MEROSOTNYA citra dan peran KPK setidaknya ada tiga faktor. Pertama, ketuanya menjadi tersangka pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang kasus SYL sendiri sudah divonis 10 tahun. Sementara itu, kasus eks Ketua KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya, proses selanjutnya seperti mandek.

Kedua, KPK tidak lagi menjadi komisi negara yang independen, tapi menurut UU Nomor 10 Tahun 2019 dinyatakan bahwa ‘Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif…’. Sejak itu, KPK bisa digunakan oleh kekuasaan dengan menggunakan ‘instrumen hukum untuk membegal lawan politik’.

Ketiga, seperti dilaporkan oleh Transparansi Internasional, sejak 2019 indeks korupsi Indonesia terus merosot dari 40 jadi 38, 37, 34, dan 34 untuk 2020, 2021, 2022, dan 2023. Itu menunjukkan ada kaitan faktor pertama, ketuanya terlibat ‘abuse of power’, dengan KPK tidak lagi sebagai komisi negara yang independen dengan kinerja KPK yang ditunjukkan oleh indeks korupsi yang terus merosot.

Di tengah situasi tersebut, pada Desember 2024 KPK akan mengakhiri tugasnya. Panitia seleksi (pansel) yang ditetapkan Presiden untuk menetapkan calon pimpinan (capim) dan dewan pengawas (dewas) mengalami kritik, antara lain disebutkan oleh ICW dan Pukat UGM, bahwa pansel tersebut sebagai rentan disusupi konflik kepentingan karena didominasi oleh unsur pemerintah.

Kemudian Abraham Samad (mantan pimpinan KPK) mengingatkan pemerintah bahwa jangan sampai terulang pada masa sebelumnya yang mana pansel hanya menghasilkan Pimpinan KPK yang cacat moral. Namun, setelah pansel KPK mengumumkan 40 nama yang lolos seleksi tes tertulis, ada juga nama-nama capim KPK yang dinilai kredibel seperti Sudirman Said, Muhammad Yusuf, dan beberapa yang lain.

Baca Juga: Dies  Natalis UKIM ke – 39, Dari UKIM Untuk Samua 

Tantangan pimpinan KPK yang sangat berat

Sejak era Reformasi, korupsi makin berkembang dengan adanya high cost of Politics dari sistem politik yang berkembang (multiparty system). Itu baik dalam rangka pemilu presiden, DPR, pilkada gubernur dengan DPRD-nya, atau pilkada wali kota dan bupati dengan DPRD-nya masing-masing.

Hal itu, baik yang berdampak terhadap biaya yang sangat tinggi untuk persiapan, pelaksanan, maupun pascaterpilih, kesemuanya berdampak lebih lanjut kepada para kontestan, yakni untuk menggunakan APBN, APBD provinsi, APBD kota dan kabupaten untuk dijadikan ‘objek korupsi’.

Menurut BPKP, sampai 2022, ada 343 kepala daerah yang terjerat korupsi, baik yang ditangani kejaksaan, kepolisian, maupun KPK (https://www.bpkp.go.id/). Untuk yang ditangani KPK saja, ada 253 kasus dengan kerugian negara sebesar Rp203,9 triliun (https://aclc.kpk.go.id/). Secara keseluruhan, tentu jumlah kasus dan kerugian negara akan jauh lebih besar lagi.

Kalau dengan analisis ICOR (incremental capital output ratio) seperti yang dilakukan Prof Soemitro semasa Orba, kebocoran APBN rata-rata 30%. Sementara itu, dari temuan para mahasiswa yang saya bimbing, dari berbagai sektor (pertambangan, jalan raya, properti, pajak, daerah-daerah, dan lain-lain) pada masa reformasi, kebocorannya lebih meningkat lagi, yakni rata-rata sekitar 40%.

Analisis ICOR secara metodologis menggambarkan proporsi pertambahan investasi (dalam APBN ditunjukkan pertambahan belanja modal) jika dibandingkan dengan petambahan produk domestik bruto (PDB) satu tahun terakhir. Kemudian, dengan analisis ICOR dihitung ICOR terendah pada era reformasi jika dibandingkan dengan ICOR rata-rata 23 tahun terakhir (2020-2023) dikalikan dengan rata-rata PDB selama 23 tahun menghasilkan kebocoran ekonomi secara makro. Jumlah kebocoran ekonomi rata-rata jika dibandingkan dengan PDB 2023, menghasilkan perhitungan rata-rata persentase kebocoran sebesar 40%.

Modus korupsi tersebut, baik sekadar untuk mengembalikan utang waktu pemilu maupun mempertahankan supaya terpilih lagi hingga modus memperkaya diri yang tiada batas. Dalam konteks itu, dampak lebih luas ialah makin terjadi semena-mena eksploitasi sumber daya alam (SDA) pertambangan, perkebunan, kelautan, dan seterusnya dengan modus berkolusi antara pemegang otoritas dan pengusaha.

