SAAT ini, di masyarakat ada dua pendapat terkait dengan ujian nasional (UN). Pemerintah tentu perlu menyimak secara saksama dinamika tersebut. Yang perlu menjadi perhatian, jangan sampai pemerintah memutuskan kebijakan pendidikan, bukan hanya terkait dengan UN, dengan terburu-buru. Terkait dengan UN sendiri, sudah banyak rekaman hasil riset, pendapat akademisi, dan laporan-laporan jurnalistik yang menyatakan problematika UN yang sangat penting untuk ditelaah secara saksama.

Saya sendiri cenderung tidak setuju menghidupkan UN, terutama ketika UN dijadikan salah satu penentu kelulusan. Saya berpendapat UN pola lama, yang menjadi salah satu penentu kelulusan ialah problem yang membuat pendidikan kita pada masa itu begitu mencekam. Alih-alih menjadi alat evaluasi untuk menilai kualitas pendidikan antara daerah, UN justru menjadi alat penghukum para siswa yang tidak memenuhi standar nilai yang ditargetkan. Evaluasi mutu pendidikan pun tidak terjadi secara optimal. Jika lapangan pendidikan tidak setara, prosesnya timpang, fasilitas dan dampingan guru tak imbang, apakah adil jika sistem evaluasinya dipukul rata?

Sekadar ulasan agar kita tak lupa, situasi UN memang membuat semua elemen pendidikan terjaga. UN bukan perkara sulit bagi para siswa yang berlatih soal-soal secara taktis dan terstruktur dengan fasilitas dan pendampingan guru memadai. Apalagi ada sokongan kursus, tambahan pelajaran khusus di sekolah, dan bimbingan belajar. Nilai UN besar perkara mudah untuk siswa kategori itu.

Paradoks terjadi bagi siswa yang memiliki ragam keterbatasan. Proses pendidikan di sekolah tak optimal, tak pernah terlatih menghadapi soal-soal, fasilitas sekolah menyedihkan dipadukan dengan guru yang jarang hadir. Menghadapi soal UN membuat mereka gemetar. Belum lagi kasus-kasus siswa tidak lulus UN, bahkan ada yang sampai bunuh diri. Tidak untuk simplistis, tapi kasus-kasus tersebut hadir dalam timeline pendidikan kita pada masa lalu.

Lalu, apa yang terjadi? Silakan baca laporan-laporan jurnalistik dan riset pada masa itu. Kita menghadapi situasi yang mana ada ketimpangan dan diskriminasi, persoalan integritas sebab ada ragam kecurangan secara masif dan sistemis, kunci jawaban UN yang entah benar atau tidak tersebar dengan mudah, dan bahkan lucunya soal UN harus dikawal TNI-Polri ketika didistribusikan.

Baca Juga: Darurat Judi Online

Sangat tampak terasa distrust dari pemerintah terhadap anak-anak atau guru di sekolah. Risiko-risiko tersebut kemudian hadir jika kita memaksa untuk mengulangi pola UN, terutama yang menjadikannya salah satu penentu kelulusan. Apakah sungguh kita sudah lupa situasi-situasi pelik yang saya sampaikan tersebut? Sebab ada situasi yang mana kita tampak hendak mengulangi kesalahan pada masa lalu. Apakah sungguh-sungguh akan menghidupkan pola UN seperti masa lalu?

Tujuan pendidikan ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka itu, tumpuannya ada dalam proses pendidikan itu sendiri. Pertanyaan yang harus selalu diajukan ialah apakah proses pendidikan saat ini sudah sesuai dengan arah pendidikan nasional? Bagaimana mutu pendidikan antarprovinsi, kabupaten/kota, dan pulau di Indonesia? Data-data statistik yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) masih menunjukkan betapa kualitas pendidikan antardaerah masih sangat timpang.

