Membesarkan Multibahasawan di Keluarga
Tepat pada Hari Bahasa Ibu Internasional pada 21 Februari 2024 lalu, UNESCO menyampaikan bahwa di dunia saat ini, konteks multilingual adalah hal yang lumrah. Dengan data bahwa di dunia ada sekitar 7.000 bahasa yang masih dituturkan, setidaknya setengah dari jumlah penduduk dunia merupakan orang yang dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan dua atau lebih bahasa atau merupakan multibahasawan atau seorang multilingual.
Di wilayah dengan 70 bahasa daerah seperti di Maluku, konteks multilingual sudah seharusnya tidak merupakan hal yang baru. Dalam lingkungan sosial dengan banyak bahasa (masyarakat multilingual), seseorang punya peluang sangat besar menjadi seorang multilingual (individu multilingual). Jika seseorang yang tinggal di Maluku sejak lahir menguasai bahasa Indonesia, bahasa Melayu Ambon, lalu menguasai satu atau dua bahasa daerah lain di Maluku (misalnya menguasai bahasa Kei dan bahasa Tarangan Barat), mungkin ditambah menguasai salah satu bahasa asing (misalnya bahasa Inggris) dan mampu menggunakan bahasa-bahasa itu dengan sama baiknya, kita menyebut orang ini sebagai multibahasawan atau seorang multilingual. Kamus Besar Bahasa Indonesia VI Daring menggunakan beberapa istilah yang berkaitan dengan penguasaan lebih dari satu bahasa, yaitu bilingual, dwibahasawan, multilingual, multilingualisme, dan multibahasawan. Beberapa buku rujukan linguistik menyebutkan bahwa multilingual dapat dipandang sebagai kondisi individu ataupun kelompok masyarakat (sosial).
Kajian mengenai pengaruh kemampuan menguasai lebih dari satu bahasa sudah dilakukan sejak lama. Buku linguistik terkenal tulisan Uriel Weinreich pada tahun 1968 yang berjudul Language in Contact sudah menyebutkan pengaruh positif penguasaan lebih dari satu bahasa pada kecerdasan. Beberapa tahun lalu, para pakar menegaskan hal itu dalam sebuah webinar mengenai keuntungan multilingualisme yang diselenggarakan oleh Western Sydney University. Keuntungan menjadi seorang dengan kemampuan penguasaan lebih dari dua bahasa adalah pada aspek kognitif (seperti memperkuat fungsi otak, daya ingat, perhatian, fleksibilitas pemikiran, berpikir logis, pemecahan masalah, berpikir kreatif, menunda penurunan daya ingat), aspek ekonomi (seperti luasnya peluang kerja dan karier), dan aspek sosial-budaya (seperti pemahaman budaya lebih mendalam, memperkuat kemampuan berkomunikasi, dan memperluas pergaulan). Keuntungan-keuntungan menjadi seorang multilingual tersebut membuat banyak dorongan untuk membesarkan anak-anak multibahasawan.
Pendapat bahwa mengajarkan atau berbicara dengan lebih dari satu bahasa kepada seorang anak membuat anak bingung sehingga mengalami tunda bicara (speech delay) dapat dipatahkan oleh para peneliti dengan mengatakan bahwa hal tersebut hanya mitos belaka. Tracey Tokuhama-Espinosa (2001) dalam Raising Multilingul Children dan Christine Jernigan (2015) dalam Family Language Learning: Learn Another Language, Raise Bilingual Children adalah beberapa di antaranya. Bahkan, LSA (Linguistic Society of America) menerbitkan panduan mengenai bagaimana membesarkan anak untuk menguasai lebih dari satu bahasa demi memberi wawasan multilingualisme kepada masyarakat Amerika.
Faktor-faktor kunci yang diungkapkan para pakar tersebut berhulu pada keluarga. Untuk melahirkan, menumbuhkan, membesarkan, dan memelihara generasi multibahasawan, keluarga harus melakukan sesuatu. Waktu dan rentang kesempatan, motivasi, serta strategi merupakan faktor yang penting. Aktivitas menumbuhkan tunas multibahasawan di keluarga ini harus dimulai sedini mungkin. Rentang kesempatan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu sejak lahir hingga 4 tahun saat anak menjadi pendengar unggul, 5 tahun hingga 7 tahun saat anak mulai aktif berbicara, dan 8 tahun hingga usia tidak terbatas sebagai masa terbaik untuk belajar bahasa. Motivasi internal dan eksternal dengan banyak keunggulan multilingual itu harus dipelihara. Adapun strategi yang dialternatifkan tergambar dalam tabel berikut ini.
