PENTINGNYA netralitas ASN dalam pemerintahan atas politik praktis terjadi agar kondisi tubuh pemerintahan bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Aparatur Sipil Negara atau ASN memiliki asas netralitas yang diamanatkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. dalam aturan tersebut, termaktub bahwa ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. ASN juga diamanatkan untuk tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh dan tidak memihak kepentingan siapapun.

Larangan ini mencakup sebagai peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau ASN, kemudian juga larangan peserta kampanye dengan mengerahkan ASN lain dan menggunakan fasilitas negara.

Selain itu, ASN juga dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon pada saat sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.

Ketidaknetralan ASN akan merugikan negara, pemerintah, dan ma­sya­rakat karena ASN menjadi tidak profesional dan dinilai target pe­me­rintah di tingkat daerah dan nasional tidak akan tercapai dengan baik.

Baca Juga: Menanti Jaksa Tuntaskan Korupsi Dana Covid-19

Dalam konteks netralitas, larangan ASN dalam berpolitik bukanlah suatu pelanggaran hak asasi manusia, tetapi merupakan konsekuensi dari hubungan dinas publik dan teori contract sui generis.

ASN perlu mencermati potensi gangguan netralitas yang bisa terjadi dalam setiap tahapan Pemilu atau Pemilukada. Potensi gangguan netralitas ASN dapat terjadi sebelum, saat, dan setelah penetapan kepala daerah terpilih.

Aturan mengenai netralitas ASN termuat dalam UU ASN Pasal 1 poin 5 tentang manajemen ASN yang dapat disimpulkan bahwa adanya pengelolaan ASN yang bebas dari intervensi politik.

Pasal 2 menyatakan bahwa ASN harus memiliki asas netralitas dan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepentingan siapapun yang secara tidak langsung mensyaratkan ASN untuk tetap loyal hanya pada satu pihak, yaitu pemerintah.

Pengaruh netralitas tidak hanya mengatur kenetralan pegawai ASN, tetapi UU ini turut mengatur netralitas dari lembaga non struktural yang disebut Komisi ASN yang tertuang dalam Pasal 27 sampai 43.

UU tersebut mengatur netralitas ASN sebagai kontrol sosial, untuk mengontrol tindakan atau perilaku ASN yang akan menodai profesionalitasnya karena politik praktis. Netralitas pegawai ASN ini merupakan suatu kewajiban yang harus dimiliki ASN karena sifatnya yang imperatif, konsekuensinya adalah sanksi jika ketentuan tersebut tidak dilakukan.

ASN yang melakukan pelanggaran akan mendapatkan hukuman disiplin sesuai yang tertuang dalam Pasal 14 huruf I PP No. 94 Tahun 2021. ASN akan sukarela telah menundukkan diri pada hukum yang berlaku di pemerintahan yaitu dengan cara mendaftarkan diri sebagai pegawai.

Dugaan keterlibatan Sekda Kota Tual, Akhmad Yani Renuat dalam politik praktis dengan mendukung bakal calon Gubernur Maluku, Murad Ismail kini mencuat.

Deklarasi dukungan terhadap Murad Ismail dan Michael Wattimena dilakukan Renuat bersama sejumlah tokoh berlangsung di Restoran Shabu-Shabu Plaza Indonesia, Sabtu (3/8).

Renuat bersama sejumlah tokoh menggunakan baju kaos berwarna putih dengan tulisan 2M Maluku Maju yang merupakan jargon pasangan Murad Ismail dan Michael Wattimena.

Hal ini tentunya bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. dalam aturan tersebut, termaktub bahwa ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. ASN juga diamanatkan untuk tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh dan tidak memihak kepentingan siapapun.

Bawaslu harus segera mengambil langkah tegas terhadap Renuat yang diduga melanggar UU. (*)