Hal tersebut pada gilirannya juga berakibat terhadap kerugian negara yang makin berkali lipat, baik secara finansial maupun menipis dan rusaknya SDA yang tidak pulih (unrenewable reseources). Last but not least pada akhirnya berakibat terhadap ‘rusaknya tingkat kepercayaan (distrust)’ terhadap kaum elite, baik di pemerintahan, legislatif, maupun yudikatif, di pusat maupun di daerah-daerah. Kondisi demikian sangat rentan menciptakan konflik sosial, kemudian instabilitas politik yang pada gilirannya menurunkan ketahanan nasional di segala bidang.

Korupsi merupakan extra ordinary crimes yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menciptakan kondisi negara mengalami kesulitan untuk memecahkan problem sosial-ekonomi (kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan), sosial-politik (rendahnya kualitas birokrasi, pemerintahan, parlemen, dan 0eradilan) sosial-budaya (rendahnya etos kerja, karakter, akhlak penyelenggara pelayanan publik), dan hukum (sulitnya dalam penegakan hukum dan memperoleh keadilan dalam masyarakat). Dengan demikian, kesemuanya akan berujung kepada rendahnya kualitas dan keberlanjutan pembangunan.

Oleh karena itu, diperlukan upaya perbaikan secara komprehensif dalam sistem pemberantasan korupsi sehingga menjadi lebih efektif dan berdampak terhadap perbaikan di segala bidang (sosial-ekonomi, sosial-politik, sosial-budaya, dan hukum).

Untuk itu, idealnya ada grand-design beserta blue print-nya dalam mencapai tingkat korupsi serendah-rendahnya dengan menjadikan korupsi musuh bersama secara nasional. Apalagi dalam menghadapi proses globalisasi, yang bukan hanya berarti makin tajamnya persaingan antara bangsa dalam perdagangan dan ekonomi, melainkan juga makin diterapkannya rating dan indeks dalam banyak aspek (tingkat korupsi, daya saing, investasi, kepercayaan bisnis dan konsumen, birokrasi, demokrasi, tata kelola pemerintahan, korporasi dan civil society, parlemen, peradilan, perguruan tinggi, dan seterusnya).

Semua rating itu mempunyai mata rantai terhadap pencapaian ‘peradaban bersih’ atau tercapainya ‘zero corruption’. Dalam pemerintahan presiden terpilih Prabowo, ditargetkan pada 2029 kebocoran ekonomi mencapai setidaknya 10% APBN. Tentu dengan angka persentase kebocoran yang diturunkan dari 40% ke 10% ialah pekerjaan sangat tidak mudah, yakni bagaimana terjadi gerakan peningkatan efisiensi nasional sekaligus penurunan korupsi secara besar-besaran.

Sementara itu, dalam kaitan peningkatan rating-rating, makin tinggi rating-nya dalam perlbagai aspek, itu menunjukkan sistem pemberantasan korupsi yang makin efektif. Dengan demikian, pemberantasan korupsi seyogianya makin menjadi prioritas mahapenting dalam menghadapi globalisasi.

Dalam konteks ini, perlu dipertimbangkan oleh para elite begara, apakah UU KPK yang berlaku sekarang, yang menempatkan KPK menjadi lembaga eksekutif sudah tepat? Ataukah lebih baik mengembalikan KPK sebagai komisi negara yang undependen seperti dalam UU KPK sebelumnya sehingga pemberantasan korupsi akan makin efektif dan kebocoran keuangan negara serta korupsi akan makin turun secara signifikan.

Rent seekers dan korupsi

Kemudian kita mengenal istilah ‘aktivitas ekonomi perburuan rente’ (rents seeking economic activities/EPR). Sering kali publik, termasuk para mahasiswa, yang menyiapkan penelitian untuk tugas akhir mereka yang menyamakan begitu saja EPR dengan korupsi. Padahal, tindak morupsi sudah masuk ranah pelanggaran hukum pidana.

Sementara itu, EPR bisa jadi masuk ketegori korupsi karena sudah ada pelanggaran hukum. Namun, ada sejumlah aktivitas EPR yang belum dapat dikategorikan sebagai tindak korupsi. Seperti seseorang dengan lobi-lobi memiliki informasi perencanaan pembuatan ibu kota negara (IKN) sebagai pengganti Jakarta. Kemudian segera memborong tanah-tanah di sekitarnya dengan harga murah. Maka itu, aktivitas lobi yang akhirnya memiliki rencana detail dalam membangun IKN baru ialah salah satu contoh aktivitas EPR yang belum ada pelanggaran hukum di satu pihak.

