AMBON, Siwalimanews – Tiga unit rumah warga di ka­wasan Rijali, Mardika, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon dieksekusi Pengadilan Negeri Ambon, Selasa (3/9).

Eksekusi dilakukan pihak Peng­adilan Negeri Ambon atas permin­taan permohonan eksekusi oleh pemohon eksekusi, Nonce Alona Patty berdasarkan hukum.

Eksekusi berjalan cukup alot, setelah mendapat perlawanan dari pemilik rumah, Remon Leonard Mailuhu beserta keluarganya se­laku termohon eksekusi.

Pantauan Siwalima, perlawanan pihak termohon itu datang setelah pengadilan mendatangi lokasi eksekusi sekitar pukul 09.00 WIT. Ke­hadiran mereka beserta Buruh Pe­labuhan lantas mendapat perla­wa­­nan dari pihak termohon eksekusi.

Hadir juga pemohon eksekusi, Nonce Alona Patty melalui penga­caranya, Hans Pea. Saat hendak membacakan penetapan eksekusi Ketua Pengadilan Negeri Ambon terhadap lahan seluas 1.171 meter persegi, dicegat keluarga termo­hon eksekusi.

Baca Juga: Pakai Sabu, Dua Terdakwa Ini Dituntut 10 Tahun Penjara

Perlawanan, hingga cekcok mulut diperlihatkan pihak termo­hon eksekusi dengan petugas Penga­dilan. Saling tarik menarik pintu pagar rumah yang akan dieksekusi juga diperlihatkan mereka.

Masyarakat sekitar yang melin­tas ruas jalan setempat, ramai me­nyaksikan jalannya eksekusi terse­but. Eksekusi mendapat pengawa­lan ketat dari aparat Kepolisian Polres Pulau Ambon dan Pp Lease sehingga menye­babkan Kemacetan Panjang sempat terjadi.

Setelah melalui perlawanan dan dialog yang elok, barulah satu unit rumah berlantai II, serta dua rumah disekitarnya berhasil di roboh alat berat eksavator.

Keluarga termohon eksekusi akhirnya menyerah dan pasrah melihat rumah mereka dirobohkan. Hanya tinggal puing setelah 65 tahun mendiami rumah tersebut.

Termohon eksekusi, Remon Leonard Mailuhu kepada wartawan mengaku, pasrah dan menghin­dari terjadinya korban jiwa atas tindakan eksekusi yang dilakukan pihak Pengadilan Negeri Ambon.

“Kita sangat pahami hukum, kalau kita lebih pasti ada korban jiwa. Kami sangat pahami hukum. Tapi kasihan kami dizolimi oleh hukum,” ungkapnya.

Menurutnya, selaku termohon eksekusi memiliki sertifikat asli atas kepemilikan lahan dan rumah yang menjadi objek eksekusi tersebut.

Proses hukum, kata dia, saat ini juga masih sedang berjalan di pe­ngadilan. Namun, eksekusi yang dila­kukan Pengadilan me­ngguna­kan proses lama atau perkara yang sama yang sudah di proses lama.

“Dan beta yakin, itu pasti Pe­ngacara dan Panitera. Proses taha­pan hingga sampai di eksekusi pun belum berjalan normal. Proses Aanmaning juga belum dilakukan maksimal, tapi mereka paksakan untuk eksekusi oleh Pengadilan kelas IA Ambon,” kata Mailuhu.

Dia mengaku, sangat kecewa dengan Putusan PN Ambon yang saat ini hadir dan melakukan eksekusi terhadap rumah yang ditumpanginya bersama keluarga.

Ia menilai ada tindakan yang ti­dak benar, dalam kerja Penga­dilan menangani perkara tersebut. “Nah, ini harus menjadi catatan bahwa komisi Yudisial harus turun tinjau Pengadilan Negeri Ambon, karena terindikasi disana ada mafia hukum, suka bermain-main dengan perkara. Ada sogok-menyogok, dan saya bisa pastikan itu. Masa hanya surat palsu  bisa memenangkan perkara ini, itu kan aneh,” kesal Mailuhu.

Surat palsu yang disebutkan, lanjut Mailuhu, adalah surat wasiat Tahun 1943 yang dipakai pihak pemohon eksekusi dalam memenangkan gugatan perkara tersebut. Padahal, surat wasiat tersebut adalah palsu.

Atas surat wasiat palsu itu, pihaknya sudah melaporkan ke Polda Metro Jaya di Jakarta sejak 2022 lalu. Namun hingga saat ini belum tuntas penanganannya.

Sementara pengacara pemohon eksekusi, Hans Pea mengaku, pro­ses eksekusi yang dilakukan pihak PN Ambon telah berdasarkan kete­tapan Pengadilan.  “Artinya proses perkara ini sudah berjalan mulai dari tingkat pertama pada PN Ambon, PT Ambon, MA hingga putusan PK, semuanya sudah berkekuatan hu­kum tetap,” jelas Hans. (S-26)