PEMERINTAH sementara menjalankan sebuah proyek krusial, yaitu proyek genommanusia. Proyek itu diberi nama Biomedical and Genome Science Initiative; sebuah proyek yang akan mengutak-atik dan mempelajari genom manusia. Katanya, hasil penelitian itu dapat berkontribusi bagi pengembangan metode pengobatan yang lebih efektif dan spesifik.

Sebagai bagian dari proyek tersebu, pemerintah telah mendirikan biobank. Gunanya untuk menyimpan berbagai spesimen biologis dari masyarakat, mengumpulkan metadata genetik, serta menjalankan riset genomik. Selain biobank, proyek itu juga melibatkan pekerjaan bio-sequencing untuk analisis genom dan bioinformatics yang berkaitan dengan interpretasi data genomik.

Proyek itu didukung oleh berbagai pihak, termasuk Global Fund, Panin Bank, dan East Ventures. Selain itu, juga bekerja sama dengan institusi seperti Ilumina dan Institut Genom Beijing. Target yang dicanangkan ialah pengumpulan 10 ribu data genom dalam dua tahun mendatang dan meningkat menjadi 100 ribu data dalam lima tahun ke depan. Saat ini, telah terkumpul 9.000 data klinis yang mana 6.000 di antaranya telah melalui proses penghitungan sekuens genom dan 4.500 data telah dianalisis.

STUDI GENOM

Meskipun diskursus genom tergolong baru di Indonesia, penelitian tentang genom telah berlangsung cukup lama. Genom merupakan kumpulan informasi genetik yang menjadi dasar pengendalian biologis dalam tubuh, mengatur sintesis protein, regulasi gen, serta perkembangan organisme. Genom dapat diibaratkan sebagai ‘buku panduan’ yang memberikan instruksi bagi sel dalam membentuk berbagai organ, memproduksi hormon dan enzim, serta mengatur proses perkembangan embrio.

Baca Juga: Digital Minimalism dan Kebermaknaan Hidup

Studi mengenai genetika berakar pada penelitian Gregor Mendel pada periode 1866-1900 yang kemudian berkembang menjadi proyek genom manusia. Proyek Human Genome Project yang dimulai pada 1990 oleh Amerika Serikat dan kolaboratornya bertujuan memetakan setiap gen dalam genom manusia, serta mengidentifikasi susunan 3 miliar basa DNA.

Keberhasilan pemetaan itu diumumkan pada 2001 yang menjadi titik awal eksplorasi fungsi genom serta kaitannya dengan penyakit dan kesehatan. Sejak saat itu, penelitian di bidang genom terus berkembang pesat.

Namun, sejak awal perkembangannya, proyek genom telah menimbulkan perdebatan. Pihak yang mendukung berpendapat bahwa studi genom membawa manfaat besar seperti meningkatkan akurasi diagnosis penyakit, mengidentifikasi mekanisme genetik penyakit, serta mendorong pengembangan terapi yang lebih tepat.

Sebaliknya, kelompok yang menentang mengkhawatirkan potensi penyalahgunaan data genom, pelanggaran privasi, diskriminasi berbasis genetik, serta kemungkinan penerapan eugenika negatif. Kekhawatiran lain yang muncul ialah implikasi etis dan sosial, seperti kemungkinan manipulasi genetik (designer babies) serta penyalahgunaan dalam pengembangan senjata biologis.

KONTROVERSI PROYEK GENOM INDONESIA

Proyek genom memang menawarkan berbagai manfaat. Namun, tanpa implementasi yang tepat, proyek itu berisiko menjadi tidak efektif dan bahkan berpotensi menimbulkan dampak negatif serius. Di Indonesia, proyek tersebut menghadapi beberapa tantangan dan kontroversi.

Pertama, terkait dengan prioritas pembangunan kesehatan. Indonesia saat ini menghadapi berbagai tantangan kesehatan prioritas yang memerlukan penanganan segera. Secara komparatif, indikator kesehatan Indonesia masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Sebagai contoh, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia mencapai 305 per 100 ribu kelahiran hidup, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan Malaysia (29 per 100 ribu) dan Singapura (8 per 100 ribu).

Demikian pula angka kematian bayi (AKB) di Indonesia sebesar 24 per 1.000 kelahiran hidup, sementara Malaysia dan Singapura masing-masing mencatat angka yang lebih rendah, yakni 7 dan 2 per 1.000 kelahiran hidup.

Capaian program kesehatan nasional juga belum optimal. Tingkat imunisasi dasar bayi baru mencapai 63% dari target 90%, prevalensi stunting masih berada di angka 22%–jauh dari target 14%, dan insiden tuberkulosis masih tinggi, yaitu 354 per 100 ribu populasi, sementara targetnya ialah 297 per 100 ribu populasi.

