Penetapan Tersangka tak Sesuai Prosedur, Polda Maluku Diprapradilan
AMBON, Siwalimanews – Kasus dugaan pemuatan jenis minyak tanah oleh pemilik BBm tersebut berinisial AL yang diamankan pihak Ditreskrimsus Polda Maluku hingga penetapan tersangka dinilai tak sesuai prosedur. Alhasil AL melalui kuasa hukumnya mengajukan pra peradilan ke Pengadilan Negeri Ambon.
Kuasa hukum AL Petra Latue kepada Siwalimanews, Kamis (8/80 mengaku, ada kejanggalan dalam kasus kliennya sehingga melalui ruang yang diberikan, pihaknya telah mendaftarkan praperadilan di PN Ambon, untuk menggugat status tersangka serta penahanan dan penyitaan yang dilakukan anggota Ditreskrimsus Polda Maluku.
“Polda Maluku selaku termohon dalam menetapkan pemohon sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, sebagaimana telah diubah dalam paragraf 5 pasal 40 angka 9 UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, berdasarkan keterangan dari pelapor tanpa didukung dengan alat bukti lainnya,” ucap Petra.
Penangkapan yang dilakukan oleh pihak Ditreskrimsus Polda Maluku kepada diri kliennya merupakan tindakan lanjutan dari proses pemeriksaan yang sebelumnya telah dilakukan oleh pihak Ditreskrimus kepada saksi pelapor dan saksi lainnya yang menguatkan laporan, sehingga ada bukti permulaan terlebih dulu sebelum dilakukan penangkapan.
Namun faktanya, personel Ditreskrimsus melakukan penangkapan terhadap kliennya pada 3 Juli 2024 bertempat di rumah kliennya di Dusun Asam Jawa, Kecamatan Huamual, Kabupaten SBB, barulah dilakukan pada 4 Juli 2024, dengan mengeluarkan surat nomor: SPDP/24/VII/2024/Ditreskrimsus, perhal, pemberitahuan dimulainya penyidikan yang tidak mencantumkan tanggal yang pasti, sehingga surat menyangkut pemberitahuan dimulainya penyidikan tidak memiliki legalitas dan kekuatan hukum yang mengikat.
Baca Juga: Pemkab SBB Gelar Pelatihan dan Pembentukan FPRB“Untuk itu melalui praperadilan ini diajukan, karena diduga ada pelanggaran yang dilakukan. Jika penangkapan dilakukan tanpa didasarkan pada dugaan tindak pidana atau tidak ada ketentuan yang diduga dilanggar, maka penangkapan tersebut tidak sah,’ tandas Petra.
Selain itu kata Petra, prosedur penyitaan yang dilakukan terkait dengan tindak pidana yang dilakukan, baik terhadap barang milik kliennya maupun pihak ketiga, berupa 1 speed boat yang dilengkapi dengan 4 buah mesin merk Yamaha ukuran 40 PK, yang didalamnya terdapat BBM jenis minyak tanah sebanyak 15 drum yang dilakukan oleh personel Ditreskrimsus Polda Maluku tanpa surat perintah.
Semestinya, ketika dilakukan penyitaan harus dilengkapi dengan surat perintah yang dikeluarkan oleh pihak polda, sebagaimana merujuk pada pasal 38 KUHAP yang menyebutkan, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat.
“Proses penyitaan terhadap barang milik kliennya juga hanya dengan cara menghubungi keluarga kliennya melalui telepon seluler dan mengatakan atas perintah salah satu anggota Polri bernama Wandi dan juga atas perintah ibu Sofia. Dengan demikian proses penyitaan terhadap barang-barang milik kliennya dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” jelas Petra
Petra juga mengklaim, bahwa penetapan tersangka kepada kliennya juga tidak didasarkan pada proses penyelidikan dan penyidikan.
“Bagi kami penetapan kliennya sebagai tersnagka tidak didasarkan pada hasil penyelidikan dan penyidikan, sehingga tidak mungkin penetapan tersangka dikeluarkan sebelum adanya proses penyelidikan dan penyidikan atau secara administrasi tanggal surat penetapan kliennya sebagai tersangka harus lebih dulu dari tanggal surat perintah penyelidikan dan surat perintah penyidikan. Ini sangatlah bertentangan dengan hukum acara, dikarenakan pihak polda menetapkan kliennya sebagai tersangka tidak mencantumkan tanggal surat pemberitahuan dimulainya penyidikan,” beber Petra.
Penetapan tersangka juga, tidak didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Jika merujuk pada putusan MK dengan Nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, frasa bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup, dalam pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh MK, dinyatakan harus dimaknai sebagai minimal dua alat bukti, sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
Berdasarkan definisi penangkapan dan definisi tersangka, dapat disimpulkan, bahwa dalam melakukan tindakan penangkapan harus sudah ditetapkan sebagai tersangka atas dasar dugaan telah melakukan tindak pidana yang dilanggar oleh tersangka dan yang dilanggar dalam kategori kejahatan.
“Sehingga bagi kami, penetapan pemohon sebagai tersangka merupakan tindakan kesewenang-wenangan dan bertentangan dengan asas kepastian hukum Indonesia adalah, negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Ham, sehingga asas hukum presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah, menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut.
Bukan hanya kita, negara pun telah menuangkan itu ke dalam konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi negara Indonesia adalah negara hukum, artinya semua tunduk terhadap hukum dan Ham serta mesti terjawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Ham tersebut, maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikannya.
Penetapan tersangka kepada kliennya dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.(S-26)
Tinggalkan Balasan