Menentukan Kebutuhan Dokter Pentingnya Kolaborasi dengan Pihak Terkait
SETELAH disahkannya Undang-Undang No 17 Tahun 2023, dunia pendidikan kedokteran di Indonesia dikejutkan oleh keputusan pembukaan 19 fakultas kedokteran (FK) baru sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan jumlah dokter berdasarkan perhitungan versi Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Langkah itu diambil dengan tujuan meningkatkan rasio dokter terhadap jumlah penduduk yang dianggap masih jauh dari angka ideal. Namun, keputusan tersebut mengundang kritik karena dinilai tergesa-gesa, kurang mempertimbangkan kualitas, dan mengesampingkan pandangan pemangku kepentingan lainnya.
Kebutuhan akan dokter memang penting. Namun, upaya untuk memenuhinya harus dilakukan dengan pendekatan yang matang, berbasis data akurat, dan melibatkan berbagai pihak. Pembukaan FK baru tidak bisa disamakan dengan pendirian program pendidikan di bidang lain seperti teknik, hukum, atau ekonomi. Proses pendidikan dokter membutuhkan waktu, sumber daya, dan infrastruktur yang jauh lebih kompleks. Sayangnya, kebijakan itu diambil dengan narasi kekurangan dokter yang diulang-ulang, sementara data yang digunakan kerap dipertanyakan reliabilitasnya.
Lebih parahnya lagi, Kemenkes terlihat menutup ruang dialog dengan pemangku kepentingan utama seperti AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia) dan ARSPI (Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia). Bahkan, IDI (Ikatan Dokter Indonesia), organisasi profesi yang telah bermitra dengan pemerintah selama lebih dari tujuh dekade, tidak dilibatkan atas perencanaan kekurangan jumlah dokter di Indonesia. Pendekatan seperti itu justru berpotensi menimbulkan ketegangan dan melemahkan sinergi yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan besar tersebut.
Data yang tidak konsisten
Baca Juga: Refleksi Akhir Tahun dan Tantangan Kepemimpinan PGRI ke DepanKemenkes menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan 270 ribu dokter untuk memenuhi rasio 1 dokter per 1.000 penduduk sesuai dengan rekomendasi WHO. Dengan populasi 270 juta jiwa, klaim tersebut menunjukkan kekurangan sekitar 130 ribu dokter dari total 140 ribu dokter yang diklaim saat ini. Namun, pertanyaannya ialah apakah rasio 1:1.000 yang digunakan Kemenkes relevan dengan kondisi Indonesia? WHO sendiri menegaskan bahwa angka tersebut bukanlah standar mutlak karena kebutuhan tenaga medis sangat bergantung pada faktor geografis, demografi, dan infrastruktur di setiap negara.
Kebutuhan dokter spesialis, misalnya, sangat bervariasi antarwilayah. Seorang pasien dengan cedera kepala membutuhkan penanganan spesialis bedah saraf dalam waktu 2-4 jam sehingga diperlukan spesialis bedah saraf di setiap wilayah yang dapat dijangkau dalam durasi tersebut.
Sementara itu, kasus kegawatdaruratan persalinan membutuhkan kehadiran spesialis kebidanan dalam waktu kurang dari 1 jam. Kondisi ini tentu berbeda untuk spesialisasi lainnya seperti mata, THT, atau kulit dan kelamin. Dengan demikian, kebutuhan tenaga medis harus direncanakan secara lebih spesifik dan kontekstual.
Sayangnya, data jumlah dokter yang digunakan Kemenkes juga tidak konsisten. Dalam berbagai sumber, angka yang disebutkan bervariasi, bahkan sering kali berbeda jauh. Menurut Kemenkes, total jumlah dokter ialah 202.967 orang terdiri atas 156.310 dokter umum dan 46.657 dokter spesialis (Sehat Negeriku, Mei 2024).