Selain itu, hanya 56% puskesmas yang telah terakreditasi dan jumlah tenaga kesehatan standar di puskesmas baru mencapai 56% dari yang ditargetkan. Permasalahan mendasar itu seharusnya menjadi fokus utama Kementerian Kesehatan.

Oleh karena itu, alih-alih mengalokasikan sumber daya untuk proyek genom yang bersifat jangka panjang, pemerintah perlu mengutamakan kebijakan kesehatan yang lebih konkret dan berdampak langsung terhadap peningkatan layanan kesehatan dasar.

Dalam kurun waktu 5-10 tahun, perbaikan strategi kesehatan yang efektif dapat membawa peningkatan signifikan dalam indikator kesehatan nasional. Sebaliknya, manfaat dari proyek genom dalam periode yang sama masih belum dapat dipastikan secara nyata.

Kedua, terkait dengan investasi besar dan keterbatasan sumber daya. Investasi proyek genom membutuhkan dana besar. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat pada 2015 mengalokasikan dana sebesar US$215 juta untuk proyek genom mereka, sementara Tiongkok menganggarkan US$9,2 miliar pada 2016. National Human Genome Research Institute memperkirakan bahwa dana awal yang dibutuhkan untuk proyek genom berkisar antara US$25 juta hingga US$50 juta.

Bagi negara berkembang, keterbatasan anggaran menjadi kendala utama dalam membiayai proyek semacam itu. Di Indonesia, biaya pengumpulan genom saja sekitar Rp2 juta-Rp3 juta perorang, belum termasuk biaya penyimpanan dan analisis. Bayangkan bila proyek itu harus mengover 100 ribu orang, biaya­-nya tentu sangat besar. APBN Indonesia tidak bisa mengover biaya sangat besar ini. Sebagai alternatif ialah penda­naan mela­-lui pinjaman. Itu tentu memiliki konsekuensi finansial, termasuk beban bunga yang tinggi.

Selain aspek finansial, keter­sediaan tenaga ahli di bidang genomik juga masih terbatas di Indonesia. Untuk menjalankan proyek itu secara berkelanjutan, diperlukan investasi besar dalam pendidikan dan pelatihan tenaga ahli lokal. Alternatifnya ialah merekrut tenaga ahli asing. Penggunaan sumber daya asing itu bukan tanpa risiko. Selain biayanya tinggi, juga terkait dengan kedaulatan data genomik.

TANGAN-TANGAN ASING

Ironisnya, hampir semua proses proyek tersebut melibatkan tangan-tangan asing. Saat ini reagen yang digunakan dalam proyek itu merupakan sumbangan dari Bill & Melinda Gates Foundation. Itu menimbulkan kekhawatiran akan dominasi asing dalam pengelolaan data genomik Indonesia.

Teknologi penyimpanan juga berasal dari luar, seperti platform Amazon S3, AWS Genomics CLI, Google Genomics, dan BigQuery. Pemrosesan data genomik membutuhkan algoritma dan perangkat lunak canggih, seperti Genome Analysis Toolkit dan sistem berbasis AI. Interoperabilitasnya perlu menggunakan standar global, seperti Format Variant Call.

Intinya, utak-atik data genom itu sangat berisiko karena semuanya ditangani oleh institusi luar negeri. Yang lebih ironis, Pasal 340 dalam UU No 17 Tahun 2023 memung­kinkan pengiriman sampel ke luar negeri. Itu berarti pihak asing yang memproses sampel tersebut dapat memperoleh manfaat lebih besar ketimbang Indonesia.

Ketiga, terkait dengan keamanan data genomik dan regulasi di Indonesia. Data genomik ialah big data yang sangat kompleks. Data itu mencakup informasi genetik, ekspresi gen, variasi genetik, epigenetik, dan interaksi antargen yang dinamis.

Data genomik merupakan salah satu jenis data yang paling sensitif dan berharga di era modern. Informasi genetik seseorang tidak hanya mencerminkan identitas biologis individu, tetapi juga potensi kesehatan, asal-usul etnik, dan bahkan kerentanan terhadap penyakit tertentu.

Hal itu menjadikan data geno­mik rentan terhadap berbagai ancaman, termasuk peretasan, penyalahgunaan, dan eksploitasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Ia bukan hanya dapat digunakan untuk kemajuan dan ketepatan pengobatan, melainkan juga dapat disalahgunakan dalam bentuk pelanggaran privasi, diskriminasi, kejahatan siber, eugenika negatif, atau bahkan pembuatan senjata biologis.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa telah menerapkan regulasi ketat untuk melindungi data kesehatan dan genomik. Di Amerika, terdapat Health Insurance Portability and Accountability Act (HIPAA) yang mengatur privasi data kesehatan, sementara Uni Eropa memiliki General Data Protection Regulation (GDPR) yang menetapkan perlindu­ngan ketat terhadap data pribadi.

