TINDAK pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa.

Hal ini disebabkan karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.

Untuk itu pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut harus dilakukan dengan cara luar biasa dengan menggunakan cara-cara khusus.

Korupsi bukanlah suatu bentuk kejahatan baru dan bukan pula suatu kejahatan yang hanya berkembang di Indonesia. Korupsi merupakan perbuatan anti sosial yang dikenal di berbagai belahan dunia.

Menurut Mochtar Lubis, korupsi akan selalu ada dalam budaya masyarakat yang tidak memisahkan secara tajam antara hak milik pribadi dan hak milik umum.

Baca Juga: Makan Siang Gratis Langkah Tepat Atasi Ketimpangan

Pengaburan hak milik masyarakat dan hak milik individu secara mudah hanya dapat dilakukan oleh para penguasa. Para penguasa di berbagai belahan dunia oleh adat istiadat, patut untuk meminta upeti, sewa dan sebagainya pada masyarakat, karena secara turun temurun semua tanah dianggap sebagai milik mereka.

Namun, kenyataannya, hingga detik ini wujud tindakan pemberantasan korupsi belum terlihat hasilnya secara memuaskan. Bahkan, tindakan korupsi terlihat makin menyebar tidak saja di kalangan Pusat tetapi telah sampai pula di tingkat Daerah. Perkembangan tindak pidana korupsi, makin meningkat baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra – ordinary crimes). Ketika korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra – ordinary crimes), maka upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula.

Namun, kenyataannya kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam menangani korupsi selama 5 tahun terakhir cenderung memposisikan korupsi sebagai suatu kejahatan biasa yang akhirnya juga ditangani dengan cara-cara biasa pula.

Berbagai peraturan perundang-undangan dan berbagai lembaga dibentuk oleh Pemerintah dalam upaya menanggulangi korupsi. Seharusnya tindakan korupsi di Indonesia jumlahnya berkurang, tetapi kenyataan yang ada justru tidak berubah, dan bahkan makin menjadi-jadi.

Saat ini, masyarakat sudah demikian skeptis dan bersikap sinis terhadap setiap usaha pemberantasan kasus-kasus korupsi yang dilakukan pemerintah. Kenyataan dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi, terutama dalam mengadili koruptor kelas kakap dibandingkan dengan koruptor kelas teri. Kegagalan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat pada strata rendah selalu menjadi korban dari ketidakadilan dalam setiap tindakan hukum terhadap kasus korupsi. Harapan masyarakat agar para pelaku tindak pidana korupsi mendapat ganjaran hukuman yang setimpal telah banyak dilontarkan.

Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya merupakan persoalan dan penegakan hukum semata, tetapi juga merupakan persoalan sosial dan psikologi sosial yang sama-sama sangat parahnya dengan persoalan hukum, sehingga masalah tersebut harus dibenahi secara simultan. Alasan mengapa korupsi dianggap merupakan persoalan sosial karena korupsi telah mengakibatkan hilangnya pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Olehnya, dibutuhkan komitmen aparat penegak hukum untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi termasuk kepolisian dan korupsi pun harus dianggap sebagai persoalan psikologi sosial, karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit disembuhkan. (*)