Data-data terkait dengan angka partisipasi kasar (APK), angka partisipasi murni (APM), angka partisipasi sekolah (APS), rata-rata lama sekolah (RLS), atau harapan lama sekolah (HLS) masih sangat menunjukkan betapa pendidikan di Indonesia masih berkutat di sisi akses. Kita masih menghadapi ketimpangan pendidikan antarwilayah, ketidaksiapan pendidikan menyiapkan warga negara yang demokratis, kegagapan pendidikan menghasilkan penduduk yang mampu mengakses pekerjaan yang layak, dan ketidaksiapan menghadapi perubahan struktur ketenagakerjaan, disrupsi teknologi, atau bahkan krisis iklim dan energi.

Maka itu, kegelisahan terhadap anak-anak yang dianggap tidak memiliki pengetahuan umum yang memadai, karakter yang unggul, dan kompetitif tidak hanya dapat diselesaikan dengan UN pola lampau yang problematik. Jika ingin bersepakat dengan hasil PISA terbaru terkait dengan literasi dan numerasi siswa Indonesia yang masih memprihatinkan, fokuslah pada substansi pendidikan: pemenuhan standar nasional pendidikan yang merata di seluruh Nusantara.

Yang harus menjadi target pemerintahan saat ini ialah sejahterakan guru-guru dan pengelola sekolah, beri penguatan kapasitas merata melalui peningkatan kualifikasi akademik dan pelatihan, sebar buku-buku berkualitas di perpustakaan setiap sekolah dan bahkan di tingkat RT/RW, serta tingkatkan kualitas layanan pendidikan.

Jika memang kita butuh mengeva­luasi sistem pendidikan nasional, pemerintah sudah ada rapor pendidikan yang memiliki cakupan data terkait dengan kemampuan literasi dan numerasi, karakter, kualitas pembelajaran, persentasi PAUD terakreditasi minimal B, proses belajar yang sesuai dengan anak usia dini, pem­belajaran yang membangun ke­mampuan fondasi, iklim keamanan sekolah, iklim kebinekaan sekolah, iklim inklusivitas sekolah, pe­nyerapan lulusan SMK, serta kemitraan dan keselarasan SMK dengan dunia kerja (cek website raporpendidi­kan. kem­dikbud.go.id).

Jika ada pertanyaan terkait dengan validitas data tersebut, mari kita pertanyakan kepada penyusun rapor itu. Jika ada kekurangan, mari bersama kita bangun indikator yang diperlukan untuk meng­evaluasi pendidikan secara dialogis.

Terkait dengan hadirnya pro dan kontra tentang UN, saya berpendapat perkara utamanya bukan terkait dengan menghidupkan UN atau tidak, melainkan lebih pada kegamangan kita sebagai bangsa yang cenderung tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas tentang pendidikan. Sebetulnya, mau dibawa ke mana anak-anak bangsa? Sesungguhnya, pendidikan Indonesia itu ingin membentuk manusia Indonesia, mengutip Mochtar Lubis, seperti apa? Ketiadaan arah itulah yang selalu membuat bangsa ini maju-mundur jika terkait dengan kebijakan pendidikan.

Pada masa lalu, ketika berhadapan dengan UN, kita dihadapkan pada kasus-kasus yang menunjukkan kecurangan sistemis dan melibatkan banyak pihak, serta pada masa kini ketika berhadapan dengan PPDB, kita juga berhadapan dengan kasus-kasus yang menghadirkan tindakan manipulatif demi meraih sekolah favorit.

Jadi, bisa dianalisis, ada persoalan terkait dengan ketiadaan arah dan integritas dalam ruang pendidikan kita. Jika kita tak memiliki arah yang jelas, tidak berintegritas, dan proses pendidikannya tak setara dan inklusif, alat ukur evaluasi seperti apa pun tak akan dapat membenahi mutu dan kualitas pendidikan negeri ini.

oleh: Anggi Afriansyah

Peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN, Dewan Pakar P2G