Sementara itu, di Indonesia, perlindungan data genomik masih dalam tahap awal. Meskipun Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang disah­kan pada 2022 memberikan dasar perlindungan privasi, regulasi itu belum secara eksplisit mencakup kompleksitas data genomik yang bernilai tinggi.

Keempat, pengelolaan data genomik tidak hanya melibatkan aspek teknis dan keamanan, tetapi juga harus memperhatikan dimensi etika. Prinsip etika harus menjadi landasan utama dalam pengumpulan, penyimpanan, dan pemanfaatannya. Prinsip utama etika dalam data genomik ialah otonomi individu.

Setiap individu memiliki hak untuk menentukan apakah data genetik mereka dapat dikumpul­kan, disimpan, atau digunakan. Keputusan iti harus dibuat secara bebas tanpa tekanan eksternal. Apakah di Indonesia hal itu ber­laku? Faktanya, banyak masyara­kat Indonesia yang kurang mema­hami risiko dan manfaat penge­lolaan data genomik.

Mereka menyetujui informed consent hanya sebagai formalitas. Ketidakpahaman itu berpotensi di­manfaatkan oleh pihak-pihak ter­tentu untuk memperoleh persetu­juan tanpa memberikan penjela­san yang memadai kepada individu.

Ujungnya, pemeriksaan geno­mik dilakukan tanpa memberikan manfaat langsung kepada indivi­du. Data yang dikumpulkan hanya digunakan untuk tujuan penelitian atau komersial, sementara individu yang menyumbangkan data tidak mendapatkan keuntungan nyata dari partisipasi mereka.

KENISCAYAAN BERSYARAT KETAT

Proyek genom merupakan tero­bosan teknologi biomedis yang kini menjadi bagian tak terhindarkan dari masa kini. Setuju atau tidak, proyek itu diperkirakan akan terus berjalan. Hingga saat ini, studi ten­tang genom memang memberikan sejumlah manfaat. Namun, di sisi lain, proyek tersebut sangat kom­pleks, krusial, dan sensitif. Saking krusialnya, proyek itu bisa saja memunculkan banyak konflik ke­pentingan. Meskipun belum terjadi, dalam perjalanannya, proyek itu bisa disalahgunakan dan berubah menjadi bencana.

Di negara berkembang seperti Indonesia, pelaksanaan proyek itu harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Ia ibarat pedang bermata dua. Proyek genom berisiko me­nggerus anggaran kesehatan dan menyebabkan misalokasi prioritas pembangunan kesehatan. Juga rentan terhadap kebocoran data, eksploitasi, dan penyalahgunaan materi genetik.

Sebelum program itu meluas, harusnya ada payung hukum yang memadai dan ketat untuk memas­tikan kepentingan pasien dan masyarakat terlindungi. Tanpa itu, proyek genom bisa disamakan dengan sebuah rumah yang ditinggalkan pemiliknya dengan pintu terbuka tanpa pengawasan atau CCTV. Tanpa pengawasan dan kendali ketat, proyek tersebut dapat berubah menjadi bagian dari agenda kapitalisme global yang bisa mengancam kepentingan nasional dalam bidang kesehatan dan ketahanan.

Selain itu, regulasi dan etika me­mainkan peran krusial dalam me­ngarahkan pemanfaatan teknologi itu agar tetap sesuai dengan prin­sip kemanusiaan. Regulasi harus mencakup perlindungan privasi data genomik, pengawasan, peng­umpulan, dan penggunaan data untuk menghindari diskriminasi genetik dan standarisasi berbagi data internasional untuk mencegah eksploitasi pihak asing.

Etika dalam genomik juga harus memastikan bahwa teknologi ter­sebut digunakan untuk mening­kat­kan kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan, bukan hanya untuk keuntungan komersial.

Dalam kondisi seperti ini, Indonesia harus sangat berhati-hati dalam menyusun strategi nasionalnya terkait dengan proyek genomik tersebut agar ia memberi manfaat bagi kepentingan nasional dan justru bukan menjadi target agen kapitalis untuk tujuan bisnis dan perapuhan sistem keamanan negeri ini. (*)

oleh: Iqbal Mochtar (Ketua Klaster Kedokteran dan Kesehatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional dan anggota Dewan Kehormatan Etik Kohkarssi)