Sementara itu, data dari KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) menunjukkan jumlah total dokter dengan STR aktif ialah 233.404 orang yang terdiri atas 179.157 dokter umum dan 54.247 dokter spesialis. Data BPS (Badan Pusat Statistik) pada 2023 bahkan mencatat jumlah dokter hanya 183.694 orang. Diskrepansi ini menunjukkan bahwa kebijakan berbasis data yang tidak seragam dapat berdampak pada perencanaan yang keliru.
Obral fakultas kedokteran: kebijakan yang berisiko
Pembukaan 19 FK baru ini tidak hanya melanggar ketentuan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Pasal 207 ayat 11 yang mengatur pendirian institusi pendidikan dokter harus mempertimbangkan distribusi wilayah, tetapi juga menciptakan risiko terhadap kualitas pendidikan dokter itu sendiri.
Dari 19 FK baru, 85% berada di Pulau Jawa yang sudah memiliki banyak FK. Hanya tiga FK baru yang didirikan di luar Jawa, yakni di Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Utara. Padahal, kekurangan dokter justru terjadi di daerah-daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal) yang minim akses.
Selain itu, kualitas lulusan dari FK baru berpotensi tidak setara dengan FK yang sudah mapan. Keterbatasan sumber daya seperti dosen, laboratorium, dan infrastruktur pendidikan menjadi tantangan besar bagi FK baru. Proses seleksi mahasiswa yang kurang ketat juga dikhawatirkan menurunkan standar kualitas lulusan. Risiko ini semakin nyata apabila terjadi overproduksi dokter dalam beberapa tahun ke depan yang bisa memaksa pemerintah melakukan moratorium produksi dokter baru dan menutup FK yang tidak mampu bersaing.
Dampak surplus dokter
Jika produksi dokter tidak diimbangi dengan perencanaan kebutuhan yang tepat, Indonesia akan menghadapi surplus dokter dalam waktu dekat. Berdasarkan data KKI, Indonesia saat ini memiliki sekitar 233 ribu dokter dan dengan tingkat produksi 12 ribu dokter baru per tahun, jumlah itu akan meningkat menjadi lebih dari 350 ribu dokter dalam 10 tahun. Sementara itu, pertumbuhan penduduk hanya sekitar 11% dalam periode yang sama sehingga peningkatan jumlah dokter jauh melampaui kebutuhan.
Surplus dokter tersebut akan berdampak pada berkurangnya kesejahteraan dokter, menciptakan persaingan tidak sehat, dan meningkatkan risiko pelanggaran etika profesi. Saat ini saja, survei menunjukkan bahwa 25% dokter memiliki penghasilan kurang dari Rp3 juta per bulan, jauh di bawah rekomendasi IDI sebesar Rp12,5 juta. Ketidakmampuan pemerintah menyerap lulusan dokter baru juga menjadi masalah yang mendesak untuk segera diselesaikan.
Kolaborasi sebagai kunci solusi
Menghadapi tantangan itu, Kemenkes perlu mengadopsi pendekatan yang lebih kolaboratif dan inklusif. Semua pemangku kepentingan, termasuk AIPKI, ARSPI, IDI, pemerintah daerah, dan masyarakat, harus dilibatkan dalam proses perencanaan kebutuhan dokter. Pemetaan kebutuhan harus berbasis data yang valid dan mempertimbangkan aspek geografis, demografis, serta kondisi infrastruktur di setiap wilayah.
Selain itu, optimalisasi FK yang sudah ada, terutama yang terakreditasi A, dapat menjadi solusi lebih efisien daripada membuka FK baru. Pemerintah juga perlu fokus pada peningkatan kualitas lulusan dokter, bukan sekadar mengejar kuantitas.
Sebagai pelaksana amanah konstitusi untuk memastikan hak rakyat atas kesehatan, Kemenkes harus mampu bersikap terbuka, inklusif, dan mengedepankan kepentingan masyarakat di atas segalanya. Kebijakan yang tergesa-gesa dan berbasis data yang meragukan hanya akan menciptakan masalah baru, bukan menyelesaikan persoalan mendasar dalam sistem kesehatan Indonesia. (*) oleh: Zainal Muttaqin (Pengampu pendidikan spesialis dan Guru Besar FK Universitas Diponegoro)
Tinggalkan Balasan