar Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan/Kepala PKSPL IPB University)
Tinggalkan Balasan