Organisasi Masyarakat dan Tuberkulosis
PADA awal Desember 2024 ini saya dan Tim Airborne Infection Defence Platform (AIDP) melakukan kunjungan kerja lapangan ke Manila, Filipina. Kegiatan ini dalam rangka pengumpulan data (landscape asessment) pengendalian tuberkulosis (Tb), dan bagaimana kesiapan negara-negara ASEAN mengantisipasi kemungkinan pandemi mendatang.
AIDP itu ialah kegiatan bersama ASEAN dan pemerintah Amerika Serikat, dan secara teknis dikelola United States Agency for International Development (USAID) yang kemudian diimplementasikan Stop Tb Partnership Global dan Stop Tb Partnetship Indonesia (STPI).
Ada dua prinsip kegiatan AIDP, pertama memperkuat program Tb di negara-negara ASEAN dan kedua diharapkan agar penguatan program Tb ini juga akan menjadi kesiapan negara ASEAN dalam antisipasi dan menghadapi kemungkinan pandemi mendatang.
Dalam kunjungan kerja lapangan ke berbagai negara ASEAN tim kami selalu mengunjungi empat kelompok organisasi. Pertama ialah kementerian kesehatan di negara itu, kedua kementerian lain yang terkait dengan program kesehatan khususnya Tb dan pandemi. Ketiga berdiskusi dengan organisasi internasional seperti WHO, Bank Dunia, USAID setempat, dan lain-lain, serta keempat tim kami selalu datang ke organisasi masyarakat (non-governmental organization/NGO) yang di kita biasa dikenal sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang perannya jelas amat penting.
Nah di Filipina ini, ada cukup banyak organisasi masyarakat besar yang mengelola tuberkulosis dan setidaknya ada dua yang kami kunjungi, yang kegiatannya juga didukung USAID, yang tidak hanya mendukung program Tb, tetapi juga penguatan sistem kesehatan (health system strengthening/HSS).
Baca Juga: Mengapa Terjadi, Regresi Partisipasi Pemilih dalam Pilkada 2024Pertama kami mengunjungi Philippine Tuberculosis Society Inc (PTSI) yang kalau di Indonesia padanannya ialah Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), keduanya tergabung dalam International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases (IUAT-LD).
PTSI ternyata sudah memulai kegiatan mereka sejak 1910, jadi punya sejarah amat panjang. Kantor pusat mereka sekarang ada di Quezon Institute, suatu rumah sakit paru yang sudah berdiri sejak 1940, dan diberi nama itu untuk mengenang Presiden Filipina Quezon yang juga pengidap tuberkulosis.
Tadinya RS Quezon Institute ini punya lebih dari 1.000 tempat tidur. Namun, karena pendekatan umum Tb kini ialah rawat jalan saja, sekarang jumlah tempat tidurnya sekitar 120 saja, hanya untuk kasus-kasus yang berat. Tadinya PTSI juga punya puluhan cabang di berbagai daerah di Filipina, dan kini mengelola 17 cabang.
PTSI melakukan program pengendalian tuberkulosis secara lengkap, mulai penemuan kasus baik pasif di rumah sakit dan aktif di masyarakat, pengobatan sampai tuntas, penelusuran kontak, pengawasan pengobatan kalau kasus tidak patuh, dan juga tindak lanjut setiap enam bulan sampai dua tahun sesudah pasien dinyatakan sembuh.
Dalam hal bantuan USAID, PTSI melakukan kegiatan pengendalian Tb di beberapa provinsi di Filipina. Untuk melakukan berbagai kegiatan itu, PTSI dilengkapi dengan alat diagnosis Genexpert dan juga ultraportable X-ray dengan artificial intelligence.
Untuk laboratorium, mereka juga melakukan pemeriksaan kultur, baik media padat maupun media cair dengan alat mycobacterium growth indicator tube (MGIT). Di tahun mendatang kegiatan laboratorium akan ditingkatkan dengan alat True-NAT yang mudah dibawa. PTSI juga secara rutin memberi pelatihan petugas laboratorium bagi fasilitas pelayanan kesehatan lain. Ketika terjadi pandemi covid-19, RS itu dikonversi menjadi tempat isolasi covid-19, khususnya untuk overseas Philippine worker (OFW) yang pulang ke negara mereka.
Yang kedua kami kunjungi ialah LSM Philippine Tropical Disease Foundation Inc (TDF). Kantor LSM itu di daerah Makati, pusat bisnis Manila yang penuh dengan gedung bertingkat, bank, hotel, perusahaan besar multinasional, dan lain-lain. Jadi lokasinya amat bergengsi dan di kantornya juga ada Klinik Tb yang menerima pasien rawat jalan.
Sebagaimana juga di negara kita, Filipina sudah memulai penemuan kasus tuberkulosis (Tb) secara aktif skrining, dengan langsung turun ke lapangan menggunakan mobil van yang di dalamnya ada alat rontgen X-ray yang pembacaannya dilakukan dengan artificial intelligence.
Patut di catat bahwa Philippine Tropical Disease Foundation Inc ini punya tiga pendekatan untuk suksesnya kegiatan penemuan skrining Tb paru secara aktif dengan mobil van itu. Pertama, mereka melibatkan pimpinan daerah dan masyarakat setempat, suatu hal yang biasa tentunya karena kita semua tahu bahwa program kesehatan di masyarakat memang harus dijalankan dengan kesadaran penuh masyarakat yang menerimanya, tidak bisa top-down begitu saja.
Kedua, kegiatannya ialah one stop service, orang yang datang skrining untuk Tb langsung difoto rontgen di mobil itu, hasilnya langsung selesai karena dibaca dengan artificial intelligence, dan kalau hasilnya curiga Tb, di mobil itu juga pasiennya diminta kumpulkan dahaknya dan sudah tersedia petugas yang langsung membawa dahak itu ke pemeriksaan Laboratorium Genxpert terdekat untuk memastikan diagnosis Tb.
Sementara itu, pendekatan ketiga mereka menggabungkan pemeriksaan skrining Tb itu dengan kegiatan lain di lapangan, antara lain klinik berhenti merokok, yang membuat daya tarik masyarakat lebih banyak. Biaya pelaksanaan didapat LSM antara lain dari USAID, dan mereka sedang merencanakan untuk mengajak filantrop setempat pula.
Jadi, kegiatan LSM itu benar-benar langsung ke kegiatan skrining dan diagnosis pasien dan mereka juga punya klinik Tb di kantor mereka. Philippines Tropical Disease Institute Inc juga banyak melakukan riset, baik untuk MDR Tb dan juga berbagai jenis vaksin terbaru dan bahkan riset itu menjadi salah satu kegiatan utamanya kali ini.
Dari pengalaman di atas, kita lihat bahwa LSM di Filipina melakukan progam Tb secara lengkap, langsung di lapangan menangani pasien sampai tuntas, pengendalian kontak, pelatihan, dan riset. Mereka juga menjadi pusat rujukan laboratorium untuk kasus-kasus Tb di daerah kerja mereka. Tentu kita berharap, bahwa LSM Tb di Indonesia juga terus meningkatkan kinerja guna kesuksesan penuntasan masalah tuberkulosis di negara kita tercinta, menanggulangi penyakit Tb yang tiap jam membunuh 15 orang warga kita. (*)
Tinggalkan Balasan