Baca Juga: Guru Hebat Indonesia Kuat Kunci Peningkatan Kualifikasi dan Kesejahteraan untuk Pendidikan BerkualitasStrategi | Ayah | Ibu | Masyarakat | Rencana Tindakan |
Strategi 1 | Bahasa A
(sedikit B) |
Bahasa B
(sedikit A) |
Bahasa A
atau B |
Ayah dan ibu menggunakan bahasa mereka masing-masing kepada anak. |
Strategi 2 | Bahasa A
(juga B) |
Bahasa B
(sedikit A) |
Bahasa B | Ayah dan ibu menggunakan bahasa A kepada anak yang terpapar atau terpajan bahasa B di luar rumah. |
Strategi 3 | Bahasa A | Bahasa A | Bahasa B | Ayah dan ibu menggunakan bahasa A dan membiarkan bahasa B memengaruhi anak dari lingkungan dan sekolah. |
Strategi 4 | Bahasa A | Bahasa B | Bahasa C | Ayah menggunakan bahasa A dan ibu menggunakan bahasa B kepada anak yang belajar bahasa C dari masyarakat di lingkungannya. |
Strategi 5 | Bahasa A
Bahasa B |
Bahasa A | Bahasa A | Ayah menggunakan bahasa B kepada anak sementara ibu menggunakan bahasa A yang juga merupakan bahasa di lingkungannya. |
Strategi 6 | Bahasa A
Bahasa B |
Bahasa A
Bahasa B |
Bahasa A | Ayah dan ibu menggunakan bahasa A kepada anak, kecuali pada saat tertentu menggunakan bahasa B, misalnya pada saat makan. |
Strategi 7 | Bahasa A | Bahasa A | Bahasa A | Ayah dan ibu menggunakan bahasa A kepada anak. Anak terhubung dengan bahasa B di tempat khusus, kelas, atau dalam kunjungan ke rumah kerabat. |
Konsistensi atau ketetapan dalam menggunakan bahasa merupakan salah satu faktor kunci yang banyak digunakan untuk keberhasilan membesarkan generasi multibahasawan. Salah satu strategi dalam konsistensi yang sering digunakan adalah satu-orang satu-bahasa atau OPOL (one person/parent one language). Artinya, jika berbahasa A, ayah selalu berbahasa A kepada anak dengan tidak mencampurnya dengan bahasa lain. Jika berbahasa B, ibu selalu berbahasa B kepada anak dengan tidak mencampurnya dengan bahasa lain. Dengan kekonsistenan satu-orang satu-bahasa ini, anak akan tumbuh dengan menguasai bahasa A sekaligus bahasa B.
Keseimbangan masukan bahasa merupakan salah satu masalah. Anak perlu mendengarkan bahasa-bahasa dengan sama seringnya dan sama lingkungan bahasanya sehingga kemampuan berbahasanya berkembang secara alami. Intinya, sumber kekonsistenan tersebut bisa datang dari ayah, ibu, kakek, nenek, saudara, atau asisten rumah tangga. Jumlah bahasa yang ditargetkan untuk dikuasai anak harus sama jumlahnya dengan orang yang bisa memberi konsistensi masukan bahasa kepada anak. Misalnya, sejak anak lahir, ayah hanya menggunakan bahasa Teon kepada anak, ibu hanya berbahasa Moa kepada anak, dan nenek atau kakek hanya berbahasa Belanda kepada cucu, sementara lingkungan/masyarakat berbahasa Melayu Ambon dan di gereja/sekolah, anak hanya terpapar bahasa Indonesia. Keluarga ini telah menumbuhkan dan membesarkan seorang multibahasawan dengan kemampuan berbahasa Teon, bahasa Moa, bahasa Belanda, bahasa Melayu Ambon, dan bahasa Indonesia.
Dunia sedang disadarkan mengenai pentingnya multilingualisme. Negara-negara yang monolingual (hanya menggunakan satu bahasa) berusaha menumbuhkan generasi multibahasawan. Kita yang tinggal di negara kaya dengan 718 bahasa daerah atau di provinsi dengan 70 bahasa daerah ini sudah memiliki bekal yang banyak untuk membesarkan generasi unggul dan adaptif karena ia multibahasawan. Bahasa daerah pun diturunkan dari generasi ke generasi sehingga tetap mempunyai penutur-penutur muda.
Tidaklah terlambat bagi kita untuk mengubah pandangan kita bahwa anak hanya mampu menguasai satu bahasa atau terlalu banyak bahasa di keluarga membuat anak bingung sehingga lambat bicara. Konsisten dengan satu-orang satu-bahasa di dalam keluarga akan membuat lebih banyak lagi generasi multibahasawan. Mari, turunkan kemampuan berbahasa kita kepada anak-cucu kita dengan menjadi salah seorang dalam satu-orang satu-bahasa.Oleh: Kity Karenisa, S.S., M.A. Kepala di Balai Bahasa Provinsi Maluku.(*)
Tinggalkan Balasan