Namun, di lain pihak, pemborongan tanah-tanah dengan harga murah dan pada waktunya dijual kembali dengan harga sangat tinggi sehingga dia mendapat ‘super normal profit’ yang merugikan pemilik tanah yang menjualnya kepada pemburu rente tersebut. Hal itu karena adanya assimetric information yang mana pemilik tanah tidak mempunyai informasi yang cukup untuk menjual tanah secara wajar.

Maka itu, aktivitas pemborongan tanah dengan harga murah dan menjualnya dengan sangat mahal merupakan aktivitas EPR yang bisa saja sudah masuk ranah tindak pidana korupsi. Tentu banyak modus aktivitas EPR lainnya, terutama untuk negara-negara yang tingkat penegakan gukumnya masih rendah.

Dengan demikian, aktivitas EPR menurut para ahli (Tullock, 1967, dan Kruger, 1973) adalah aktivitas yang mengambil manfaat dengan melakukan manipulasi dari situasi dan kondisi ekonomi, politik, regulasi, perudang-undangan. dan lain-lain daripada bekerja secara normal dengan langkah-langkah efisiensi dan inovasi.

Hal itu dilakukan bisa oleh sebuah korporasi, partai politik, atau pemerintahan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, yang pada gilirannya merugikan kepentingan publik dan keuangan negara. Dengan kata lain, boleh kita menyebutnya bahwa EPR adalah semacam ‘ekosistem makro’ untuk berkembangnya tindak korupsi.

Dalam buku yang saya terbitkan (dibantu Prima Gandhi), Riset Ekonomi Politik (IPB Press, 2021), terdapat contoh empiris EPR dengan analisis ekonomi politik di bidang pembangunan jalan, impor daging sapi. dan pembangunan properti. Dengan memahami makna korupsi dan EPR, kita lebih jauh akan memahami bagaimana dampaknya terhadap kondisi ketimpangan serta kesejahteraan masyarakat di sebuah negara.

Lebih jauh EPR yang pada gilirannya menciptakan proses oligopolisasi bisnis atau politik karena kebutuhan untuk mempertahankan posisi dominannya. Umumnya, untuk meraih akumulasi dalam memanfaatkan dinamika pertumbuhan ekonomi yang berlangsung, para oligopolis melakukan kartelisasi, yakni menetapkan harga tertentu yang jauh lebih menguntungkan serta menetapkan wilayah pemasaran yang berbagi di antara kartel yang berbeda.

Contohnya sewaktu ada krisis minyak goreng awal-tengah 2022 yang mana harga yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp14.000/liter (untuk kemasan premium) tidak efektif dan harga di tingkat konsumen sekitar Rp26.000 dan minyak goreng pun sulit didapat. Itu karena para produsen CPO yang punya kewajiban memasok CPO ke pabrik minyak goreng mengekspor dengan harga yang jauh lebih tinggi.

Pemerintah pun pada saat itu tak berkutik karena struktur penguasaan oligopoli CPO sekaligus minyak goreng yang telah berperilaku kartel yang oleh Mendag Lutfi waktu itu disebutnya ada enam mafia (https://www.saibumi.com). Sementara itu, KPPU malah menyebutkan ada 27 produsen minyak goreng yang melakukan kartel (https://www.cnnindonesia.com).

Dengan kartelisasi di bidang pangan dan nonpangan inilah, sebenarnya terbentuk struktur oligarki. Para kartelis yang telah banyak menguasai berbagai sektor ekonomi dengan adanya UU politik yang membolehkan parpol menerima sumbangan. Maka itu, dengan sangat tingginya biaya politik, para kartel pangan dan nonpangan tersebut banyak yang menjadi investor politik, baik di pusat maupun di daerah-daerah.

Dampak tertjadinya oligarki ekonomi dan politik ini adalah terjadi ketimpangan yang sangat buruk dengan material power index yang mengukur terjadinya oligarki yang dikenalkan Jeffrey A Winters (Oligarki, 2011), yakni rata-rata 40 orang terkaya dibagi dengan income per kapita.

Kalau Winters tahun 2014 menyebut indeksnya sebesar 678 ribu terparah setelah Tiongkok. Maka itu, tahun 2023 saya menghitung sendiri indeks oligarki tersebut telah menjadi 1.065.000 yang kemungkinan Indonesia mengalami ketimpangan terburuk di dunia akibat adanya oligarki politik dan oligarki ekonomi.

Dengan demikian, betapa pentingnya menyehatkan mekanisme pasar ekonomi dan politik di Indonesia. Salah satunya yang saya usulkan ialah dengan meningkatkan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) setingkat KPK sebagai komisi negara yang independen agar dapat mencegah dan mengurangi kartelisasi bisnis sehingga pada gilirannya dapat mengurangi kebocoran ekonomi.

Sementara itu, sebaiknya KPK dikembalikan kepada UU lama yang juga kembali menjadi komisi kegara yang independen yang dapat mencegah dan mengurangi korupsi politik dan korupsi pada umumnya. (*)